• Kolom
  • MALIPIR #14: Buku Pengantar Tidur

MALIPIR #14: Buku Pengantar Tidur

Siapa bilang anak kecil saja yang perlu buku cerita pengantar tidur. Orang dewasa juga. Cukup banyak buku yang ditujukan pada mereka yang tersiksa insomnia.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

3 Mei 2025


BandungBergerak.id – Tidur adalah latihan mati, dan selalu ada kemungkinan tidur kita malam nanti adalah tidur penghabisan kali. Buku apa yang akan teman-teman pilih buat momentum teramat penting itu, yakni saat menjelang tidur yang mungkin juga saat menjelang mati?

Pilihannya banyak dong. Saya mah cenderung memilih buku puisi, misalnya The Masnavi karya Maulana Rumi terjemahan Jawid Mojaddedi atau buku cerita seperti Nyi Haji Saonah karangan Sjarif Amin.

Buat saya, puisi adalah hasil penyulingan bahasa yang paling murni, sedangkan cerita adalah teman terbaik buat tamasya. Sekadar contoh, ini dia dari buku keempat karya Rumi: "mengajari orang durhaka kata sepatah/sama dengan memberi bromocorah pedang sebilah..." Dan ini pembukaan cerita dari Sjarif Amin: "Bergoyang-goyang kereta kuda keluar dari ujung kampung. Penumpangnya seorang perempuan yang duduk di samping kusir."

Pasti keren sekali jika dalam transisi dari hidup ke mati kita masih sempat menikmati buah tangan terbaik dari sesama manusia. Kiranya akan lebih baik jika yang kita baca adalah kitab suci. Hanya, dalam kasus saya, sering saya merasa mesti mengindahkan adab untuk membacanya, yang belum tentu cocok dengan keadaan saya di atas dipan. Yang jelas, saya selalu menggumamkan doa sebelum tidur, yang tentu dipetik dari kitab suci pula. 

Buku yang isinya polemis atau buku yang mengajukan spekulasi filosofis, apalagi buku teks akademis, tidak pernah saya bawa ke atas dipan. Memang, buku-buku yang isinya membosankan boleh jadi cukup jitu buat mengundang kantuk, malahan bisa mematikan minat baca itu sendiri. Namun, saat menjelang tidur mestinya jadi saat yang menyenangkan. Biarlah buku-buku nan ruwet, berat, dan menjemukan berada dalam tempatnya yang tepat, yakni ruang baca atau kamar belajar. 

Sayang sekali, saya tidak punya kenangan tentang ibu yang membacakan buku cerita buat saya di kamar tidur. Di rumah kami kala itu memang banyak buku, mulai dari kumpulan anekdot pesantren hingga biografi diktatur Idi Amin. Namun, ibu saya mesti mengurus anak tujuh. Kenangan yang tetap melekat dalam benak saya adalah suara kakak sulung menuturkan kembali cerita sedih tentang kakak beradik di tengah hutan dan seekor ular sanca –cerita yang kiranya diadaptasi dari warisan Hans Christian Andersen.

Baca Juga: MALIPIR #11: Jurnalis Nyastra yang Membangkang
MALIPIR #12: Teman Duduk Zaman Kertas
MALIPIR #13: Seperti Kisah Cinta di dalam Komik

Teman Seperjalanan

Kata "pengantar" dalam urusan ini, tentu, tidak seperti kurir yang menyampaikan paket susu murni, roti, atau surat kabar ke rumah kita, melainkan seperti teman seperjalanan atau teman hidup yang sanggup berucap –dalam kata-kata novelis Ramadhan K.H.– "kuantar ke gerbang". Di muka gerbang yang membatasi jaga dan tidur, hidup dan mati, sudah lama buku memainkan perannya yang sangat intim. Buku mengantarkan pembaca ke gerbang mimpi.

Tidur diantar puisi atau cerita sungguh enak sekali. Rasanya seperti naik sampan di atas alun: naik-turun, diayun-ayun. Sering terjadi, selagi membaca cerita baru satu atau dua halaman, saya segera tersedot ke alam mimpi. Ada kalanya saya merasa tidak berhenti membaca cerita padahal sesungguhnya saya sedang berada antara tidur dan jaga, lalu tiba-tiba tersadar bahwa buku saya sudah tergeletak di tepian dipan, sebelum akhirnya saya benar-benar tertidur.. 

Biar lebih seimbang, dan biar teman-teman tetap senang, baiklah saya katakan bahwa sesungguhnya tidur juga merupakan persiapan buat hidup. Tidur kita malam nanti diharapkan jadi pendahuluan bagi hidup kita keesokan harinya. Dulu nenek saya sering berkata, "Lekas tidur, Jang. Kita akan berlomba dengan tetangga: siapa besok yang bangun pagi paling dini."

Kalaupun maut selalu mengintip dalam setiap suasana, ada kalanya pihak yang merasakan kehadirannya bukan pihak yang hendak tidur melainkan justru pihak yang mengantar tidur. Bayangkan saja suasana penuturan rangkaian kisah termasyhur, Cerita Seribu Satu Malam. Pihak yang merasakan bayang-bayang maut kiranya bukan Raja Syahriar di atas dipan, melainkan Syahrazad yang menemaninya saban malam. Sang pencerita niscaya harus mengerahkan seluruh keterampilannya supaya ceritanya bisa bersambung dan ia bisa menghindari pedang algojo keesokan paginya.

Masalah Tidur

Siapa bilang hanya anak kecil yang perlu buku cerita pengantar tidur. Orang dewasa seperti raja dalam cerita Bagdad toh perlu juga. Buktinya, cukup banyak buku yang dialamatkan kepada mereka yang tersiksa oleh insomnia, bahkan kelihatannya buku-buku demikian telah menempati genre tersendiri.

Salah satu di antaranya adalah buku karya Prof. K. McCoy dan Dr. Hardwick, This Book Will Send You to Sleep (2018). Isinya sejenis hipnosis: tulisan-tulisan ringkas mengenai beragam tema, mulai dari rincian birokrasi zaman Bizantium hingga rincian taksonomi bekicot, juga gambar-gambar semisal gambar begitu banyak kemeja serupa yang mesti dicari satu di antaranya yang berbeda atau gambar begitu banyak domba yang mesti dihitung.

Sebagai orang yang tidak punya masalah tidur, saya tidak merasa perlu membaca buku seperti itu. Namun, ketika saya iseng-iseng membaca beberapa halaman dalam buku Prof. McCoy dan Dr. Hardwick, saya senang juga, dan merasa lucu sendiri. Saya pikir, buku ini benar-benar menerapkan teknik menulis yang buruk, dan kiranya memang sengaja begitu biar pembacanya bosan.

Coba saja baca, misalnya, "Bagaimana Piramida DIbangun". Uraiannya sungguh kekanak-kanakkan: dimulai dengan deskripsi peletakan batu pertama, kemudian deskripsi peletakan batu kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Saya terbahak-bahak jadinya karena seketika teringat kepada cara Sancho Panza bercerita di depan juragannya, sang penggila roman Don Quixote.

Jika urusan tidur teman-teman baik-baik saja, bersyukurlah. Dan jika teman-teman mengantuk ketika membaca tulisan ini, saya sungguh bersyukur. Sebab, itulah sesungguhnya maksud saya. Selamat tidur.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//