• Kolom
  • Lagu Wajib, Lagu Perjuangan, Lagu Nasional, atau Lagu Tanah Air?

Lagu Wajib, Lagu Perjuangan, Lagu Nasional, atau Lagu Tanah Air?

Sekarang tidak ada lagi komponis lagu perjuangan. Mungkin di era sekarang lagu perjuangan yang membangkitkan rasa kebangsaan memang tidak dibutuhkan lagi.

Anton Solihin

Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor

Sampul buku Lagu-lagu untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan karya Muchlis, B.A. dan Azmy B.A. (Foto: Dokumentasi Anton Solihin)

23 September 2025


BandungBergerak.id – Apa yang dibayangkan dan dipikirkan Ibu Sud semasa hidupnya adalah selalu dan melulu tentang bagaimana caranya melahirkan dan menyanyikan lagu-lagu yang dibuat sederhana dan bagus untuk anak-anak: Lihat Kebunku, Naik Delman, Naik Kereta Api, Bertanam Jagung, Nenek Moyangku, atau Hai Becak. Tentu saja tidak pernah terbayangkan oleh beliau bahwa lagu ciptaannya yang indah itu, Tanah Airku, bisa dengan khusyuk menjadi semacam ritual, dinyanyikan serentak puluhan ribu orang di dalam stadion di setiap akhir pertandingan sepak bola tim nasional negaranya, atau bahkan dinyanyikan ribuan pendemo di antara gas air mata, batu, kayu, dan bom molotov yang beterbangan, seperti yang terjadi pada peristiwa unjuk rasa beberapa hari yang lalu. Betul-betul bikin merinding!

Tanah Airku, kita kenal sebagai bagian dari “lagu yang diwajibkan ada pada buku pelajaran musik di sekolah”. Barangkali itu sebab muncul istilah “lagu wajib”. Contohnya: (lagu kebangsaan) Indonesia Raya, Di Timur Matahari, Ibu Kita Kartini (W. R. Supratman), Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka (Ismail Marzuki), Satu Nusa Satu Bangsa (L. Manik), Indonesia Tumpah Darahku, Berkibarlah Benderaku (Ibu Sud), Tanah Tumpah Darahku, Maju Tak Gentar, Indonesia Tetap Merdeka (Cornel Simandjuntak), Hari Merdeka, Sjukur, Gembira (H. Mutahar), dan Bangun Pemudi Pemuda (Alfred Simanjuntak).

Sejak masa sekolah, kita diwajibkan mengenal apa yang dimaksud dengan lagu-lagu tersebut, entah karena alasan mata pelajaran “Pendidikan Musik” atau adanya upacara bendera sekolah di hari Senin. Lagu-lagu itu kemudian rutin kita dengar selama bertahun-tahun sesudahnya di pagi hari pukul 06.00 saat memutar radio, atau (entah mengapa harus) pada kisaran pukul 00.00 hingga 01.00 dini hari saat kita nyaris terlelap di depan televisi. Atau kita juga mendengarnya secara acak di media sosial apa pun, atau saat kita pergi ke pelosok mana pun di negeri ini.

Sampul buku Kumpulan Lagu-lagu Nasional karya Ida Bagus Gede . (Foto: Dokumentasi Anton Solihin)
Sampul buku Kumpulan Lagu-lagu Nasional karya Ida Bagus Gede . (Foto: Dokumentasi Anton Solihin)

Baca Juga: Lima Puluh Tahun Kelahiran Sex Pistols dan Revolusi Punk, Kita Artikan Apa?
Bukan Bioskop, Tetapi Komunitas Layar Tancap
Cerita Kecil Dunia Buku Bandung Era 1990-an

Buku Kategori Langka

Sejumlah buku telah disusun untuk memuat partitur dan lirik lagu semacam itu. Contohnya  buku yang ditulis Muchlis, B.A. dan Azmy B.A (Perbaikan naskah lagu wajib (1978), disusun ulang 1987, dan kemudian beredar edisi April 1992). Juga Kumpulan Lagu-lagu Nasional yang disusun Ida Bagus Gede (Penerbit Alumni Bandung, 1986). Dikatakan pada Kata Pengantar cetakan kedua mengapa buku ini diterbitkan ulang: “Semula buku ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan terbatas dalam rangka penataran P-4 bagi siswa baru SMTP/SMTA di Kotamadya Bandung pada tahun ajaran 1985-1986. Tetapi di luar dugaan, banyak permintaan dari pihak luar yang merasa amat berkenan dengan kehadiran buku ini.” Bisa diartikan bahwa hingga dekade 1990-an, bahkan hingga saat ini, buku dengan kategori seperti itu masih tergolong langka.

