Membandingkan Aroma Roti Bakar Cimahi dan Kopi Buku Malaysia
Pemerintah lebih gemar membangun “monumen kebudayaan” ketimbang membiayai ruang diskusi sastra. Literasi hanya menjadi jargon, bukan jalan hidup.

Didin Tulus
Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.
27 Juli 2025
BandungBergerak.id – Di tengah aroma sedap roti bakar pinggir jalan Cimahi, saya sering merenung bahwa yang paling lapar bukanlah perut, melainkan jiwa. Jiwa-jiwa yang merindukan bacaan bermutu, percakapan bernas, dan ruang tumbuh bagi gagasan. Diskusi saya dengan Kang Soni Vespa, seniman khas Cimahi yang getol menyuarakan kebudayaan lokal, menjadi pengingat tajam. Kala saya bicara tentang pentingnya “toko buku yang berjiwa” –tempat merawat imajinasi, bukan sekadar menjual buku– ia menjawab, “Lho, di Cimahi kan sudah ada Gramedia di Cimindi?”
Kalimat itu mencerminkan jarak antara kebutuhan batin dan realitas struktural. Gramedia, tentu saja, adalah toko buku. Tapi ia seperti restoran cepat saji: tersedia, terjangkau, tapi tak selalu bergizi bagi jiwa pencari. Di sinilah letak luka kita: masyarakat kita (termasuk Cimahi) belum sungguh-sungguh menjadikan buku sebagai sahabat hidup.
Mari kita tengok Malaysia –tetangga dekat yang kadang kita anggap serupa padahal tidak sebangun. Dalam beberapa kunjungan saya ke Kuala Lumpur dan Johor Bahru, saya mendapati toko buku seperti Gerakbudaya, Silverfish Books, hingga Kinokuniya KLCC, bukan hanya tempat jual beli buku. Mereka adalah ruang ide, titik temu penulis dan pembaca, bahkan tempat lahirnya gerakan sosial. Di dalamnya, buku sastra bukan barang usang yang didiskon habis, melainkan denyut utama.
Bahkan yang lebih menarik, para pembaca sastra di Malaysia datang dari pelbagai kalangan: mahasiswa, buruh pabrik, seniman, hingga aktivis LSM. Mereka membaca karena ingin tahu, ingin peka, dan ingin menyambung sejarah. Buku puisi Dato' Kemala, karya Faisal Tehrani, A. Samad Said, hingga Chairil Anwar versi terjemahan, disusun apik di rak-rak utama. Diskusi buku kerap diadakan di kafe buku atau galeri seni. Ada gairah, ada denyut, ada penghormatan.
Bandingkan dengan Cimahi. Adakah toko buku yang rela menampilkan karya sastrawan lokal di etalase depan? Adakah pembaca remaja yang tahu siapa Ajip Rosidi atau D. Zawawi Imron, bukan karena ujian sekolah, tapi karena kecintaan? Kita lebih akrab dengan selebgram daripada sastrawan, lebih tergoda diskon gadget daripada diskusi puisi. Kita hidup dalam era informasi, tapi tak banyak yang benar-benar haus akan makna.
Baca Juga: Apa Enaknya Mendapat Gelar Honoris Causa dengan Instan?
Alam yang Dirusak, Bencana yang Dituai
Menjadi Bangsa yang Dewasa dengan Fokus pada Masa Depan, Bukan Dendam Lama
Menikmati Roti Bakar Bersama Buku
Malaysia memang bukan utopia literasi. Buku di sana juga bersaing dengan TikTok dan Netflix. Tapi setidaknya ada upaya nyata untuk mengangkat sastra dari ruang sunyi ke ruang publik. Pemerintah mereka mendukung penerbitan karya sastra, memberi penghargaan bagi penulis, bahkan menyisipkan sastra dalam diplomasi budaya.
Sementara di Indonesia –khususnya Cimahi– festival budaya lebih banyak soal panggung, bukan proses. Pentas seni dibuat saban tahun, namun tidak melahirkan generasi pembaca. Pemerintah lebih gemar membangun “monumen kebudayaan” ketimbang membiayai ruang diskusi sastra. Lomba baca puisi dibuat, tapi tanpa pembinaan jangka panjang. Literasi hanya menjadi jargon, bukan jalan hidup.
Padahal kita punya tokoh seperti Ajip Rosidi. Sosok yang menjual koleksi lukisan demi mendirikan perpustakaan. Yang menggagas Hadiah Sastra Rancagé dari kantong sendiri. Bukunya Hidup Tanpa Ijazah membuktikan bahwa cinta pada ilmu bisa melampaui ijazah. Tapi siapa Ajip-nya Cimahi hari ini? Siapa yang siap mewakafkan waktunya demi benih-benih imajinasi?
Cimahi bukan tak punya potensi. Komunitas kecil terus berjuang meski tak dilirik. Dari diskusi pinggir jalan, lapak buku mandiri, hingga pentas-pentas kecil di gang sempit. Tapi perjuangan itu butuh ruang: ruang legal, ruang aman, dan ruang dukungan. Bukan hanya dari pemerintah, tapi dari masyarakat yang mulai percaya bahwa buku bisa menjadi jalan hidup.
Jika Malaysia bisa membangun “perpustakaan nasional yang berpikir global”, mengapa Cimahi tak bisa punya rumah buku rakyat? Tempat di mana penjual roti bakar dan mahasiswa bisa duduk sejajar, mendiskusikan Pramoedya atau Sapardi? Tempat di mana anak-anak bisa mengenal Chairil bukan sebagai soal ujian, tapi sebagai nyala hidup?
Literasi bukan soal banyaknya toko buku. Tapi soal jiwa. Dan Cimahi, kalau ingin menjadi kota yang bukan sekadar berkembang secara fisik, harus belajar membuat dapur jiwa –di mana roti bakar bisa dinikmati bersama buku, dan perbincangan bermutu bisa lahir dari warung, bukan hanya auditorium.
Pada akhirnya, buku adalah bekal. Dan seperti kata pepatah lama, kita adalah apa yang kita makan. Kalau begitu, apa yang sedang kita suapkan pada jiwa kita?
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB