• Kolom
  • MALIPIR #30: Sebelum Dipenggal Waktu

MALIPIR #30: Sebelum Dipenggal Waktu

Puisi keagamaan Matdon tidak selalu disuarakan dengan kata-kata langitan. Sering ia mengandalkan idiom dari hidup sehari-hari.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Matdon, buku puisi Hanya Waktu dalam diskusi di Kedai Jante, Jalan Garut, Kota Bandung, Jumat, 22 Agustus 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

24 Agustus 2025


BandungBergerak - Penyair Matdon datang dari lingkungan santri. Ia belajar ngaji di Cipasung, bahkan sering memijit-mijit punggung pangersa Mama Ajengan Ilyas, kemudian ikut kuliah Islam di Gunung Jati. Program studinya di IAIN terbilang seram: mula-mula Akidah Filsafat kemudian meloncat ke Perbandingan Agama. Dari ayahnya, ia menyimpan tulisan pegon, sejenis risalah beraksara Arab tapi berbahasa Sunda. Sambil terus menulis puisi dan melakoni kerja jurnalistik -- dua kegiatan yang tabiatnya sangat berlainan -- ia sebetulnya sedang menulis soal fiqih.

"Saya ini kiai palsu," katanya berseloroh di Kedai Jante dalam perbincangan mengenai buku puisinya yang terbaru, Hanya Waktu (2025).

Ini buku puisi kesepuluh yang lahir dari tangan Matdon. Kalau kita tambahkan koleksi esai, belasan sudah buku yang telah dia tulis. Buku terbarunya ini, seperti beberapa bukunya yang terdahulu, diusahakan sendiri. Dalam istilah si empunya buku, penerbitannya merupakan "UMKM" alias "usaha Matdon keur Matdon".

Adapun pepatah Arab yang dia petik dalam diskusi kedengarannya asli. Kata sahibul puisi, waktu itu ibarat pedang. Kalau dulur-dulur tidak bisa mematahkannya, maka waktulah yang bakal memenggal kalian. Di antara hadirin, di halaman kedai, saya manggut-manggut sambil bergumam: éta pisan. Dari puisinya, "Mekah", saya pun ikut menangkap isyarat tentang cara sang penyair menyiasati waktu melalui puisi: "berebut makna dengan debu".

Dua Jalan

Puisi adalah jenis tulisan yang masih menyimpan tradisi lisan. Tulisan penyair bisa dan lazim dibacakan buat hadirin yang sudi mendengarkan. Sore itu, di dalam majelis puisi, hadir sesama penyair, antara lain Deddy Koral dan Gusjur Mahesa. Seperti Deddy, Gusjur pun aktor, bahkan pernah ia berlatih di Bengkel Teater Rendra. Saya jadi teringat banyolannya sekian tahun silam: rendra itu singkatan dari "rencana drama". Rupanya, waktu itu, ia kebanyakan berlatih dan tak kunjung naik pentas. Namun, kali ini penyair-aktor yang sehari-hari jadi dosen itu bisa langsung main teater tanpa latihan. Ia membacakan puisi Matdon, "Takdir yang Tertukar" dengan cara teatrikal: repetisi tawa di antara penggalan larik, juga jeda di tengah puisi buat melontarkan komentar.

Pandangan Gusjur dalam diskusi layak dicatat. Matdon, katanya, berpuisi di antara dua kecenderungan: lirisisme gaya Cipasung yang banyak mengolah metafora dan kritik sosial yang tak banyak bersolek dan bahan-bahannya diangkat dari sekitar dunia Matdon sehari-hari. Gusjur, penulis kumpulan puisi "Mending Gélo daripada Korupsi", kedengarannya lebih suka dengan kecenderungan yang disebutkan belakangan. Namun, katanya lagi, penyair menyentuh isu sosial-politik dengan mengedepankan empati, dengan bahasa hati.

