Apa Enaknya Mendapat Gelar Honoris Causa dengan Instan?
Penghargaan akademis seperti gelar Honoris Causa seharusnya mencerminkan perjalanan intelektual, kerja keras, dan dedikasi tinggi dalam bidangnya masing-masing.
Didin Tulus
Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.
10 November 2024
BandungBergerak.id – Belakangan ini, isu gelar doktor kehormatan atau Honoris Causa (HC) sedang ramai dibicarakan di Indonesia. Fenomena pemberian gelar ini menjadi sorotan karena munculnya penyair yang mendapatkannya secara instan dari sebuah universitas luar negeri. Menariknya, ia menerima gelar ini bukan berdasarkan kualitas karya sastra yang dihasilkan atau kontribusi besar di bidang kesusastraan, tetapi hanya berdasarkan beberapa karya antologi keroyokan yang, secara kualitas dan kuantitas, masih sangat terbatas. Fenomena ini membuat kita bertanya: apa sebenarnya makna dan manfaat gelar Honoris Causa jika diberikan tanpa landasan kualitas dan kontribusi nyata?
Sebagai perbandingan, kita bisa melihat seorang sastrawan kawakan, Ajip Rosidi, yang telah menulis selama lebih dari enam dekade dan menghasilkan karya-karya yang bertahan dan diakui oleh banyak kalangan. Ajip memulai karier menulisnya sejak usia 17 tahun, dan selama perjalanan panjangnya di dunia sastra, ia telah menerima berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri. Karya-karya Ajip tidak hanya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, tetapi juga dipelajari, dianalisis, dan diapresiasi oleh para akademisi dan pembaca luas. Proses berkarya Ajip yang panjang dan konsisten ini adalah bukti bahwa kepenyairan sejati tidak lahir dari jalan pintas atau prestasi instan.
Kualitas seorang sastrawan, dalam hal ini, bisa dikatakan sejatinya diukur dari sejauh mana karyanya mempengaruhi, menginspirasi, dan menjadi bagian dari perbendaharaan kebudayaan yang lebih luas. Ajip Rosidi, dengan kontribusinya yang bertahan lama dan kemampuannya menghadirkan karya yang mendalam, adalah contoh sastrawan yang tidak hanya layak mendapat gelar kehormatan tetapi juga memperoleh penghargaan dari publik dan komunitas sastra atas pengaruhnya. Kepenyairan dan kepengarangan yang Ajip jalani bukanlah pencapaian yang muncul dalam semalam, melainkan hasil dari perjalanan panjang, dedikasi, dan komitmen yang tak tergoyahkan pada sastra.
Di sisi lain, pemberian gelar Honoris Causa kepada seseorang yang karyanya baru secuil dan belum teruji, tentu memunculkan pertanyaan etis. Apakah kampus luar negeri ini benar-benar menilai kualitas sastranya atau sekadar mencari nama besar untuk kepentingan marketing akademis? Gelar kehormatan ini seharusnya diberikan kepada mereka yang memiliki kontribusi nyata, yang karyanya telah diuji oleh waktu dan mampu memberikan dampak signifikan bagi masyarakat luas. Apabila gelar kehormatan ini diberikan secara sembarangan, maka makna dan nilai dari gelar tersebut menjadi kabur.
Baca Juga: Melupakan Sejarah, Satu Langkah Menuju Kehancuran Bangsa
Refleksi atas Kebudayaan Sunda dalam Era Digital
Kemala Ahmad Khamal Abdullah, Sang Penjaga Api Numera
Penghargaan pada Kerja Keras
Kita pun perlu mencermati bagaimana gelar HC yang didapat secara instan ini dapat merusak persepsi publik terhadap penghargaan akademis. Alih-alih menginspirasi generasi muda untuk berkarya dan berkontribusi bagi kebudayaan, pemberian gelar ini justru dapat menanamkan mindset bahwa prestasi dapat diraih dengan jalan pintas. Pada akhirnya, penghargaan akademis seperti gelar HC bukanlah sekadar simbol untuk dipajang, tetapi seharusnya mencerminkan perjalanan intelektual, kerja keras, dan dedikasi tinggi dalam bidangnya masing-masing.
Sebagai masyarakat, kita perlu cerdas dalam menyikapi fenomena ini. Kita perlu tetap menghargai karya sastra yang berkualitas dan sastrawan yang sungguh-sungguh mendedikasikan hidupnya untuk menghasilkan karya yang abadi. Ajip Rosidi adalah contoh teladan bahwa karya yang berkualitas membutuhkan proses panjang dan dedikasi penuh, bukan sekadar publikasi antologi yang dihasilkan dengan cepat. Ajip dan sastrawan sejenisnya adalah cerminan dari apa yang seharusnya dihargai dengan gelar Honoris Causa –yaitu karya dan kontribusi yang telah teruji serta diakui oleh banyak kalangan, bukan karena faktor instan atau relasi.
Masyarakat yang literat adalah masyarakat yang dapat menghargai proses dan kualitas, bukan hanya simbol atau status semata. Tugas kita adalah mengedukasi diri dan generasi berikutnya untuk lebih kritis terhadap penghargaan yang diberikan, memastikan bahwa penghargaan itu selaras dengan kualitas dan kontribusi nyata. Pemberian gelar kehormatan yang bijaksana dan tepat sasaran akan memberikan teladan baik serta mendorong munculnya karya-karya berkualitas yang membawa manfaat bagi peradaban, bukan sekadar gengsi instan yang cepat hilang dari ingatan.
Pada akhirnya, marilah kita menghargai mereka yang benar-benar layak menerima penghargaan, bukan hanya karena gelar, tetapi karena karya mereka yang memberi makna bagi kehidupan kita semua.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi