• Narasi
  • Alam yang Dirusak, Bencana yang Dituai

Alam yang Dirusak, Bencana yang Dituai

Alam telah memberi tanda-tanda, tinggal bagaimana kita meresponsnya. Akankah kita terus abai dan menunggu bencana berikutnya?

Didin Tulus

Penulis penggiat buku, editor buku independen CV Tulus Pustaka. Tinggal di Cimahi.

Warga saat banjir yang menggenangi Kampung Bojongasih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, 27 April 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

19 Maret 2025


BandungBergerak.id – Musim penghujan tiba, dan seperti yang sudah diprediksi, bencana banjir melanda berbagai daerah di negeri ini. Air meluap, rumah-rumah terendam, jalanan lumpuh, dan tak sedikit nyawa yang melayang. Namun, meski bencana ini terjadi berulang kali setiap tahun, tidak ada perubahan berarti dalam cara kita menghadapinya. Pemerintah terkesan hanya bereaksi sesaat, masyarakat masih abai terhadap lingkungan, dan yang lebih menyedihkan, ada segelintir orang yang justru mencari keuntungan dari penderitaan sesama.

Setiap kali hujan deras mengguyur, kita seperti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya: air bah datang, tanggul jebol, permukiman terendam. Seakan ini adalah skenario tahunan yang tak terhindarkan. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, bencana banjir bukan hanya soal curah hujan yang tinggi, melainkan juga akibat ulah manusia sendiri.

Sampah yang menumpuk di selokan dan sungai menjadi salah satu penyebab utama. Air hujan yang seharusnya mengalir dengan lancar terhambat oleh sampah plastik, botol bekas, dan berbagai limbah rumah tangga lainnya. Ditambah lagi dengan penggundulan hutan secara masif, daerah resapan air semakin berkurang, sehingga air hujan langsung mengalir ke permukiman tanpa ada yang menyerapnya.

Ironisnya, setelah bencana terjadi, orang-orang hanya bisa saling menyalahkan. Pemerintah menuding masyarakat yang tidak peduli terhadap kebersihan, sementara rakyat menyalahkan pemerintah karena tidak melakukan perbaikan infrastruktur dengan baik. Padahal, semua pihak punya tanggung jawab masing-masing untuk mencegah bencana ini terjadi.

Bencana semestinya menjadi momentum untuk berbenah dan bersatu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ada pihak-pihak yang justru memanfaatkan kesengsaraan orang lain untuk kepentingan pribadi. Bantuan sosial yang seharusnya diberikan kepada korban sering kali disunat, dikorupsi, atau bahkan dijadikan alat pencitraan.

Kita sering melihat bagaimana saat banjir melanda, pemerintah daerah tiba-tiba sibuk blusukan, mendatangi lokasi banjir, berfoto di tengah genangan air, lalu membuat laporan tentang jumlah korban dan besarnya kerugian. Namun, setelah itu, bantuan yang diberikan sangat minim dan sering kali tidak tepat sasaran. Yang lebih menyakitkan, ada keluarga korban yang menangis karena kehilangan anggota keluarganya, tetapi tak mendapat uluran tangan sedikit pun.

Sementara itu, saat musim kemarau datang, semua kembali seperti biasa. Pemerintah yang kemarin sibuk mendata dan berjanji memperbaiki infrastruktur tiba-tiba menghilang, lupa bahwa bencana baru saja terjadi. Sungai dan gorong-gorong yang seharusnya segera dibersihkan kembali dibiarkan penuh sampah, menunggu musim penghujan berikutnya untuk kembali memicu bencana.

Baca Juga: Melupakan Sejarah, Satu Langkah Menuju Kehancuran Bangsa
Apa Enaknya Mendapat Gelar Honoris Causa dengan Instan?
Hiruk Pikuk Tahun Baru, untuk Apa Kita Merayakannya?

Bencana Bukan lagi Fenomena Alam

Sudah saatnya kita mengubah pola pikir. Bencana banjir bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga konsekuensi dari kelalaian kita sendiri. Tidak bisa terus-menerus mengandalkan pemerintah jika masyarakat sendiri masih membuang sampah sembarangan dan tidak peduli terhadap lingkungan.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa hanya bergerak ketika bencana sudah terjadi. Perbaikan drainase, pengerukan sungai, pembangunan daerah resapan air, hingga pengelolaan sampah yang lebih baik harus menjadi prioritas sepanjang tahun, bukan hanya saat bencana datang.

Selain itu, transparansi dalam penyaluran bantuan juga harus ditingkatkan. Jangan sampai ada yang memanfaatkan penderitaan korban hanya demi keuntungan pribadi atau kepentingan politik. Jika bantuan benar-benar dikelola dengan baik, setidaknya beban korban bisa sedikit berkurang, dan mereka tidak merasa ditinggalkan.

Kita tidak bisa lagi hanya sekadar pasrah ketika banjir datang. Jika tidak ada perubahan dalam cara kita menghadapi dan mencegah bencana, maka tahun depan, lima tahun lagi, bahkan sepuluh tahun mendatang, kita akan terus menghadapi siklus yang sama: hujan turun, banjir datang, korban berjatuhan, pemerintah sibuk sebentar, lalu kembali lupa.

Sudah cukup bumi dan langit merintih akibat ulah kita. Alam telah memberi tanda-tanda, tinggal bagaimana kita meresponsnya. Akankah kita terus abai dan menunggu bencana berikutnya, atau mulai bergerak agar musibah ini tidak terus berulang? Keputusan ada di tangan kita.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Didin Tulus, atau artikel-artikel lain tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//