• Kolom
  • MALIPIR #20: Metafora Perahu buat Sejarah Indonesia

MALIPIR #20: Metafora Perahu buat Sejarah Indonesia

Mochtar Lubis menuliskan sejarah Indonesia dengan metafora alat transportasi maritim mulai dari sampan, biduk, atau perahu untuk menggambarkan perubahan zaman.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sampul buku Het Land onder de Regenboog: De Geschiedenis van Indonesiƫ karya Mochtar Lubis. (Foto: tangkapan layar Amazon.com)

16 Juni 2025


BandungBergerak.id – Mochtar Lubis menulis sejarah Indonesia dalam bahasa asing seperti mengirim kabar ke dunia luar. Bukunya mula-mula terbit dalam bahasa Belanda dengan judul, Het Land onder de Regenboog: De Geschiedenis van Indonesië, dan diterbitkan oleh A.W. Sijthoff pada 1979. Ia terjemahkan sendiri buku ini ke dalam bahasa Inggris dengan judul, Indonesia: Land under the Rainbow, dan diterbitkan oleh Oxford University Press pada 1987.

Edisi Inggrisnya dapat kita pinjam secara daring melalui laman archive.org –tidak untuk diunduh, kiranya karena belum masuk domain publik menurut ketentuan hak atas kekayaan intelektual. Di situ buku 218 halaman ini berupa pindaian dari teks cetak, bukan buku elektronik, tapi aksara dan foto di dalamnya kentara.

Inilah buku penting yang ditulis Pak Mochtar di luar rumpun fiksi. Kiranya buku ini juga tergolong buku pertama tentang sejarah Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia, setidaknya menurut seorang pengulas buku dalam koran De Telegraaf (Kamis, 5 April 1979) yang menyebutnya "de eerste geschiedenis van het eilandenrijk van de hand van een Indonesiër". Karena sejarah Indonesia yang diuraikan di dalamnya tergambar menurut "lensa Indonesia (Indonesian optic)”, isinya menyajikan alternatif tersendiri dari narasi sejarah Indonesia yang mengandung “nilai-nilai Belanda dan Eropa (Dutch and European values)".

Untuk menulis buku ini, Pak Mochtar bersama tinggal di Belanda selama beberapa bulan pada 1976 dan 1977. Kesempatan itu dia manfaatkan untuk mempelajari banyak arsip seperti yang tercermin dari isi bukunya. Dalam kata pengantarnya tercantum tempat dan waktu penulisan: Amsterdam, 1977.

Baca Juga: MALIPIR #17: Bahasa Sunda Sepak Bola
MALIPIR #18: Jenama, Sastra, dan Saya
MALIPIR #19: Uang Aing

Wawasan dan Metaforanya

Indonesia dalam buku ini digambarkan sebagai "tanah di bawah naungan pelangi (land under the rainbow)". Itulah gugusan pulau yang hijau gemerlapan di sekitar bentangan garis khayal khatulistiwa. Idiom "pelangi" dipakai buat melukiskan keberagaman budaya yang tumbuh di kepulauan itu.

“Seperti warna-warna pelangi, Indonesia menyajikan hamparan beragam warna dan pola budaya, seni, masyarakat, adat istiadat dan kehidupan, pakaian, makanan dan rumah, agama dan adat istiadat. Dan ketika agama Buddha, Hindu, Islam, dan Kristen datang, semuanya terjalin pada kanvas budaya setempat. (Like the colours in the rainbow, Indonesia offers a bewildering tapestry of different clashing colours and patterns of culture, of arts, of people, of customs and life, of dress, of food and homes, of religions and mores. And when Buddhism, Hinduism, Islam, and Christianity came, they were woven into this indigenous canvas of cultures),” tulisnya.

Adapun narasi sejarah yang disajikan dalam buku ini dimulai dari awal tumbuhnya kehidupan manusia di kepulauan itu jutaan tahun silam hingga senjakala era kekuasaan Presiden Sukarno pada paruh kedua abad ke-20. Riwayat yang sedemikian panjang itu dibentangkan berdasarkan lintasan kejadian yang dianggap pokok.

Wawasan kesejarahan dari penulis ini tertangkap di sela-sela uraiannya mengenai jejak-jejak peradaban masa silam yang terwujud dalam bangunan Borobudur. Relief di dinding stupa, yang merekam berbagai keadaan, rupanya turut memberikan pencerahan pada dirinya.

"Sejarah seharusnya tidak hanya berisi rekaman mengenai raja-raja dan kecamuk perang, melainkan juga, bahkan yang lebih penting dan relevan, seharusnya berisi catatan mengenai kehidupan sehari-hari orang kebanyakan. Dalam hal ini, Borobudur, yang dibangun pada sekitar tahun 800, tetap menyajikan representasi grafis yang paling baik dari sejarah demikian (History should not only be a record of kings and wars, but even more important and relevant, should also be an account of the everyday life of the common people. In this, the Borobudur, built around AD 800, still gives the most graphic representation of such history),” urainya.

Sejauh mana Pak Mochtar sanggup merealisasikan wawasan demikian, para pembaca niscaya dapat mencermatinya sendiri di sepanjang uraian dalam buku ini.