Buku-buku musik seperti itu umumnya memuat semua lagu wajib yang (konon) telah ditetapkan Depdikbud, plus sejumlah lagu lain yang kira-kira setipe, atau kadang acak saja. Dikatakan bahwa  penyusunan repertoar lagu-lagu itu untuk “melestarikan kebudayaan nasional dan mewujudkan wawasan nusantara”. Dan bisa dikatakan, frekuensi kita mendengar lagu-lagu tersebut umumnya meningkat menjelang perayaan 17 Agustus.

Apabila istilah yang dipakai pada buku-buku itu “Lagu-lagu Wajib” atau “Lagu-lagu Nasional”, kadang juga disebut “Lagu-lagu Perjuangan” –namun jauh sebelum itu, di awal Republik ini berdiri,  J. A. Dungga dan L. Manik lebih suka menyebut lagu-lagu semacam itu sebagai  “Lagu-lagu Tanah Air”. Dijelaskan apa yang dimaksud:

“Apa yang disebut musik nasional Indonesia –tak dapat atau tak cepat bisa ditjapai– kalau orang-orang kita segan-segan untuk mengemukakan pikiran-pikirannja yang berlainan dengan apa yang didengarnja. Tak selamanya pergeseran pikiran berarti kemunduran atau kekatjauan, malah menurut hemat kami, pergeseran yang dilakukan sebaik-baiknja bisa membawa kesegaran berpikir baik pada orang-orang yang bersangkutan maupun pada orang banyak. Bisa menimbulkan suatu kritische zin (pemahaman kritis) dan bisa melepaskan orang dari lumpur sleurleven (rutinitas).” (Musik di Indonesia dan Beberapa Persoalannja, Balai Pustaka, 1952). Berikutnya, dalam tulisan ini, Penulis memilih menggunakan istilah “Lagu-lagu Tanah Air.”

Maka, sejak itu diperkenalkanlah kepada para siswa sekolah “lagu-lagu Tanah Air” tadi, serta (apa yang kemudian diistilahkan) jenis-jenis lagu lainnya: seriosa, keroncong asli, langgam, hiburan, dan hiburan populer yang jejaknya sampai kepada kita hingga hari ini.

Sampul buku Nyanyian Dua Suara untuk Sekolah Dasar karya A. T. Mahmud. (Foto: Dokumentasi Anton Solihin)
Sampul buku Nyanyian Dua Suara untuk Sekolah Dasar karya A. T. Mahmud. (Foto: Dokumentasi Anton Solihin)

Cerita Para Komponis Pelopor

W. R. Supratman (1903-1938) bersama Cornel Simandjuntak (1920-1946), L. Manik (1924-1993), Kusbini (1910-1991), Husein Mutahar (1916-2004), Ibu Sud (1908-1993), serta Ismail Marzuki (1914-1958) (kadang juga dimasukkan Alfred Simajuntak (1920-2014), Binsar Sitompul (1923-1991) dan Mochtar Embut (1934-1973)), adalah serombongan komponis hebat pelopor lagu perjuangan Indonesia sebagaimana digambarkan di atas.

Menariknya, terdapat penjelasan seperti ini: “Perlu diketahui, bahwa hampir semua penggubah lagu-lagu itu (yang dimaksud para komponis di atas) bukanlah ahli musik dalam arti yang sebenarnya. Kebanjakan dari mereka merupakan ‘gelegenheids-componisten’ (berkesempatan menjadi penggubah lagu) dengan pengetahuan musik jang serba tidak sempurna”. Itu dikatakan J. A. Dungga dan L. Manik (1952: 56). Kalau begitu, bagaimana mungkin mereka bisa menghasilkan begitu banyak lagu yang mudah diingat, begitu memesona dan tak lekang oleh waktu?