Seberapa sering penyair menangis? Dalam kasus Matdon, seperti yang dia ceritakan sendiri di depan hadirin, hanya tiga kali: ketika lahir, tatkala ditinggal mati oleh ayah dan ibu, dan semasa menghampiri Ka'bah. Tentu saja, di luar tiga kejadian itu bukannya tidak ada lagi alasan untuk terharu. Sebaliknya, malah. Puisinya toh menunjukkan hal itu. Sang penyair ikut tersentuh, misalnya, oleh situasi di Palestina tempat "anak-anak kehilangan matahari" sementara di Indonesia "orang-orang sibuk beternak suara". Ia pun, contohnya lagi, menangkap jejak "luka perempuan" di balik sejarah Saritem.

Di samping keterharuan, terlihat kesanggupan menangkap segi-segi yang pahit dari hidup manusia. Ada kalanya ia mencela, ada kalanya pula ia prihatin. Pada sajak yang amat pendek, "Clear Chat", misalnya, ia agaknya menangkap hipokrisi: "hapus teksmu/hapus jejak dosamu". Di mata sang penyair, gandrung medsos belum tentu berarti terbebas dari beban kesepian, salah satu pokok soal abadi dalam puisi. Itu digambarkan dalam sajaknya, "Tiktok": "sepi terus dirayakan/seperti idulfitri".

Baca Juga: MALIPIR #29: Cerita Proklamasi dari Sebelah Kiri
MALIPIR #28: Belajar Membaca kepada Penulis Esai
MALIPIR #27: Bacaan Tak Ada Ujung

Napas Keagamaan

Antologi 60 halaman ini menyuguhkan sajak-sajak dari sekitar lima tahun terakhir, sejak periode Covid hingga periode genisoda atas Gaza oleh zionis Israel. Salah satu ciri umum dalam sajak-sajak itu adalah sejenis napas keagamaan. Bahkan ada beberapa puisi yang ditulis dari pengalamannya di tanah suci Mekah dan Madinah. Jika Chairil Anwar dalam "Doa"-nya merasa "hilang bentuk./remuk" di depan pintu Tuhan, Matdon dalam sajak "Di depan Ka'bah" berucap singkat: "tuhan,/aku tidak ada".

Puisi keagamaan Matdon tidak selalu disuarakan dengan kata-kata langitan. Sering ia mengandalkan idiom dari hidup sehari-hari. Dalam "Ramadhan", misalnya, sang penyair yang merasa bahwa "keringatku melaut dalam doa", juga menyadari bahwa dalam keheningan "doa malam"-nya di kepalanya seakan berkumpul "ribuan orang" yang "jajan seblak dan tutug oncom". Lagi pula, memang tidak sedikit orang yang berbuka puasa atau makan sahur dengan menyantap sajian demikian.

Ungkapan sehari-hari dalam bahasa Sunda, yakni bahasa ibunya, juga mendapatkan tempat dalam puisinya. Dalam "Hujan & Natal", contohnya, tutur kata setempat turut mengisi lukisan suasana juga menjadi suara batin orang yang memperdengarkan suaranya dalam sajak ini. Pokok soal sajak berkaitan dengan gerundelan rutin di Indonesia soal layak tidaknya Muslim menyampaikan salam Natal kepada rekan sebangsa. Sang aku lirik berucap: "bébas jeung uing mah, rék ngucapkeun heug,/teu kajeun".

Bagi penyair santri yang jadi pengasuh komunitas Majelis Sastra Bandung ini, seperti yang ia kemukakan di depan hadirin, apa pun pokok soal yang diangkat dalam puisi, perenungan niscaya sampai ke agama juga. Perenungan demikian juga terasa dalam puisi "Menjadi" yang menggambarkan satu sosok pribadi dengan tiga peran: "menjadi suami, ayah, dan lelaki" dalam hidup yang bengis. Katanya: "dari pagi hingga pagi/ia menjadi utusan tuhan". 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//