• Opini
  • Menjadi Bangsa yang Dewasa dengan Fokus pada Masa Depan, Bukan Dendam Lama

Menjadi Bangsa yang Dewasa dengan Fokus pada Masa Depan, Bukan Dendam Lama

Kritik terhadap pemimpin adalah wajar dalam negara demokrasi, bahkan menjadi salah satu indikator sehatnya kebebasan berekspresi.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

28 April 2025


BandungBergerak.idBangsa Indonesia adalah bangsa yang luar biasa, penuh keberagaman dan semangat gotong royong yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, di balik segala potensi dan kekuatan itu, tersimpan pula paradoks yang membuat kita sering kali tertinggal dari negara lain. Alih-alih fokus membangun masa depan, sebagian besar energi masyarakat justru tersedot pada hal-hal yang kurang produktif, bahkan destruktif. Salah satu contohnya adalah obsesi berlebihan terhadap mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), meskipun masa kepemimpinannya telah berakhir.

Fenomena ini mencerminkan pola pikir yang belum matang dalam menyikapi demokrasi. Kritik terhadap pemimpin adalah hal wajar dalam negara demokratis, bahkan menjadi salah satu indikator sehatnya kebebasan berekspresi. Namun, kritik semestinya diarahkan pada kebijakan dan keputusan strategis, bukan pada aspek personal yang tidak relevan. Sayangnya, sebagian masyarakat masih sibuk meributkan ijazah Jokowi, menggali kehidupan pribadi anak-anaknya, hingga menuduhnya tidak memberikan kontribusi apa pun bagi negeri ini. Jika kita berpikir jernih, benarkah isu-isu tersebut relevan untuk kemajuan bangsa? Atau justru hanya menjadi pengalihan dari tugas utama kita sebagai warga negara?

Kita harus jujur mengakui bahwa Jokowi telah menyelesaikan tugasnya sebagai presiden selama dua periode, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Ia memimpin dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam demokrasi, setiap pemimpin pasti menghadapi kritik. Namun, marilah kita objektif: kritik yang membangun semestinya berdasarkan fakta dan analisis kebijakan, bukan sekadar sentimen pribadi. Sebuah bangsa tidak akan menjadi lebih makmur hanya karena mempertanyakan ijazah seseorang. Energi dan perhatian yang kita curahkan untuk memperdebatkan hal-hal semacam itu sebenarnya bisa lebih bermanfaat jika digunakan untuk mengawasi dan mendorong kinerja pemerintah yang sedang berkuasa saat ini.

Ironi besar terjadi ketika kita melihat bagaimana bangsa lain tengah berlari kencang dalam mengejar kemajuan teknologi, membangun sistem pendidikan yang adaptif, dan memperkuat ekonomi kreatif mereka. Sementara kita, justru terjebak dalam siklus perdebatan tak berujung tentang hal-hal yang tidak esensial. Masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, hingga kualitas pendidikan dan kesehatan sering kali terpinggirkan karena publik lebih tertarik membahas hal-hal remeh dan kontroversial. Kita terlalu mudah tersulut isu-isu yang viral di media sosial, namun abai terhadap problem struktural yang sesungguhnya menghambat kemajuan bangsa.

Baca Juga: Alam yang Dirusak, Bencana yang Dituai
Minke dan Warisan Ketidakadilan, Relevansi Bumi Manusia di Era Modern
Ajip Rosidi dan Renaisans Budaya Sunda

Lebih jauh lagi, anggapan bahwa Jokowi tidak memberikan kontribusi apa-apa selama masa kepemimpinannya adalah pernyataan yang keliru dan tidak adil. Dalam dua periode pemerintahannya, kita menyaksikan pembangunan infrastruktur yang massif, peningkatan iklim investasi, serta reformasi kebijakan di berbagai sektor. Tentu saja tidak semuanya berjalan mulus. Kritik atas kekurangan tersebut sah dan perlu. Namun, menafikan seluruh kerja keras dan pencapaian yang telah dilakukan hanya karena ketidaksukaan pribadi, merupakan bentuk pengingkaran terhadap fakta. Mantan presiden pun manusia, yang berhak untuk menikmati masa pensiunnya tanpa harus terus-menerus dihantui hujatan atau tudingan tidak berdasar.

Lebih memprihatinkan lagi, kebencian terhadap figur tertentu sering kali digunakan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu besar yang sedang dihadapi bangsa ini. Ketimpangan sosial yang semakin tajam, lemahnya penegakan hukum, serta ancaman krisis iklim yang nyata—semuanya adalah persoalan mendesak yang justru membutuhkan konsentrasi dan kerja sama kita semua. Daripada terus-menerus mengungkit masa lalu dan menumpahkan emosi kepada sosok yang tidak lagi berkuasa, bukankah lebih baik jika kita mulai membangun narasi baru yang lebih positif dan solutif?

Sudah saatnya kita bertumbuh menjadi bangsa yang lebih dewasa dalam berdemokrasi. Kritik dan evaluasi memang penting, tetapi harus dibarengi dengan niat baik, nalar sehat, dan semangat untuk memperbaiki, bukan sekadar mencari-cari kesalahan. Budaya “nyinyir” yang tanpa arah hanya akan menjerumuskan kita dalam siklus stagnasi yang tidak produktif. Jika kita terus terjebak di dalamnya, jangan heran jika negara lain semakin jauh meninggalkan kita dalam berbagai aspek kemajuan.

Masa depan Indonesia tidak akan ditentukan oleh siapa yang kita benci di masa lalu, melainkan oleh apa yang kita perjuangkan hari ini. Marilah kita fokus pada hal-hal yang benar-benar berdampak, yang bisa membawa perubahan nyata bagi generasi mendatang. Mari berhenti menoleh ke belakang dengan penuh amarah, dan mulai melangkah maju dengan penuh harapan. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang tidak pernah punya masalah, melainkan bangsa yang mampu mengelola masalah dengan bijak dan bersatu menghadapi masa depan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//