Secara sederhana, L. Manik dan J. A Dungga membagi lagu-lagu itu ke dalam empat golongan:  pertama, lagu-lagu Tanah Air, berupa mars. Contohnya Dari Barat Sampai ke Timur (nn), Indonesia Merdeka (Sorak sorak Bergembira) (C. Simandjuntak), dan Hallo Hallo Bandung. Kedua, lagu-lagu Tanah Air, bersuasana tenang. Contohnya Tanah Tumpah Darahku (Cornel Simandjuntak), Sjukur (H. Mutahar), dan Padamu Negeri (Kusbini). Ketiga, lagu-lagu percintaan. Contohnya Gugur Bunga (Ismail Mz.). Keempat, lagu-lagu sindiran. Dicontohkan di sini: Sepandjang Malioboro.

Rupanya banyak cerita di balik sosok komponis dan lagu-lagunya itu. Lagu kebangsaan kita Indonesia Raya yang dikenal luas sejak Sumpah Pemuda 1928, misalnya, dituduh plagiat oleh Amir Pasaribu pada tahun 1950-an dari lagu jazz tahun 1920-an Lekka-lekka atau Pinda-pinda. Disebutkan juga bahwa lagu ini punya sejarah panjang sebelum diterima menjadi lagu kebangsaan (Tambayong, 1992: 239). Persoalan yang mengemuka itu diuraikan pula pada Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raja (Oerip Kasansengan, PD Pertjetakan Grafika Karya Surabaya) dan buku Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (B. Sularto, Balai Pustaka, 1991).

“Mengenai lagu kebangsaan, seringkali kita harus menyiasati sehingga lagu itu dipahamkan dalam sentiment nasional suatu bangsa; artinya jangan dibawa-bawa norma suatu estetis mengenai kata-kata ataupun musiknya. Sebab jarang yang mencapai derajat puitis bermutu tinggi, bahkan etis pun tidak,” tulis Pasaribu (1986: 45). “Lagu kebangsaan dunia bermacam-macam pula mutunya, nilai maupun jasanya. Tidak jarang lagu nyanyiannya sungguh miskin atau jelek. Hanya karena diresmikan menjadi permanen, ia kekal abadi!”

Menurut Amir Pasaribu, W. R. Supratman lebih tepat disebut sebagai pejuang daripada komponis, sementara Cornel Simandjuntak adalah komponis yang berjuang (sebagai catatan, Cornel meninggal di masa revolusi dalam perang gerilya). Dikatakan juga bahwa W. R. Supratman lebih pantas dikenang bukan sebagai komponis, tetapi nasionalis. Itu dikatakan L. Manik dan J. A. Dungga.

Sementara Cornel Simandjuntak (1920-1946) yang menciptakan Asia Sudah Bangun, Indonesia Merdeka, Sorak-sorak Bergembira, Citra, dan Mekar Melati, pada suatu masa membuat terobosan dengan membuat komposisi yang liriknya dibuat oleh para penyair: Sanusi Pane & J. E. Tatengkeng. Cornel dipandang sebagai komponis Indonesia pertama yang memadukan antara musik sebagai sepenuhnya seni, dan musik sebagai bagian perjuangan bangsa. Sosok lain yang memanfaatkan puisi untuk komposisinya adalah pencipta lagu lembut nan flamboyan: Mochtar Embut. Dalam lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan dan Di Sudut Bibirmu, ia memanfaatkan puisi 9 Sajak WS Rendra, Doa Chairil Anwar, dan Jika Kau Tahu Usmar Ismail.

Pengecualian untuk semua tokoh di atas adalah Amir Pasaribu. Sosok yang menciptakan Andhika Bhayangkari ini adalah juga penggubah sejumlah komposisi instrumentalia menarik seperti Sunrise at the Yangtze, Dr. Sun Yat Sen Memorial Hall, dan Hangtsu Mountains and Creeks at Sundown (Madjalah Bulanan Seni, No. 4 Tahun I, April 1955). Pasaribu pergi ke Suriname pada awal 1960-an dan baru kembali ke Tanah Air pada tahun 1990-an. Remy Sylado menyebut Pasaribu sebagai ”satu-satunya tokoh musik Indonesia dari masa awal kemerdekaan yang harus disebut intelektual, pemikir, ahli, sekaligus seniman dan pedagog.” Lalu ditambahkan, “Pada saat pengertian musik menjadi sangat dangkal seperti sekarang, memang Indonesia membutuhkan tokoh seperti Pasaribu,” (Tambayong, 1992:103-104).

