• Kolom
  • MALIPIR #25: Dari Pintu ke Pintu

MALIPIR #25: Dari Pintu ke Pintu

Kalau tiap-tiap bab dalam novel kita ibaratkan pintu, maka melalui pintu-pintu itulah kita mendapatkan jalan masuk ke dalam rincian pengalaman tokoh cerita.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Ilustrasi buku bacaan umumnya seperti sebuah bangunan yang terdiri dari sekian ruangan. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

21 Juli 2025


BandungBergerak.id – Saya beranggapan bahwa bab dalam novel tidak ubahnya dengan cerita pendek. Isinya terpusat ke satu insiden, uraiannya dinamis dalam arti bergerak dari awal ke akhir bab, dan komposisinya rampung. Satu bab merupakan satu karangan utuh.

Ambil contoh bab pertama dalam novel Manusia Bebas, terjemahan dari Buiten Het Gareel,  karya Suwarsih Djojopuspito. Peristiwanya adalah penolakan penerbit terhadap naskah buku karangan Sulastri. Cerita bergerak dari terpukulnya hati sang pengarang, beranjak ke dalam dialog antara Sulastri dan suaminya, Sudarmo, sebelum berujung dengan bangkitnya Sulastri untuk menebus kekalahannya dengan menulis karangan baru.

Bab itu dimulai dengan kalimat: "Sudah nyata baginya sekarang bahwa naskahnya telah dikembalikan". Pada akhir bab dapat kita petik dua kalimat dari paragraf penghabisan: "Pada malam itu ia mulai helaian kertas yang baru. Tulisan itu harus menggantikan naskahnya yang ditolak itu, harus dijadikan perkakas untuk membalas kekalahannya". Dari kalimat pertama hingga kalimat terakhir, sepanjang 14 halaman, terjalin potongan cerita nan padu. 

Tentu, novel berbeda dari kumpulan cerita pendek. Dalam novel cerita dalam bab yang satu menimbulkan konsekuensi bagi cerita dalam bab berikutnya. Tiap-tiap potongan cerita dalam tiap-tiap bab merupakan bagian dari keseluruhan cerita yang tertuang dalam novel. Lain halnya dengan kumpulan cerita pendek: cerita yang satu tidak bertautan dengan cerita yang lain. 

Itu sebabnya membaca novel niscaya bergerak lurus dari bab pertama ke bab berikutnya, terus hingga bab terakhir. Itu sangat berlainan dengan apa yang mungkin kita lakukan sewaktu membaca kumpulan cerita pendek: meloncat-loncat, maju-mundur, dari cerita yang satu ke cerita lainnya. 

Baca Juga: MALIPIR #22: Bercerita dari Majalengka
MALIPIR #23: Sukarno dan Aidit dalam Novel
MALIPIR #24: Tambah Jauh dari Tanah Rendah dan Awan

Marka Buku di Akhir Bab                         

Anggapan demikian mempengaruhi kebiasaan saya membaca, terutama ketika novel yang saya baca memerlukan waktu luang yang cukup lapang, misalnya War and Peace karya Tolstoy. Sebelum jeda membaca, biasanya saya berupaya merampungkan bab yang sedang saya baca. Dengan begitu, marka buku (bookmark) dapat saya selipkan di akhir bab.

Jeda membaca di tengah bab terasa seperti beristirahat di tempat yang kurang tepat. Awal sudah terlewati, ujung belum tercapai. Jauh lebih menyenangkan jika saya beristirahat di akhir bab. Cara demikian tak ubahnya dengan berhenti sebentar di tempat-tempat yang telah disediakan dalam peta jalan. Sambil beristirahat kita dapat merenungi potongan cerita yang sudah rampung kita baca. 

Anggapan saya, rasa-rasanya, terpengaruh oleh asal-usul istilah bab itu sendiri. Kita tahu, sebagaimana yang tercatat pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah Arab baabun berarti "pintu". Dalam penglihatan saya, buku bacaan umumnya, novel khususnya, seperti sebuah bangunan yang terdiri atas sekian ruangan, dan dari satu ke lain ruangan terdapat pintu.

Pintu Masuk ke Tokoh Cerita

Ada dua hal yang saya catat dari bab tentang novel dalam Slow Reading in a Hurried Age karya David Mikics, yakni kehadiran tokoh-tokoh cerita dan keragaman suara mereka. Dikatakan bahwa novel adalah karangan yang sangat kuat membetot pembaca ke dalam diri tokoh cerita.  Dikatakan pula bahwa di dalam novel pembaca dapat mengenali suara tersendiri pada tiap-tiap tokoh cerita. Pendeknya, pembaca dapat mengidentifikasi dirinya pada kehadiran sang tokoh.

Contoh tentang pentingnya tokoh cerita dapat kita lihat dalam karya Cervantes yang termasyhur, novel tentang pembaca novel. Bab pembuka novelnya diisi dengan deskripsi mengenai sosok Don Quixote, sang tokoh utama: namanya, penampilannya, hidup sehari-harinya, dan keganjilannya. Adapun contoh keragaman suara dalam novel dapat kita cari dalam karya Umar Kayam, Para Priyayi. Tiap-tiap tokoh dalam novel ini diberi kesempatan untuk bercerita sendiri kepada pembaca. Kalau deskripsi tokoh tidak terperinci dan kalau keragaman tokoh tidak menyampaikan keragaman suara, novel yang kita baca hanyalah karangan yang buruk.

Kalau tiap-tiap bab dalam novel kita ibaratkan pintu, maka melalui pintu-pintu itulah kita mendapatkan jalan masuk ke dalam rincian pengalaman tokoh cerita. Dengan begitu, kita belajar menyimak suara, mengenal karakter, menempatkan diri kita dalam situasi diri tokoh cerita. Kalau Cervantes menyebut novelnya "sejarah", kita sendiri dapat merasakan bahwa melalui tokoh-tokoh cerita yang hidup dengan darah dan daging, dengan otot dan tulang, novel memang menyuguhkan sejarah yang konkret: perubahan zaman tercermin yang dalam perubahan nasib individu.

Pelajaran buat Hidup Sehari-hari

Pembaca novel seperti Don Quixote atau Don Quixada atau Don Quexana cenderung melihat dirinya sendiri seperti tokoh dalam novel. Hidup sehari-harinya sarat petualangan, demi satu misi, dengan menyongsong berbagai tantangan. Baginya, para ksatria dalam novel hadir seperti role model: pergi jauh dari rumah, naik gunung, turun ke lembah, tidur di alam terbuka, melawan si jahat lengkap dengan guna-gunanya, dan seterusnya. Simak saja, misalnya, percakapan menarik dalam bagian kedua Don Quixote antara tokoh utama novel itu dan seorang pemuda bernama Sampson Carrasco yang mengaku telah membaca buku tentang kisah sang don. 

Saya jadi teringat kepada seorang teman yang suka membaca buku. Sekian tahun lalu dia menghadapi hari yang amat berat ketika istrinya tercinta berpulang. Saya turut berduka dan sedapat mungkin turut menghibur hatinya. Beberapa bulan kemudian saya bertemu lagi dengannya, dan menanyakan keadaan dirinya sepeninggal sang istri. Ia menjawab, "Saya harus melangkah ke chapter berikutnya."

Dari sang teman, saya ikut belajar untuk tidak melupakan kerangka cerita atau gambar besar yang meliputi hidup saya, betapa pun kuatnya insiden tertentu menyita perhatian saya. Satu kejadian penting dalam hidup sehari-hari kiranya tidak ubahnya dengan satu bab dalam novel yang sedang kita baca. Barangkali.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//