• Opini
  • Macan Tutul versus Manusia

Macan Tutul versus Manusia

Ketika kawasan hutan alami masih cukup luas, sejatinya macan tutul dan manusia hidup berdampingan dengan berbagi ruang dan waktu dengan harmonis.

Johan Iskandar

Dosen, peneliti lingkungan, serta pegiat Birdwatching di Universitas Padjadjaran (Unpad). Penulis bukuKisah Birdwatching, ITB Press (2025)

Macan tutul Jawa di Bandung Zoo, Minggu (19/6/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

23 September 2025


BandungBergerak.id – Pada awal September seekor macan tutul lepas dari penangkaran di Lembang Park and Zoo. Satwa ini lepas dari kandang penangkaran diduga karena stres akibat belum bisa adaptasi di lingkungan baru. Macan tutul tersebut sebelumnya biasa hidup di alam bebas, tapi masuk desa dan tertangkap di Desa Kutamandarakan, Kuningan, lalu dievakuasi ke Lembang Zoo.

Berdasarkan prakiraan macan tutul yang lepas tersebut menjelajah menuju kawasan hutan Gunung Tangkuban Parahu. Pada perkembangan terbaru, hasil penelitian Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, dapat diketahui bahwa di kawasan hutan kaki Gunung Tangkuban Parahu, dapat terekam oleh kamera perangkap ternyata ada 9 ekor macan tutul liar, selain macan tutul yang lepas dari Lembang Zoo (prfmnews.id, 10 September 2025). Terekamnya keberadaan 9 ekor macan tutul di kawasan kaki Gunung Tangkuban Parahu, sesungguhnya cukup menggembirakan. Pasalnya, dalam dasawarsa terakhir ini, populasi macan tutul di alam bebas terus merosot akibat kerusakan atau kehilangan habitat, dan pengaruh perburuan liar oleh penduduk.

Rusaknya habitat –menyempit dan bahkan hilang– serta berkurangnya satwa liar sebagai pakan macan tutul di alam menjadi salah satu penyebab konflik antara manusia dan macan tutul. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, terjadi banyak kasus macan tutul masuk desa dan menyebabkan konflik dengan warga desa, seperit di Cianjur, Sukabumi, Kuningan, dan lain-lain.

Berdasarkan sejarah ekologi, macan tutul (Panthera pardus, Famili Felidae), kehidupannya relatif lebih baik dibandingkan dengan hewan jenis lain dari familinya, yakni harimau loreng Jawa atau maung lodaya (Panthera tigris sondaica) yang telah dinyatakan punah di berbagai kawasan di Jawa sejak pertengahan 1980-an. Namun populasi macan tutul di beberapa kawasan di Jawa Barat kian merosot secara drastis dari waktu ke waktu. Bahkan, macan tutul di beberapa kawasan hutan di Jawa Barat telah punah. Misalnya, macan tutul dinyatakan punah di Cagar Alam Pangandaran sejak tahun 1973. Kini, populasi macan tutul tinggal tersisa di beberapa kawasan hutan tersisolasi, seperti hutan Gunung Papandayan, Gunung Sawal, Gunung Burangrang, Gunung Simpang, Gunung Tilu, dan kawasan hutan Gowek di DAS Cisokan Cianjur. Kajian terbaru dari BBKSDA, Jawa Barat, macan tutul ditemukan di kaki hutan Tangkuban Parahu, Lembang.

Ditilik dari segi konservasinya, sesungguhnya macan tutul telah dilindungi undang-undang di Indonesia sejak tahun 1970. Macan tutul juga telah dimasukkan dalam kategori endangered species secara global serta menjadi identitas fauna provinsi Jawa Barat sejak tahun 2005 yang tidak  boleh diburu, ditangkap, dibunuh, diperdagangkan, dikoleksi, dan diawetkan.

Baca Juga: Spesies Liar, Kampanye Lingkungan di Tengah Maraknya Eksploitasi Hewan Dilindungi di Media Sosial
Aksi Komunitas dan Aktivis Lingkungan Menanam Pohon dan Melepas Burung serta Ikan di Kawasan Sungai Cikapundung
Berbagi Kisah Mengamati Burung di Habitatnya di Bandung Timur

Konflik Macan Tutul dengan Manusia

Penduduk perdesaan di Tatar Sunda sejatinya mengenal tiga jenis macan atau maung, yaitu maung lodaya/macan loreng, macan tutul, dan macan kumbang. Walaupun sesungguhnya secara ilmiah, macan tutul dengan warna totol-totol dan macan kumbang dengan warna hitam merupakan spesies yang sama yaitu Panthera pardus, Famili Felidae. Hewan tersebut dikenal dengan sebutan dalam bahasa Inggris sebagai Leopard atau Panther, dan dalam bahasa Belanda dengan sebutan Panther atau Luipaard.  