Alasan Amir Pasaribu tidak lebih dikenal dari komponis lain dikemukakan Prakarsa (Harian Kompas, 2 Februari 2003) sebagai berikut: “Waktu itu adalah masa menjamurnya musik vokal berupa nyanyian paduan suara gegap gempita memuja negara (yang katanya digemari Bung Karno), maupun seriosa yang diilhami tembang seni (lied, art song) Romantik abd ke-19. ... Karena sebagian besar komposisi Pasaribu adalah untuk instrumen, tidak heran namanya nyaris tidak terdengar.”

Sampul buku Komposisi untuk Piano Tunggal karya Trisutji Kamal. (Foto: Dokumentasi Anton Solihin)
Sampul buku Komposisi untuk Piano Tunggal karya Trisutji Kamal. (Foto: Dokumentasi Anton Solihin)

Penulisan Buku dan Perekaman Album

Cara lain mengukur popularitas “Lagu Tanah Air” di atas antara lain adalah melalui penulisan buku otobiografi, biografi atau partitur yang pernah diterbitkan, atau pembuatan rekaman audio yang pernah dirilis melalui perusahaan rekaman.

Buku-buku yang diterbitkan mengenai para komponis ini, termasuk barangkali W. R. Supratman dan  Ismail Marzuki –rata-rata berbentuk sederhana. Cornel Simanjuntak ditulis dalam Komponis Penyanyi Pejuang (1992). Untuk Kusbini –Seniman Musik keroncong Tiga Zaman & Partitur Negeri-Jejak Juang Kusbini. Lagu-lagu Ibu Sud dikumpulkan dalam buku Kutilang, Seruling dan Lagu-lagu Rohani. Biografinya berjudul Karya dan Pengabdiannya, sementara biografi Husein Mutahar merupakan buku proyek berjudul Pengabdian & Karyanya yang dikerjakan Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan & Kebudayaan tahun 2019. Menurut Penulis, deretan karya literasi semacam ini untuk mereka, para komponis besar yang pernah dilahirkan negeri ini –masih jauh dari kategori layak. Sebagai antitesa, buku partitur Trisutji Kamal (Komposisi untuk Piano Tunggal – dari Hymne, Arabesk, Sampai Soleram Fantasi, Gramedia: 1993) atau karya Agus R. Irkham – Iravati Sudiarso – Empu Pianis Indonesia (2023) yang digarap serius, pantas dijadikan contoh pembanding.

Perintisan rekaman “Lagu-lagu Tanah Air” dilakukan melalui album Indonesia Raja oleh Perusahaan Rekaman Lokananta di Solo, yang memuat Indonesia Raja, Satu Nusa Satu Bangsa (L. Manik), Bagimu Neg’ri (Kusbini), dan Rajuan Pulau Kelapa (Ismail Mz). Sejak itu, album-album yang memuat apa yang disebut “Lagu-lagu Nasional” kerap dilakukan dan dalam perilisannya, karya cipta Ismail Marzuki menjadi primadona, khususnya dalam corak irama keroncong.

Kita mengenal Brigadier General Pirnagdie yang merekam album A Tribute to Heroes In Kroncong Beat yang melantunkan Rangkaian Bunga, Pahlawan Merdeka dan Gugur Bunga. Juga album Reveries of the Independence War In Krontjong Beat, yang memuat Sepasang Mata Bola, Rangkaian Melati, Selendang Sutra, Saputangan dari Bandung Selatan, dan Stambul Merdeka.

Salah satu yang populer di tahun 1960-an adalah rekaman suara indah Sam Saimun pada album Mengenang Ismail Marzuki, dan di era kaset kita temukan album Ismail Marzuki Volume 1&2 Kroncong asli acoustic (Remaco), yang mengiringi Sam Saimun, Bram Aceh, Sumiati, Isnarti, dan Toto Salmon.

Patut dicatat juga album Karya Cipta Ismail Marzuki (Granada Record) bersama Kris Biantoro, termasuk album favorit penulis –format kaset lagu-lagu pilihan Ismail Mazuki, dari akhir 1970-an yang dinyanyikan oleh Broery Pesolima, Zwesty Wirabuana, dan Masnun. Dari dekade 2000-an kita menemukan album unik seperti misalnya Variations On Sepasang Mata Bola (Ananda Sukarlan) atau, karya Idris Sardi serta Nokturno Nusantara (Jaya Suprana).

Kepopuleran lagu-lagu Ismail Marzuki termasuk selalu terpelihara sejak 1960-an karena album yang merekam lagu-lagunya terus menerus hadir pada setiap dekade, termasuk acara keroncong di TVRI. Bahkan sebelum itu, terdapat contoh unik sebagaimana yang dikerjakan Orkes Saiful Bahri dalam album  Selendang Sutra, yakni dengan irama cha cha.

