• Narasi
  • Minke dan Warisan Ketidakadilan, Relevansi Bumi Manusia di Era Modern

Minke dan Warisan Ketidakadilan, Relevansi Bumi Manusia di Era Modern

Salah satu hal paling berharga dari novel Bumi Manusia adalah bagaimana Pramoedya Ananta Toer menekankan pentingnya pemikiran kritis dalam menghadapi ketidakadilan.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Membaca novel Bumi Manusia di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

18 Februari 2025


BandungBergerak.id – Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar kisah tentang perjuangan individu di tengah kolonialisme. Lebih dari itu, novel ini adalah refleksi tajam atas ketimpangan sosial yang masih terasa hingga hari ini. Melalui tokoh Minke, Pramoedya mengajak pembaca memahami betapa pentingnya pendidikan dan pemikiran kritis dalam melawan ketidakadilan. Novel ini juga mengkritik sistem hukum dan ekonomi kolonial yang menindas pribumi, memperlihatkan bagaimana ketimpangan tersebut masih bertahan dalam berbagai bentuk di era modern. Perjuangan Nyai Ontosoro, yang menghadapi ketidakadilan gender, semakin menegaskan bahwa apa yang terjadi di masa lalu masih relevan dengan kondisi hari ini.

Salah satu pesan utama yang diangkat Bumi Manusia adalah pentingnya pendidikan dalam mengubah nasib seseorang dan masyarakatnya. Minke, seorang pribumi terpelajar, menyadari bahwa pengetahuan memberinya kesempatan untuk melawan ketidakadilan. Dalam lingkungan kolonial yang menempatkan pribumi di kelas sosial terendah, pendidikan adalah satu-satunya cara untuk keluar dari belenggu penindasan.

Namun, jika kita menengok kondisi saat ini, akses terhadap pendidikan yang berkualitas masih menjadi masalah besar, terutama bagi masyarakat miskin dan kelompok marginal. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendidikan berkualitas masih menjadi hak istimewa bagi mereka yang mampu secara finansial. Sekolah-sekolah terbaik cenderung mahal, sementara banyak sekolah negeri kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar yang memadai. Ini menciptakan lingkaran ketidakadilan di mana mereka yang lahir dari keluarga miskin sulit mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Seperti halnya Minke yang memanfaatkan pendidikannya untuk menyuarakan ketidakadilan kolonial, generasi muda masa kini juga memiliki tanggung jawab untuk menggunakan ilmu sebagai alat perjuangan. Pendidikan tidak hanya sebatas memperoleh ijazah, tetapi juga membentuk pemikiran kritis yang dapat menantang ketimpangan sosial yang terus berulang.

Baca Juga: Tarian Larasati dalam Arus Revolusi di IFI Bandung, Sebuah Adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer
Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Kembang Kata Book Club Edisi Gema Perlawanan Pramoedya Ananta Toer

Ketidakadilan, Dulu dan Sekarang

Di dalam novel, hukum kolonial tidak berpihak kepada pribumi. Salah satu contoh nyata adalah ketika Nyai Ontosoro, seorang perempuan yang cerdas dan mandiri, harus berhadapan dengan sistem hukum yang tidak melindungi hak-haknya. Sebagai seorang gundik, ia tidak memiliki status hukum yang jelas, sehingga haknya atas anak dan hartanya dapat dengan mudah dirampas oleh orang Eropa yang lebih berkuasa.

Ketimpangan hukum seperti ini masih terjadi dalam bentuk yang berbeda di era modern. Masyarakat miskin sering kali mengalami diskriminasi hukum, sulit mendapatkan keadilan karena keterbatasan akses terhadap pengacara dan birokrasi yang berbelit. Kasus-kasus tanah, ketenagakerjaan, dan perdata sering kali dimenangkan oleh mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Bahkan dalam isu perempuan, masih banyak contoh di mana korban kekerasan atau pelecehan kesulitan mendapatkan keadilan karena sistem hukum yang tidak berpihak.

Kisah Nyai Ontosoro mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk kesetaraan hukum masih jauh dari selesai. Keberpihakan sistem hukum terhadap kelompok rentan harus terus diperjuangkan agar tidak ada lagi pihak yang dikorbankan karena status sosial atau gender mereka.

Salah satu hal paling berharga dari Bumi Manusia adalah bagaimana Pramoedya menekankan pentingnya pemikiran kritis dalam menghadapi ketidakadilan. Minke, sebagai protagonis, terus mempertanyakan sistem yang ada. Ia tidak menerima begitu saja bahwa pribumi harus berada di bawah orang Eropa. Ia menulis, berbicara, dan berjuang melalui pikirannya, sebuah sikap yang menginspirasi banyak pembaca hingga hari ini.

Di era modern, pemikiran kritis menjadi semakin penting. Kita hidup di zaman di mana informasi menyebar dengan cepat, tetapi tidak semuanya benar atau berpihak pada keadilan. Tanpa kemampuan berpikir kritis, kita mudah terjebak dalam narasi yang menyesatkan atau bahkan ikut melanggengkan ketidakadilan tanpa sadar. Oleh karena itu, salah satu warisan terbesar dari novel ini adalah pesan bahwa untuk melawan ketidakadilan, kita harus berani berpikir, mempertanyakan, dan bertindak.

Cindekna, saat kita memperingati seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia tetap menjadi karya yang relevan. Novel ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa kini dan masa depan. Kesenjangan sosial, ketidakadilan hukum, serta diskriminasi terhadap perempuan masih menjadi tantangan global.

Minke, dengan keberaniannya untuk berpikir dan melawan, adalah simbol harapan bahwa perubahan bisa terjadi jika kita berani menantangnya. Pendidikan, keadilan, dan pemikiran kritis adalah tiga pilar utama yang harus terus diperjuangkan agar ketimpangan tidak terus berulang. Seperti kata Pramoedya, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Maka, tugas kita bukan hanya membaca sejarah, tetapi juga ikut menuliskannya dengan perjuangan yang nyata.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//