Berdasarkan sebarannya di alam, macan tutul hanya ditemukan (endemik) di Pulau Jawa dan Kangean. Sejatinya hewan tersebut  hidup di alam dengan memilih kawasan hutan yang alami. Namun demikian, hewan buas tersebut hanya kadang-kadang biasa pula keluar kawasan hutan alami, seperti masuk ke dalam hutan produksi jati dan daerah pertanian. Ditilik dari sifat perilaku ekologinya, macan tutul biasa istirahat dan berlindung diri di siang hari di atas pohon-pohon besar di hutan alami ataupun di gua-gua batu. Sementara, macan tutul di malam hari aktif menjelajah sampai beberapa kilometer, tergantung dari luas wilayah habitatnya. Menjelang pagi, hewan tersebut biasanya kembali untuk istirahat di tempat aman di kawasan hutan alami. Macan tutul lebih menyenangi hidup sendirian atau soliter, namun adakalanya juga hidup berpasangan terutama saat memasuki musim kawin. Sejatinya dalam keadaan normal, makanan utama macan tutul berupa aneka ragam binatang liar, seperti babi, tikus, rusa, kancil, kera, burung puyuh, ayam hutan, dan kelelawar, tetapi sangat langka untuk masuk permukiman dan memangsa ternak. Cara macan tutul memangsa binatang buruannya biasanya dengan melompat dan menerkam dari atas pohon, lalu menyeretnya ke atas pohon.

Oleh karena itu, dalam kondisi normal, di masa silam ketika kawasan hutan alami masih cukup luas, sejatinya macan tutul dan manusia hidup berdampingan dengan berbagi ruang dan waktu secara cukup harmonis. Misalnya, manusia umumnya bermukim dan menggarap lahan tani di luar kawasan hutan alami dan macan tutul memilih tinggal di hutan alami. Demikian pula, manusia banyak aktif bekerja di lahan tani pada pagi, siang, ataupun sore hari. Sedangkan macan tutul aktif di malam hari (nocturnal) ketika manusia beristirahat dari kegiatan bertani.    

Namun, belakangan ini mencuat berbagai kabar bahwa macan tutul turun gunung –ke luar hutan di beberapa tempat, seperti Sukabumi, Cianjur dan Kuningan. Hal tersebut dapat menjadi suatu indikator atas sesuatu yang tidak normal terjadi di alam yang menjadi penyebab macan tutul masuk permukiman. Misalnya, karena hewan tersebut sakit sehingga tidak tangkas lagi mengejar mangsanya di hutan sehingga mencari mangsa yang mudah diburu seperti ternak penduduk di permukiman. Faktor lainnya, berbagai satwa mangsanya di hutan telah langka karena banyak diburu penduduk. Selain itu, kawasan hutan alami sebagai habitatnya juga kian sempit, karena banyak dibuka dijadikan lahan tani, dan peruntukan lainnya.

Konsekuensinya, kemungkinan karena kondisi keterpaksaan di atas, maka beberapa individu macan tutul ke luar hutan alami dan  mencari mangsa hewan piaraan di kawasan pemukim penduduk. Pada umumnya macan tutul kalau memakan mangsanya tidak sekaligus dihabiskan dan biasanya akan datang lagi untuk memangsa bangkai sisa. Nah, karena kebiasaan kembali tersebut, penduduk kemudian menaruh racun pada sisa bangkai ternak ataupun memasang jerat untuk menangkap macan tutul yang kembali.

Maka,  ditilik dari kenyataan konflik tersebut, untuk menyelamatkan macan tutul di alam, tidak cukup hanya memasukkan satwa tersebut dalam kategori dilindungi undang-undang saja, tetapi perlu aksi konservasi nyata di lapangan dengan melakukan kerja sama berbagai pihak terkait. Termasuk, memberikan perhatian pada pentingnya pemberdayaan penduduk lokal di perdesaan untuk ikut serta mendukung konservasi satwa liar langka ini.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//