Deskripsi metaforis tentang sejarah Indonesia tidak hanya tertangkap dari judulnya, melainkan juga dari keseluruhan isinya. Sungguh menarik bahwa buku yang terpilah ke dalam 8 bab ini pada tiap-tiap babnya memakai idiom alat transportasi maritim, mulai dari sampan, biduk, atau perahu pada zaman antik hingga kapal penumpang pada abad ke-20.

Dapat kita cermati judul tiap-tiap babnya: 1) Datangnya Perahu-perahu Pertama; 2) Perahu-perahu Zaman Awal Perniagaan; 3) Kapal Islam; 4) Kapal Perang dari Portugal; 5) Kapal Niaga dari Belanda; 6) Kapal Perang Abad ke-18; 7) Kapal Layar; dan 8) Kapal-kapal Abad ke-20.

Biduk, perahu, dan kapal di sini bisa kita baca secara harfiah tapi juga bisa kita artikan sebagai kiasan bagi pembawa perubahan zaman. Buku ini, tentu saja, bukan sejarah pelayaran, melainkan hasil kerja keras Pak Mochtar melakukan pelayaran sejarah –katakanlah begitu meski, saya kira, dia pergi ke Belanda naik pesawat.

Lensa dan Pemandangannya

Melalui "lensa Indonesia" yang dipakai oleh Pak Mochtar, sejumlah kejadian yang menurut penulis lain barangkali sangat penting, hanya disinggung-singgung sambil lalu. Sebut, misalnya, pemberontakan petani Banten pada abad ke-19, juga Konferensi Asia-Afrika pada 1955, hanya disebut-sebut dalam satu baris kalimat. Terpaut pada contoh yang disebutkan belakangan, pasti kita tidak lupa akan pendirian Pak Mochtar sebagai pelaku sejarah yang dikenal keras mengkritik rezim Sukarno.  

Kritiknya terhadap Sukarno tersampaikan juga di sini: bahasa Indonesianya buruk, retorikanya hampa, sukanya main perempuan, juragan feodal baru, istana jadi keraton, ekonomi morat-marit, dan kemunduran Indonesia 20 tahun ke belakang. Bahkan terlontar tuduhan bahwa kekacauan politik pada senjakala rezim Sukarno dipandang sebagai akibat tindak-tanduk Sukarno sendiri.

“Sukarno menuai apa yang dia semai. Bahkan tanggung jawab atas terjadinya pembunuhan massal atas komunis setelah kudeta komunis yang gagal berada di atas pundaknya (Sukarno reaped what he had sown. Even the responsibility for the mass killings of the communists after the communist abortive coup could be laid on his shoulders)," tandasnya.

Tindak-tanduk rezim Suharto, yang tentu sudah berjalan sekitar satu dasawarsa ketika Pak Mochtar menulis buku ini, tidak terbahas di dalamnya. 

Betapa pun, dari garis besar uraiannya, kita melihat bahwa sejak rombongan manusia pertama dari daratan Asia tiba di negeri yang dinaungi pelangi, telah tumbuh kepribadian dan kekayaan budaya sendiri, buah kesanggupan meramu pengaruh dari sana-sini. Namun, gelombang perubahan zaman kemudian menimbulkan "kepribadian yang remuk (shattered personality)”, terutama akibat "struktur feodal (feudal structure)” yang ditandai oleh dominasi raja dan aristokrat, kemudian oleh kolonialisme Eropa, terutama Belanda, yang mengeksploitasi sumber daya alam dan mengisap rakyat seperti yang menggejala dalam bentuk "sistem budidaya" (kultuurstelsel) dan "kerja paksa" (heerendiensten).

Perlawanan rakyat yang hendak memulihkan kepribadian pada saatnya mencuat. Mula-mula timbul gerakan-gerakan mileniaristik melalui keyakinan akan Ratu Adil tapi cakupannya lokal. Pada gilirannya timbul gerakan kebangsaan yang diperteguh dengan kesadaran nasional hasil belajar kaum cerdik padai melalui pendidikan modern. Revolusi kemerdekaan timbul dengan “semangat juang (fighting spirit)” yang "hampir-hampir menyerupai perayaan kematian (almost a celebration of death)". Dalam guncangan ini, terjadi keruntuhan "kelas priyayi" dan mobilisasi "kelas abangan dan santri". Namun, setelah kemerdekaan diraih, cita-cita revolusi tidak sepenuhnya terealisasi, malahan ada gejala mencuatnya lagi sisa-sisa mentalitas feodal. Itulah salah satu hal yang mesti diatasi seraya menjawab tantangan baru.

Akhirul kalam, Pak Mochtar menyampaikan kearifan ekologi dalam ikhtiar kolektif mewujudkan cita-cita Indonesia di tengah dunia. Ditekankan bahwa sumber-sumber daya alam di seantero jagat sedemikian cepat terkuras. Kita sepatutnya tidak serakah. Kita meski mengembangkan "kebajikan menahan diri dalam hubungan kita dengan lingkungan alam (the wisdom of self-restraint in our relationship with our environment)".

 

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//