Kemala Ahmad Khamal Abdullah, Sang Penjaga Api Numera
Kemala Ahmad Khamal Abdullah adalah penjaga api Numera (Nusantara Melayu Raya). Menjaga tradisi, kebudayaan, dan bahasa Melayu dalam gempuran perubahan zaman.
Didin Tulus
Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.
5 November 2024
BandungBergerak.id – Tiba-tiba, pikiran saya menerawang ke zaman purba. Di dalam gua, saat manusia masih hidup dengan segala kesederhanaan dan ketergantungan pada alam, ada satu sosok yang begitu vital –penjaga api. Sosok ini mungkin tidak menonjol dalam kelompoknya, namun perannya begitu menentukan. Penjaga api bertugas memastikan nyala api di dalam gua tidak pernah padam. Ia tak boleh meninggalkan posnya, sementara yang lain mungkin sibuk berburu atau berkumpul di luar. Dia harus terus-menerus menambahkan ranting ke dalam perapian, menjaga agar api terus berkobar.
Api di zaman purba bukan sekadar alat untuk memasak atau menghangatkan tubuh. Api adalah lambang kehidupan. Tanpanya, malam-malam yang dingin bisa berubah menjadi ancaman. Api mencegah kegelapan menelan mereka, menjaga keluarga mereka tetap aman dari binatang buas yang berkeliaran di luar. Saat ancaman mendekat, api menjadi senjata yang dapat menakut-nakuti musuh. Dalam ketergantungan terhadap api itu, penjaga api memegang tanggung jawab yang teramat besar.
Kemala Ahmad Khamal Abdullah, dalam benak saya, adalah seperti penjaga api zaman purba itu. Namun api yang ia jaga bukanlah api yang membakar kayu dan ranting, melainkan api tradisi, kebudayaan, dan bahasa Melayu –khususnya dalam ranah sastra dan puisi. Ia adalah penjaga "Api Numera”, (Nusantara Melayu Raya) simbol dari keluhuran tradisi sastra Melayu yang terus ia pertahankan di tengah badai perubahan zaman.
Badai yang dihadapi Kemala bukanlah badai fisik seperti hujan lebat atau angin kencang. Badai itu berupa arus modernisasi, globalisasi, dan mungkin bahkan ketidakpedulian masyarakat terhadap kekayaan budaya lokal. Di saat banyak yang beralih pada bahasa dan budaya asing, Kemala tetap teguh menjaga dan menyalakan api sastra Melayu. Ia sadar betul bahwa dalam dunia yang terus berubah, api tradisi dan bahasa lokal sangat mudah padam jika tidak ada yang setia menjaganya.
Baca Juga: Kesenian dan Literasi untuk Kota Cimahi
Melupakan Sejarah, Satu Langkah Menuju Kehancuran Bangsa
Refleksi atas Kebudayaan Sunda dalam Era Digital
Melestarikan Warisan Budaya Melayu
Kemala adalah penyair, penulis, dan cendekiawan yang lahir dari rahim kebudayaan Melayu. Karya-karyanya bukan sekadar rangkaian kata-kata indah, tetapi juga bentuk komitmen dan perjuangan untuk melestarikan warisan budaya yang ia yakini sangat berharga. Dalam puisi-puisinya, kita bisa merasakan getaran kecintaan pada tanah air, pada sejarah, dan pada warisan leluhur yang begitu ia hormati. Seperti penjaga api yang tahu bahwa nyala api harus dijaga bukan hanya untuk dirinya sendiri, Kemala menulis dan berkarya bukan hanya untuk generasinya, tetapi untuk generasi-generasi yang akan datang.
Banyak orang mungkin tidak menyadari betapa pentingnya peran penjaga api. Begitu pula, tidak semua orang memahami betapa besar pengorbanan yang dilakukan oleh orang seperti Kemala. Menjaga kebudayaan di tengah arus modernisasi bukanlah tugas yang mudah. Banyak yang tergoda untuk meninggalkan tradisi demi sesuatu yang tampak lebih modern dan menjanjikan di masa depan. Namun Kemala tahu, tanpa api itu, kita akan kehilangan sesuatu yang sangat esensial: jati diri.
Api yang dijaga Kemala tidak hanya memberi kehangatan, tetapi juga cahaya. Cahaya ini yang membimbing kita untuk melihat ke belakang, memahami siapa kita, dari mana kita berasal, dan mengapa hal-hal seperti bahasa dan sastra begitu penting dalam membentuk identitas kita. Dalam setiap bait puisinya, Kemala seperti sedang menyulut obor yang akan menerangi jalan generasi penerusnya.
Namun, menjaga api tradisi bukanlah pekerjaan yang bebas dari rintangan. Ada saat-saat ketika nyala api tampak meredup, ketika badai modernitas terlalu kencang, atau ketika tangan-tangan yang dulu menambahkan ranting kini enggan berpartisipasi. Kemala mungkin merasakan kesepian yang sama seperti penjaga api purba. Namun, di tengah keterasingan itu, ia tetap setia pada misinya.
Sastra dan kebudayaan Melayu, yang mungkin bagi sebagian orang tampak usang atau kurang relevan, adalah sumber kekuatan bagi Kemala. Ia tahu bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bukanlah sesuatu yang bisa begitu saja digantikan. Ada kedalaman, ada makna, dan ada keindahan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Dan tugas Kemala adalah memastikan bahwa keindahan itu tidak hilang, bahwa api itu terus menyala, meskipun mungkin hanya sedikit yang menghargainya saat ini.
Kemala Ahmad Khamal Abdullah adalah penjaga api. Bukan api yang membakar ranting dan kayu, melainkan api yang membakar semangat kebudayaan dan sastra Melayu. Di tengah derasnya hujan perubahan zaman, ia tetap berdiri teguh, memberikan nyawanya untuk menjaga agar api itu tidak pernah padam. Sebagai penjaga api, ia tahu bahwa tugasnya bukanlah untuk mendapatkan pujian, tetapi untuk memastikan bahwa warisan yang berharga ini terus hidup, terus menghangatkan, dan terus memberi cahaya bagi mereka yang datang setelahnya.
Kita, sebagai generasi penerus, mungkin tidak selalu melihatnya, tetapi dalam setiap kata yang ditulisnya, Kemala telah menanamkan nyala api itu di dalam hati kita. Tugas kita kini adalah melanjutkan apa yang telah ia mulai, menambahkan ranting-ranting baru agar api itu tetap berkobar, menerangi jalan kita di masa depan.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi