MALIPIR #21: Tambang Sunda
Sebagaimana tambang kapuntir dianggap tidak baik, demikian pula oligarki memang patut ditampik.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
23 Juni 2025
BandungBergerak.id – Sudah beberapa hari saya membuka-buka kamus Sunda-Belanda dari F. S. Eringa yang terbit pada 1984. Di antara kata-kata yang menarik perhatian saya adalah tambang serta variannya, seperti nambang, nambangan, nambangkeun, tambangan, tatambangan, dan satambang.
Kata kerja membuka saya pakai buat menekankan perbedaan cara kita memperlakukan bahan-bahan kepustakaan yang berlainan. Tentu, membuka kamus berbeda dari membaca buku. Dengan kamus, kita meloncat-loncat seperti katak, sedangkan dengan buku bacaan kita merayap bagai siput. Dengan kamus, kita langsung membuka halaman yang memuat kata yang sedang kita cari. Dengan buku bacaan –misalnya, novel–, kita bergerak dari halaman permulaan hingga halaman penghabisan. Jika kita meloncat-loncat dalam novel, niscaya kita tidak akan mendapatkan pengalaman apa-apa. Jika kita mencari plot di dalam kamus, pasti kita kecewa.
Waktu saya meloncat ke halaman yang memuat kata tambang, agak lama halaman itu saya biarkan terbuka. Saya membuat catatan, bahkan membuka kamus lain, yaitu kamus Belanda-Sunda dari Sierk Coolsma (1910), karena bahasa asing ini belum saya kuasai padahal jejaknya dalam bahasa ibu saya masih terasa. Dengan itu, saya berikhtiar menggali kata seperti buruh pertambangan menggali lapisan bumi.
Baca Juga: MALIPIR #18: Jenama, Sastra, dan Saya
MALIPIR #19: Uang Aing
MALIPIR #20: Metafora Perahu buat Sejarah Indonesia
Rara dan Coblong
Di lapisan paling dangkal, kita mendapatkan arti harfiah. Seperti dalam bahasa Indonesia, kata tambang dalam bahasa Sunda mendua arti. Pertama, tali berkelindan yang sering kita tarik-tarik dalam pesta agustusan. Kalau teman-teman mau mencari citraan visualnya, lihat saja logo Nahdlatul Ulama: seutas tambang mengelilingi bola dunia di antara bintang-bintang. Kedua, tempat menggali kandungan bumi. Kalau teman-teman mau mencari contohnya, silakan tanya juga para pengurus NU karena ormas keagamaan ini belakangan punya kesibukan di bidang pertambangan.
Dalam bahasa ibu Eringa kedua hal itu dibedakan: ada touw alias koord (tali) ada pula mijn (tambang –sumber daya mineral).
Kamus Coolsma menyetarakan kata touw dalam bahasa Belanda dengan kata rara dalam bahasa Sunda. Para pemburu belut pasti akrab dengan istilah ini. Jika dua utas benang atau lebih kita pilin sedemikian rupa hingga terjalin tali yang lebih kuat, tali itulah yang kita sebut rara. Kita perlu melakukan perbuatan ngarara biar punya tali yang cukup kuat buat mengail sang belut nan licin dari lubangnya di pematang sawah.
Untuk istilah Belanda mijn, yang salah satu artinya adalah tambang di bidang energi dan sumber daya mineral, Coolsma mendapatkan padanannya pada istilah Sunda yang sudah jarang terdengar dalam percakapan tapi tetap abadi sebagai toponimi di Tatar Sunda, yaitu coblong. Di Kota Bandung ada kecamatan Coblong. Di Kecamatan Sukasari pun, tidak jauh dari tempat tinggal kami, tepatnya di dekat Cirateun, ada tempat sakral yang disebut Coblong. Di situ ada kerja jejak leluhur yang menerobos bukit dan menggali parit buat merintis jalan air yang terus menggelontor hingga kini.
