Benarkah Fiksi Mengimitasi Realitas?
Kita tidak pernah benar-benar berhadapan dengan “kenyataan mentah”, yang kita jumpai selalu realitas yang sudah diberi warna oleh harapan, bias, dan imajinasi.

Aqlamirai
Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
24 September 2025
BandungBergerak.id – Don’t judge the book by its cover. Sebuah peribahasa yang menekankan pada kita untuk senantiasa berprasangka baik, karena praduga tidak selalu membenarkan pendapat kita. Sering kita mendengar peribahasa tersebut saat dinasihati oleh orang tua, terutama ketika ada orang yang sosok menyeramkan secara tampilan, padahal kita sendiri tidak tahu kepribadian orang menyeramkan tersebut. Namun, kita jarang bertanya-tanya apakah pikiran kita selalu mencerminkan realitas yang ada? Atau justru kadang berbohong?
Dalam situasi paling acak, paling kacau, atau paling absurd, pikiran kita selalu mencari cara untuk membuat segala hal terasa familier atau simpel. Coba lihat ke langit, jika cuaca sedang bimbang mungkin awan-awan di langit berjalan santai. Perhatikan satu-satu, kapas-kapas putih penuh air nun jauh di sana kelihatannya mulai membentuk benda acak. Skuter, burung, bahkan muka gebetan yang juga tidak bisa digapai bermunculan, fenomena ini disebut pareidolia. Kamus Cambridge menjelaskan pareidolia sebagai situasi ketika seseorang melihat pola dan gambar sesuatu yang tidak ada, contohnya seperti tadi –awan yang bukan cetakan pabrik tetapi bentuknya kelihatan mirip sesuatu di kepala, secara tidak langsung kita melihat kenyataan agar sesuai dengan imajinasi kita.
Fenomena ini tidak berhenti di awan saja. Banyak orang melihat wajah di permukaan bulan, sosok hantu pada bayangan di kamar kosong, atau bahkan wajah tersenyum pada colokan listrik. Dalam keseharian, kita sering menjadikan pola ini sebagai “tanda”. Ada yang percaya melihat kupu-kupu adalah firasat baik, atau secangkir kopi yang tumpah adalah pertanda buruk. Padahal semua itu hanyalah interpretasi pikiran kita, bukan kenyataan yang objektif. Pikiran bekerja lebih cepat daripada fakta, ia ingin dunia terasa masuk akal walaupun harus mengarang sedikit.
Contoh di atas adalah contoh sadar, di mana kita bisa melihat lalu memilih; bertanya-tanya kenapa awan berbentuk aneh; atau sadar bahwa bentuk aneh tersebut berasal dari pikiran kita. Contoh tidak sadar lebih licik, karena kita bahkan tidak sadar –hampir otomatis, bahwa pikiran kita dimanipulasi agar memikirkan apa yang mereka inginkan. Misalkan, saat melihat senyuman resepsionis hotel entah kenapa hati terasa lebih berbunga walau sedikit. Senyuman adalah emosi positif yang mudah menular, dengan melihat orang tersenyum dan menyambut kita, anggapan pertama kita adalah perasaan ramah dan nyaman yang memenuhi hati. Ajaibnya, tidak peduli kita sudah tahu atau belum tahu senyum saat menyapa pelanggan adalah standar dalam dunia yang berhubungan dengan pelanggan, rasa senang tetap muncul.
Jika dijelaskan seperti ini, entah kenapa interaksi sederhana kelihatan seperti sihir, betapa rentannya pikiran kita diserang oleh pemikiran yang bahkan bukan milik kita sendiri.
Fenomena ini juga sudah lama dibahas dalam filsafat dan sastra, tentang bagaimana pikiran sering kali memantulkan kenyataan –entah dengan cara yang benar atau salah. Dalam sastra, penggambaran seonggok pikiran yang memantulkan kenyataan digambarkan secara anggun di bawah nama Mimesis. Plato sendiri berpendapat bahwa mimesis memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada kenyataan, karena dalam meniru kenyataan, pikiran kita meniru sesuatu yang bahkan hasil dari tiruan itu sendiri. Efektifnya, dunia yang kita lihat adalah tiruan dari esensinya yang murni, kemudian pantulan karya yang kita buat setelah melihat dunia adalah tiruan dari sebuah tiruan. Ibaratnya seperti membangun istana pasir dengan referensi karya buatan anak kecil di sebelah kita –bukannya membangun istana, kita malah membuat rumah mungil.