Ditulis pada sampul album Selendang Sutra: “Kita mengenal irama latin agak terlambat, yang baru dikenal luas di negeri ini tahun 1950-an. Maka muncullah combo (kumpulan musik kecil). Ini pertama kalinya irama Amerika Latin dimainkan oleh orkes besar. Sengaja Saiful Bahri menghimpun lagu-lagu lama yang sesungguhnya telah hampir klasik dalam dunia musik Indonesia: Saputangan, Bengawan Solo (Gesang), Sepasang Mata Bola, Diwadjahmu Kulihat Bulan, Selendang Sutra, Saputangan dari Bandung Selatan, Melati di Tapal Batas, & Jangan Ditanya (Ismail Mz).”

Menyiasati kelangkaan rekaman “Lagu-lagu Tanah Air”, pada akhir 1990-an, keprihatinan Addie M. S. diungkapkan dengan melakukan usaha menggarap dan merekamnya dengan orchestra lengkap Melbourne Symphony Orchestra (MSO). Diungkapkan olehnya,  “Kecuali Indonesia Raya, lagu lainnya (pada proyek tersebut) diaransemen ulang. Langkah itu memang harus diambil, sebab partitur lagu-lagu itu dalam bentuk orkes besar ternyata tidak ada. ... Padahal saya sudah mengobrak-abrik RRI. Kita memang miskin dalam masalah naskah musik.” (Majalah Forum Keadilan No. 15, Tahun VII, 2 November 1998).

Beberapa Kontroversi

Di samping itu, terdapat juga cerita-cerita yang mengandung kontroversi. Di bawah ini Penulis singgung beberapa di antaranya: Dari Barat Sampai ke Timur adalah komposisi yang tidak diketahui siapa penggubahnya, namun lagu itu sangat popular di masa revolusi kemerdekaan. “Bagi mereka yang memperhatikan melodinja maka segera akan melihat adanja ‘persamaan’ antara lagu ini dengan La Marseillaise, lagu kebangsaan Prantjis,” (Dungga & Manik, 1952: 58).

Hallo Hallo Bandung yang resminya diakui sebagai karya cipta Ismail Marzuki oleh negara melalui Piagam Wijayakusuma pada tahun 1961, menuai banyak masalah (Tambayong, 1992: 189). Dungga dan Manik menyebut nama Tobing, seorang pejuang gerilya, sebagai penciptanya, tetapi Tambayong menyebut tahun yang lebih tua, 1923, dengan merujuk suara Willy Derby yang beredar sebagai PH, dan terdengar tiga tahun kemudian melalui siaran radio BRV (Bandoengsche Radio Vereniging).

Berikutnya ada lagu Padamu Negeri ciptaan Kusbini yang dituntut Semedi (bekas wartawan De Locomotief) sebagai lagu ciptaannya (Majalah Tempo, 14 Oktober 1978). Kusbini menjelaskan dalam artikel dimaksud bahwa dia  menciptakan (bukan Padamu Negeri tetapi) Bagimu Negeri tahun 1944 sehabis mengikuti misa agung malam natal di Gereja Katolik Kebalen, Solo, “Saya mendapatkan ilham dari lagu-lagu gerejani!” Dalam kasus ini, Kusbini akhirnya dinyatakan menang.

Di era kemudian, kita masih menemukan sejumlah komponis yang berusaha menciptakan lagu-lagu dengan corak yang kira-kira serupa dengan para komponis pelopor generasi awal tadi. Sebagaimana bisa dilihat pada kebanyakan judul lagu yang tercipta (rupanya cukup masif) –dan  tampak bahwa kebanyakan lagu-lagu semacam itu berupa pesanan untuk lembaga, organisasi atau peristiwa besar tertentu– terangkum sebagaimana contoh-contoh berikut: Mars Korpri, Mars PGRI, Lagu Sapta Pesona (terkait pariwisata), Jalesveva Jayamahe, Mars Angkatan Bersenjata, Mars Angkatan Udara, Keluarga Berencana, Mars KBI (Kepanduan), Gita Jaya (tentang Jakarta), Mars Harapan Bangsa (terkait Pekan Olahraga Nasional), Mars Tabanas-Taska, Swa Bhwana Pakci AURI, Penghijauan, Jambore Nasional 1981, Hidup Sederhana, Mari Cacah Jiwa (tentang statistik), atau Hymne Ganefo hingga ASEAN Theme Song.