Aki Sadap (Eyang Sukatma bin Bapa Ijo) dan para leluhur Negla lainnya menggali bumi bukan untuk mencari barang tambang, apalagi dengan merusak lingkungan, melainkan untuk mengalirkan air demi hajat hidup orang banyak. Kami sekeluarga turut merasakan jasa-jasa mereka. Untuk menghargai jasa para karuhun, masyarakat setempat suka menyelenggarakan upacara Salametan Cai.
Tambang Kapuntir
Di lapisan lebih dalam kita menemukan kiasan. Salah satu di antaranya adalah tambang kapuntir. Jarang saya mendengarnya –untuk tidak mengatakan tidak pernah. Kata tambang dan puntir – terutama kata kerja muntir yang berarti "berkisar"– tidak asing buat saya. Namun, pasangan kedua kata itu, yang secara harfiah berarti tambang yang terjalin begitu saja, merupakan ungkapan figuratif yang unik buat saya.
Saya baru masuk SMA ketika Sundaas-Nederlands Woordenboek susunan Eringa terbit. Dengan kata lain, zaman publikasinya melingkupi zaman generasi saya juga. Namun, kalau kita simak riwayat kamus ini, kata-kata yang terhimpun di dalamnya menjangkau zaman yang lebih silam lagi.
Kamus ini baru terbit lebih kurang setahun setelah penyusunnya wafat pada 1983. Sebagian bahan penyusunan kamus terbitan KITLV ini berasal dari R. A. Kern, lektor bahasa Sunda di Leiden, yang wafat pada 1958. Adapun Kern, seperti yang diriwayatkan oleh E. M. Uhlenbeck, peneliti yang pernah duduk dalam komisi redaksi KITLV, mengumpulkan datanya terutama dari buku-buku terbitan Balai Pustaka dan kamus R. Satjadibrata yang terbit pada 1948. Kern dibantu oleh T. S. Soemawihardja yang menelisik kata demi kata.
Contoh pemakaian pasangan kata tadi saya dapatkan dari memoar seorang tokoh terkemuka dari Banten. Itulah Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936). Kalau boleh saya Indonesiakan, paragrafnya berbunyi begini:
"Menurut kepercayaan orang Banten, ada perkawinan campuran yang tidak baik, karena dapat mendatangkan berbagai kemalangan bagi pasangannya. Misalnya, dua orang laki-laki bersaudara tidak boleh menikah dengan dua perempuan bersaudara. Hal ini disebut "ngagempur awi sadapur" (arti harfiahnya: menebang bambu serumpun). Selain itu, perkawinan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan dari satu keluarga dengan saudara perempuan dan saudara laki-laki dari keluarga lain tidak dianjurkan. Hal ini disebut "tambang kapuntir" (arti harfiahnya: tali yang jalinannya longgar). Bahkan pada masa hidup ayah saya, sudah diputuskan bahwa saudara laki-laki saya, Muhamad, akan menikah dengan adik perempuan istri saya, yang waktu itu bersekolah di Batavia."
Timbul kesan bahwa di kalangan tertentu kawin-mawin cenderung berkisar di lingkungan sendiri. Kata seorang teman yang tertarik oleh antropologi, kecenderungan itu pada dasarnya bertolak dari motif melindungi aset keluarga, agar tidak sampai terpecah keluar. Kalau memang demikian, kecenderungan itu kiranya setali tiga uang dengan gejala dalam politik oligarkis. Sumber-sumber daya, tak terkecuali sumber daya alam, yang mestinya dikelola sebijak mungkin demi kemaslahatan orang banyak, malah dikuasai sejenis dinasti, untuk anak, paman, dan menantu, buat ormas ini dan itu, bagi relawan anu, pokoknya buat para konco si empunya kekuasaan.
Sebagaimana tambang kapuntir dianggap tidak baik, demikian pula oligarki memang patut ditampik. Itulah antara lain yang terlintas dalam benak saya ketika menutup halaman tambang dalam kamus Eringa.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau Buku