Plato bahkan menganggap seni berbahaya, penyair dan seniman bisa memperdaya masyarakat dengan bayangan yang jauh dari kebenaran. Tak heran dalam Republik-nya, ia sempat berpendapat bahwa penyair sebaiknya diusir dari negara ideal. Berbeda dengan gurunya, Aristoteles, yang melihat seni sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Menurutnya, usaha kita meniru kenyataan adalah proses memahami kenyataan itu sendiri. Lewat tragedi, misalnya, kita belajar merasakan emosi yang kuat lalu melepaskannya –sebuah proses yang ia sebut katharsis. Seni, dengan demikian, bukan menjauhkan kita dari kebenaran, melainkan membantu kita mendekatinya dengan cara yang lebih dalam.
Antara pendapat Plato dan Aristoteles, jelas satu hal: memantulkan kenyataan adalah cara kerja pikiran yang terjadi secara alamiah, tidak bisa ditolak apalagi dihentikan. Perbedaan sebenarnya terletak pada cara kita menilai hasil pantulan tersebut, apakah sekadar ilusi yang menipu, atau jalan menuju pengertian.
Baca Juga: Membandingkan Aroma Roti Bakar Cimahi dan Kopi Buku Malaysia
Menemukan Kembali Zubaedah, yang Seorang Diri Ditinggalkan Kereta Sejarah
Retorika dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Sunda
Realitas Tidak Pernah Hadir Sempurna
Jauh setelah Plato dan Aristoteles mengemukakan perdebatan soal mimesis, Nietzsche muncul dengan pendapatnya sendiri ratusan tahun kemudian. Dalam buku catatannya, ia menulis, “Tidak ada yang namanya fakta, hanya ada interpretasi.” Jika benar demikian, maka bukan hanya fiksi yang meniru kenyataan, melainkan kenyataan itu sendiri sudah berupa tafsir sejak awal. Inilah sebabnya dua orang bisa menyaksikan peristiwa yang sama namun pulang dengan dua cerita berbeda. Realitas tidak pernah hadir sempurna di mata setiap orang, dia selalu datang lewat sudut pandang, bias, dan harapan kita masing-masing.
Kita bisa melihat hal ini jelas dalam kehidupan modern. Satu berita politik bisa dipuja sebagai kebenaran mutlak oleh satu kelompok, tetapi dicemooh sebagai kebohongan oleh kelompok lain. Atau dalam kehidupan sehari-hari: makanan yang sedikit gosong bisa dianggap sebagai bencana kecil yang merusak mood, padahal bagi orang lain sama sekali tak berarti. Pikiran memantulkan kenyataan dalam cahaya yang salah, dan hasilnya adalah tafsir yang beraneka ragam –kadang menyemangati, kadang melelahkan.
Proses pemantulan ini walaupun tidak boleh dihentikan, bukan berarti harus diterima seutuhnya. Malahan, bisa menjadi jalan lain untuk kita mengembangkan pola pikir kritis. Menerima pikiran tanpa mencerna itu seperti memakai perisai rusak, sedangkan mengkritik tanpa pengetahuan seperti memegang bilah pedang tanpa gagang. Jadi, apakah fiksi meniru realitas? Atau justru malah realitas yang tunduk pada tafsir pikiran kita?
Dalam keseharian, kita tidak pernah benar-benar berhadapan dengan “kenyataan mentah”, yang kita jumpai selalu realitas yang sudah diberi warna oleh harapan, bias, dan imajinasi. Mungkin itulah sebabnya fiksi terasa begitu akrab, karena bukan sekadar menyalin dunia, melainkan menyalin cara kita merasakan dunia. Di era media sosial, fenomena ini semakin jelas. Satu peristiwa yang sama bisa diperlakukan sebagai tragedi oleh sebagian orang, dan sebagai komedi oleh yang lain.
Hingga ke titik ini, batas antara kenyataan dan pikiran tak lagi penting, sebab keduanya saling meniru hingga sulit dibedakan. Paling tidak, sekarang kita sudah mengerti –entah masuk akal atau tidak, bahwa satu kejadian yang dirasakan semua orang tidak selalu menghasilkan satu kesimpulan yang sama. Mungkin itulah fungsi fiksi sesungguhnya, bukan membuat dunia jadi seragam, melainkan mengingatkan bahwa cara kita memandang dunia tidak pernah tunggal.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB