• Kolom
  • MALIPIR #23: Sukarno dan Aidit dalam Novel

MALIPIR #23: Sukarno dan Aidit dalam Novel

Saya tertarik bukan hanya oleh gambaran politik Indonesia, melainkan juga oleh gambaran mengenai kehidupan sehari-hari komunitas koresponden asing di Jakarta.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Patung Sukarno di situs Penjara Banceuy di Kota Bandung. (Foto: Ernawati Sutarna)

6 Juli 2025


BandungBergerak - Sejak masih duduk di bangku SMP, saya suka mendengarkan siaran berita radio asing, khususnya BBC. Dulu, tentu, siaran itu tertangkap melalui gelombang pendek (SW). Kini, berkat internet, siaran itu dapat diikuti dengan telepon selular melalui live streaming atau layanan podcast. Tidak jarang berita yang tersiar datang dari Indonesia. Pada zaman autokrasi Suharto, berita demikian merupakan alternatif dari informasi yang diawasi. Dengan kata lain, sering saya mendapatkan gambaran mengenai Indonesia melalui perspektif koresponden asing.  

Baru-baru ini saya membaca novel The Year of Living Dangerously (1978) karya penulis Australia Christopher J. Koch. Saya tertarik bukan hanya oleh gambaran politik Indonesia di dalamnya, melainkan juga oleh gambaran mengenai kehidupan sehari-hari komunitas koresponden asing di Jakarta. Setelah terhenti-henti dalam beberapa pekan, tamat juga saya membaca buku ini. Ini cerita tentang pengalaman koresponden asing di tengah pusaran masa genting menjelang, ketika, dan setelah kejatuhan Presiden Sukarno pada paruh kedua dasawarsa 1960-an. 

Novel 296 halaman yang menghadirkan Sukarno dan Aidit ini terbit sekitar 13 tahun setelah peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto. Judul novel mengingatkan kita kepada judul pidato agustusan Bung Karno pada 1964 yang pernah diterbitkan oleh penerbit Tjita Agung Masagung, Tahun Vivere Pericoloso (1964). 

Telat amat, memang, seperti biasa. Film yang diangkat dari novel ini, arahan Pieter Weir, dan dibintangi oleh Mel Gibson serta Sigourney Weaver, sempat saya tonton sekian tahun lalu. Namun, novelnya baru belakangan saya baca berkat jasa kios buku bekas di Bandung - kota tempat Sukarno muda masuk kampus, menggugat Belanda, ketemu Marhaen, dan menggaet Inggit, juga kota yang konon diinginkan oleh Sukarno tua jadi tempat peristirahatannya yang terakhir, bukannya Blitar.

Romantika Ekspatriat dalam Politik Setempat

Di halaman 58-59 saya dapatkan refleksi tentang kehidupan koresponden asing. Kalau boleh saya Indonesiakan, bunyinya begini: "Koresponden asing hidup tanpa keberlanjutan, tanpa poros; dia punya sejumlah relasi, baik dengan warga negara tempat dia kebetulan bertugas maupun dengan koleganya. Tidak ada kesempatan, tidak ada kepercayaan, juga sesungguhnya tidak ada kecenderungan bagi jurnalis untuk jadi dirinya sendiri. 'Kepedulian' berarak sebagaimana halnya perasaan, dan senda gurau jadi pengganti pemahaman. Namun, pada tahun itu, saya suka berpikir bahwa ada sesuatu yang tumbuh di antara kami di dalam Wayang".

"Saya" dalam petikan itu adalah narator cerita ini, juga seorang koresponden asing. Adapun "Wayang" di situ merupakan nama bar di Hotel Indonesia, yakni hotel paling mentereng pada zaman Sukarno, tempat sang koresponden beserta sesama wartawan asing berkumpul dari hari ke hari. Boleh dibilang, jagat mereka membentuk sejenis kantung eksklusif di hotel mewah, terpisah dari jagat para pengayuh becak, pelacur, banci, dan penduduk bantaran kali. Mereka berada di tengah drama politik Indonesia, ikut menyaksikannya, bahkan hidup mereka terpengaruh olehnya, tapi pada saatnya mereka bisa kembali ke negeri asalnya atau ke negeri asing lainnya. Tidak ada hubungan abadi antara diri mereka dengan negeri tempat mereka bertugas. 