Terdapat juga lagu-lagu yang berhubungan dengan Pancasila: Mars Pancasila, Hymne Pancasila, Negara Pancasila, atau Pancasila Mercusuar Buana.

Sancaya H. R. bahkan seperti merekam sejarah dalam lagu-lagunya: Kisah 18 Mei 1958 di Ambon (tentu yang dimaksud heboh ditangkapnya Allen Pope karena pesawatnya ditembak jatuh, terkait Permesta), Kenangan di Atambua (berhubungan dengan Operasi Seroja Timor Timur), Kadet Soenarko Gugur dan Palagan Ambarawa.

Atau terakhir, usaha Susilo Bambang Yudhoyono lewat judul seperti: Majulah Negeriku atau Save Our Planet –buku Pak Presiden Menyanyi (Esei tentang Karya Musik dan Puisi SBY) (Yapi Tambayong, KPG: 2011).

Apabila direnungkan, tidak banyak dari “Lagu-lagu Tanah Air” generasi berikutnya itu sebagaimana yang diuraikan di atas, masih diingat orang.

Menurut Penulis, dengan perkecualian lagu seperti Mars Pemilu (1971) misalnya, beberapa lagu dari era musik popular seperti Kebyar-kebyar (Gombloh), Cerita Indonesia (Guruh Soekarnoputra), (anthem unjuk-rasa bernama) Darah Juang yang mulai popular sejak awal 1990-an, atau Benderaku (Band Coklat), justru punya potensi untuk mencapai taraf klasik sebagaimana “Lagu-lagu Tanah Air” generasi awal. Untuk soal ini, waktulah nanti yang akan menjawabnya.

Di tahun 1950-an, pemikir persoalan musik seperti L. Manik, J. A. Dungga, atau Amir Pasaribu sudah memberi arah lewat tulisan-tulisannya –akan ke manakah corak musik Indonesia yang nasionalis, berkepribadian dan berwawasan– namun lanskap zaman berkata lain.

Pada paruh kedua dasawarsa 1960-an, memasuki 1970-an, Remy Sylado memberi contoh kasus yang menarik. Dikatakannya: “Bandung (salah satunya) merupakan contoh tempat generasi yuwana mengekspresikan budaya kontemporer meliputi banyak bidang. Namun ternyata tidak sanggup mengubah pasar musik popular.” Bisa diartikan masifnya musik popular disinyalir punya andil dalam mengubah arah pola penulisan lagu-lagu nasional.

Ditambahkannya:

“Musik niaga sampai yang nyata dari bisnis ‘musik populer’; (yakni) musik dalam arti bukan klasik, atau istilah Indonesianya bukan ‘seriosa’, adalah yang ciri-ciri liriknya cengeng gembleng dan sengsara nelangsa (cgsn) dari zaman Elvis Presley di Amerika 1950-an dan pindah ke Indonesia sejak zaman Rahmat Kartolo 1960an sampai 1980an” (Tambayong, 2011: 26-27). “Tadinya dikira jatuhnya Presiden Soekarno dan mampusnya paham palu arit yang anti-Amerika  bisa mengubah tatanan musik niaga Indonesia-setidaknya dengan melihat berubahnya model-model lirik musik kontemporer Amerika yang kebetulan sudah mempengaruhi dunia. Bob Dylan, Joan Baez, Neil Young, atau Leonard Cohen. Belum pernah diteliti  apakah pola cgsn ini benar-benar digemari atau karena tidak ada pilihan berhubung visi pencipta lagu Indonesia tidak akrab dengan sastra, kecuali Bimbo, atau Ebiet G Ade.”

Seperti dikatakan Alfred Simanjuntak (Majalah Tempo, 11 November 2012): “Sekarang tidak ada lagi komponis lagu perjuangan. Mungkin di era sekarang lagu perjuangan yang membangkitkan rasa kebangsaan memang tidak dibutuhkan lagi.”

Setelah mengarungi perjalanan selama nyaris 100 tahun sejak Indonesia Raya dinyanyikan pada Sumpah Pemuda 1928, lagu-lagu “perjuangan” tersebut rupanya memang tetap “wajib” diapresiasi dalam salah satu cara kita membentuk sikap dan perasaan “nasional” serta memupuk cinta “tanah air”!

***

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//