• Narasi
  • Ajip Rosidi dan Renaisans Budaya Sunda

Ajip Rosidi dan Renaisans Budaya Sunda

Ajip Rosidi mengajarkan kita bahwa masa lalu bukanlah beban, tetapi sumber inspirasi.

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Bersama Ajip Rosidi. (Foto: Dokumentasi Didin Tulus)

1 Februari 2025


BandungBergerak.id – Ada sebuah pepatah Sunda yang mengatakan, "Ulah poho ka jaman baheula, ulah lali ka jaman kamari, tapi kudu nyambung ka jaman kiwari." Jangan lupa pada masa lalu, jangan terpaku pada masa kemarin, tetapi harus menyambung ke masa kini. Pepatah ini seperti benang merah yang menghubungkan pemikiran Ajip Rosidi, salah satu budayawan Sunda terkemuka, dengan upayanya untuk membangkitkan kembali bahasa, nilai budaya, dan karakter manusia yang rancagé (kreatif) dan mandiri. Ajip Rosidi bukan sekadar pengamat budaya, melainkan seorang penjaga api yang berusaha menjaga nyala warisan leluhur agar tidak padam diterpa zaman.

Dalam pandangan Ajip Rosidi, masyarakat Sunda –dan mungkin juga masyarakat Nusantara secara umum– pernah memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Namun, seiring waktu, nilai-nilai itu mulai tergerus oleh pengaruh luar yang datang silih berganti. Zaman bihari (dahulu) menyimpan khazanah sastra, seni, dan kearifan lokal yang bisa menjadi fondasi untuk membangun kebudayaan kiwari (hari ini). Tapi, bagaimana caranya? Ajip menawarkan sebuah solusi: menggali kembali warisan masa lalu, bukan untuk hidup di dalamnya, melainkan untuk mengambil nilai-nilai yang relevan dan mengembangkannya sesuai konteks kekinian.

Teddi Muhtadin, dalam bukunya Renaisans Sunda, menganalisis pemikiran Ajip Rosidi dengan cukup mendalam. Ia melihat bahwa Ajip tidak sekadar nostalgia terhadap masa lalu, melainkan memiliki visi yang jelas tentang bagaimana masa lalu bisa menjadi inspirasi untuk masa depan. Ajip percaya bahwa karakter manusia Sunda yang rancagé dan mandiri adalah kunci untuk menghadapi tantangan globalisasi. Karakter ini tidak muncul begitu saja, tetapi dibentuk oleh nilai-nilai budaya yang tertanam dalam sastra, tradisi, dan kearifan lokal.

Salah satu contoh yang sering diangkat Ajip adalah sastra lisan Sunda, seperti pantun, carita pantun, dan wawacan. Karya-karya ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga mengandung ajaran moral, filosofi hidup, dan pandangan dunia yang holistik. Misalnya, dalam carita pantun Lutung Kasarung, kita tidak hanya menemukan kisah tentang cinta dan pengorbanan, tetapi juga pesan tentang pentingnya kejujuran, kesabaran, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai inilah yang, menurut Ajip, perlu dihidupkan kembali agar masyarakat Sunda tidak kehilangan jati dirinya.

Baca Juga: Perjalanan Mengoleksi Karya Ajip Rosidi, Sebuah Memoar
Refleksi atas Kebudayaan Sunda dalam Era Digital
Kemala Ahmad Khamal Abdullah, Sang Penjaga Api Numera

Masih Relevan

Namun, upaya membangkitkan kembali nilai-nilai budaya tidaklah mudah. Tantangan terbesar adalah bagaimana membuat warisan masa lalu tetap relevan di tengah gempuran budaya global. Ajip Rosidi menawarkan pendekatan yang menarik: bukan menolak modernitas, tetapi menyaringnya dengan kritis. Artinya, kita bisa mengambil hal-hal positif dari luar, asalkan tidak mengorbankan nilai-nilai lokal yang sudah ada. Ini seperti menenun kain baru dengan benang-benang lama, sehingga menghasilkan pola yang indah dan bermakna.

Teddi Muhtadin juga mencatat bahwa Ajip Rosidi sangat menekankan pentingnya pendidikan budaya. Menurutnya, generasi muda harus diajak untuk mengenal dan mencintai budayanya sendiri. Ini bukan berarti menutup diri dari dunia luar, tetapi justru membangun fondasi yang kuat agar mereka bisa berdiri tegak di tengah arus globalisasi. Ajip percaya bahwa hanya dengan memahami dan menghargai budaya sendiri, seseorang bisa menjadi manusia yang kreatif dan mandiri.

Lalu, bagaimana kita bisa menerapkan pemikiran Ajip Rosidi dalam kehidupan sehari-hari? Pertama, kita bisa mulai dengan mengenal dan mempelajari warisan budaya kita sendiri, baik itu sastra, seni, atau tradisi. Kedua, kita perlu menciptakan ruang untuk dialog antara nilai-nilai lama dan baru, sehingga budaya kita tidak stagnan, tetapi terus berkembang. Ketiga, kita harus berani mengambil peran aktif dalam melestarikan dan mempromosikan budaya kita, baik melalui tulisan, diskusi, atau karya seni.

Ajip Rosidi mengajarkan kita bahwa masa lalu bukanlah beban, tetapi sumber inspirasi. Dengan menggali warisan bihari, kita bisa menemukan kekuatan untuk menghadapi tantangan kiwari. Seperti kata Teddi Muhtadin, Ajip Rosidi adalah seorang visioner yang melihat budaya bukan sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai sesuatu yang hidup, bernafas, dan terus berkembang. Dan inilah yang membuat pemikirannya tetap relevan hingga hari ini.

Jadi, mari kita mulai menggali, bukan untuk hidup di masa lalu, tetapi untuk menyulam masa depan yang lebih cerah. Karena, seperti kata Ajip Rosidi, budaya adalah jiwa sebuah bangsa. Dan jiwa itu harus tetap hidup, rancagé, dan mandiri.

Selamat ulang tahun Pak Ajip Rosidi.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//