Kisah ini berpusar di sekitar hubungan intim antara Guy Hamilton, wartawan Australia, dan Jill Bryant, staf kedutaan Inggris. Di antara mereka ada tokoh penting yang jadi semacam mata rantai, yakni Billy Kwan, juru kamera bertubuh cebol keturunan Cina warga negara Australia. Billy menjalani hidup yang ganjil, dan dalam banyak hal seperti misteri: dia diam-diam menyusun berkas data dasar mengenai orang-orang yang diketahuinya, tak terkecuali Presiden Sukarno, seakan sedang bekerja untuk dinas intelijen. Billy juga pengagum Sukarno tapi pada akhirnya kecewa berat oleh sepak terjang Bung Besar yang dikaguminya. Bagi Hamilton, Billy bukan hanya kolega, melainkan juga pemandu di lapangan, bahkan semacam mentor. Satu-satunya orang Indonesia yang begitu dekat dengan dunia Hamilton adalah Kumar, komunis pengikut Aidit, juga salah satu pekerja lokal di kantor sang koresponden. 

Baca Juga: MALIPIR #22: Bercerita dari Majalengka
MALIPIR #21: Tambang Sunda

Novel The Year of Living Dangerously (1978) karya penulis Australia Christopher J. Koch, Senin, 7 Juli 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Novel The Year of Living Dangerously (1978) karya penulis Australia Christopher J. Koch, Senin, 7 Juli 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Wayang Kiri dan Wayang Kanan

Wayang bukan hanya nama bar dalam novel ini. Wayang kulit Jawa juga jadi alegori mengenai dunia politik yang melatari kisah ini. Pembabakan cerita dalam tiga bagian diberi istilah menurut langgam karawitan di panggung wayang: "patet nem", "patet sanga", dan "patet manjura". Tegangan politik di antara dua kekuatan utama digambarkan seperti dua kubu yang bersitegang di panggung wayang: "Wayang Kiri" dengan PKI pimpinan Aidit di satu pihak dan "Wayang Kanan" dengan kelompok "Muslim" dan Jenderal Suharto yang disebut sebagai "pangeran alus" di pihak lain. Adapun Sukarno, yang memainkan peran seperti bandul di antara keduanya, pada akhirnya jadi seperti Arjuna yang kehilangan sakti-nya.  

Saya agak terganggu oleh sudut pandang narator. Cerita dituturkan dari perspektif orang pertama, tapi sesungguhnya cakupan deskripsinya meliputi sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. Terlepas dari hal itu, sang pengarang piawai meramu beragam bumbu: kisah cinta, kospirasi politik, dinas rahasia dengan sedikit rasa James Bond, dan drama politik Asia Tenggara yang bagi sang koresponden asing bukan hanya telah "surut ke masa silam melainkan juga ke dalam lingkungan masyarakat dunia yang berbeda" (hal. 60). 

Saya tidak tahu apa sebab film yang diangkat dari novel ini tidak beredar di Indonesia pada masanya. Padahal garis besar cerita politiknya tidak jauh-jauh amat dari versi dominan pada zaman Suharto: PKI mendalangi kudeta, dengan pembunuhan atas beberapa jenderal jadi bagian menonjol darinya, tapi kudeta itu segera digagalkan dengan tampilnya Jenderal Suharto yang sebegitu jauh kurang diperhitungkan oleh para perancang gerakan akhir September 1965. Boleh jadi, itu karena dalam cerita ini ada beberapa rincian yang tidak ingin didengar oleh si empunya kekuasaan zaman Orde Baru, misalnya mengenai pembunuhan massal setelah bandul politik berbalik dari kiri ke kanan. Disebutkan di situ bahwa ada sekitar setengah juta jiwa yang tewas akibat kekerasan politik sehabis Peristiwa September.   

Terlihat juga sejenis simetri dalam jalannya cerita. Hamilton akhirnya kehilangan Billy yang tewas setelah membentangkan spanduk protes terhadap Sukarno dari jendela Hotel Indonesia. Dia juga kehilangan pandangan sebelah matanya akibat pukulan popor bedil oleh seorang tentara di Lapang Merdeka di tengah situasi genting. Kepergian Billy rupanya tak ubahnya dengan hilangnya sebagian penglihatan Hamilton. Meski jalannya suram, kisah hidup Hamilton boleh dibilang berakhir bahagia di samping Jill yang sedang mengandung tapi hampir saja terlepas darinya. Namun, akhir cerita itu tidak berlangsung di Indonesia. melainkan nun di Yunani.

Dengan membaca novel ini, saya merasa mendapat tambahan pengertian mengenai peristiwa Indonesia seperti yang sering terdengar melalui radio asing. Buat saya, yang saban Senin menyimak liputan human interest dalam program From Our Own Correspondent dari BBC, karya Christopher Koch jadi pemerkaya tersendiri.*** 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau Buku

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//