• Narasi
  • Menggali Makna Spiritual dan Filosofis dalam Tradisi Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka di Padepokan Bumi Ageung Saketi

Menggali Makna Spiritual dan Filosofis dalam Tradisi Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka di Padepokan Bumi Ageung Saketi

Ritual Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka merefleksikan hubungan manusia dengan waktu melalui perawatan pusaka sebagai warisan leluhur.

Oscar Yasunari S.S., M.M.

Dosen Koordinator Pendidikan Agama Katolik dan Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Dasar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Proses Ritual Nyipuh Pangaweruh #4, Ruwat Rumawat Pusaka, Padepokan Bumi Ageung Saketi, Cibiru, Bandung (Foto: Oscar Yasunari)

24 September 2025


BandungBergerak.id – Nyipuh Pangaweruh merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Padepokan Bumi Ageung Saketi. Acara ini berfokus pada ritual perawatan dan pemeliharaan pusaka. Tradisi Sunda ini biasanya dilakukan secara turun-temurun pada bulan Maulid (Rabiul Awal) dalam kalender Islam. Acara Nyipuh Pangaweruh di Padepokan Bumi Ageung Saketi, didukung oleh Kementerian Budaya, Badan Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX (BPK IX). Dengan mengusung tema “Reak Pikeun Pusaka Balarea” (Reak untuk Pusaka Bersama), acara Nyipuh Pangaweruh kembali digelar pada 6 September 2025. Rangkaian kegiatan telah dimulai sehari sebelumnya, pada 5 September 2025, dengan ritual pengambilan air dari salah satu mata air di kawasan Gunung Manglayang. Ritual ini dilakukan oleh Abah Njum, Uwa Husin, dan Kang Venol. Air yang dianggap sakral tersebut kemudian dibawa ke padepokan untuk didoakan dan disucikan dengan doa-doa serta dupa sebelum digunakan dalam acara puncak pada tanggal 6 September 2025.

Acara Nyipuh Pangaweruh #4 Ruwat Rumawat Pusaka, dengan tema “Reak Pikeun Pusaka Balarea” sendiri diselenggarakan dengan beberapa rangkaian kegiatan acara. Acara dimulai dengan diskusi pada pukul 12.30 WIB, Lokakarya pada pukul 15.30 WIB dan Nyipuh Pusaka, sebagai acara inti, dimulai pukul 19.30 WIB. Acara utama Nyipuh Pangaweruh #4 dibagi menjadi tiga sesi, dengan rangkaian kegiatan yang padat.

Sesi pertama dimulai pada pukul 12.30 WIB dengan diskusi yang bertema “Strategi Pewarisan Seni Reak untuk Generasi Muda”. Diskusi ini akan menghadirkan narasumber:

  1. Willfridus Demetrius Siga, S.S., M.Pd., seorang dosen dan peneliti Seni Reak dari Universitas Parahyangan;
  2. Anggi Nugraha, seniman muda yang membawa Seni Reak ke mancanegara dan aktif mengedukasi masyarakat tentang musik dogdog bersama komunitasnya, Bandung Thimoer Art of Reak;
  3. Khamila Febriyanti, mahasiswa seni karawitan dari ISBI Bandung, bertindak sebagai moderator.

Sesi kedua dimulai pada pukul 15.30 WIB diisi dengan lokakarya pembuatan alat musik dogdog dan bangbarongan. Acara ini dibawakan oleh Uwa Husin dan Herman Togar, para pengrajin dogdog dan babarongan dari Kota Bandung. Lokakarya ini bertujuan untuk mewariskan pengetahuan tentang pembuatan dan pemeliharaan waditra dogdog kepada masyarakat serta para pegiat Seni Reak, sekaligus diharapkan dapat menumbuhkan minat generasi muda untuk turut serta melestarikannya.

Baca Juga: Lemahnya Pemahaman Moderasi Beragama di Indonesia, Bercermin dari Kasus Persekusi di Tangsel dan Gresik
Ruwatan Ageung Gunung Manglayang untuk Membersihkan Alam, Membersihkan Diri
Meruwat Air, Menghormati Kehidupan

Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka

Sesi ketiga sebagai puncak acara. Ritual Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka dilaksanakan mulai pukul 19.30 WIB hingga selesai. Dalam prosesi yang penuh kekhidmatan itu, pusaka-pusaka yang tertata dengan rapi satu per satu dimandikan dan dibersihkan, tidak hanya dari debu dan kotoran fisik, tetapi juga dari segala hal yang diyakini sebagai energi negatif atau kotoran batin. Sebelum ritual pembersihan dilakukan, Abah Njum, sesepuh yang dihormati di padepokan, memimpin doa-doa dan mantra-mantra yang diucapkan dengan penuh penghayatan. Suasana terasa magis dan sakral, terlebih saat lantunan tembang-tembang tradisional mulai mengalun, diiringi denting lembut jentreng dan gesekan tarawangsa menyatu dalam irama spiritual malam itu.

Tradisi merawat, memandikan, atau membersihkan benda pusaka merupakan praktik yang masih dijalankan di berbagai wilayah Nusantara, terutama di Jawa dan Bali. Secara pragmatis, memandikan benda-benda seperti keris, tombak, tombak, kain batik tua, barongan, batu bertuah, atau benda sakral lainnya sering kali hanya dilihat sebatas perawatan fisik benda pusaka, pelestarian warisan leluhur, ataupun hanya dilihat sebagai media pendidikan budaya. Lebih jauh dari itu dalam banyak kebudayaan lokal, pusaka seperti keris, tombak, tombak, kain batik tua, barongan, batu bertuah, atau benda sakral lain yang dimandikan tidak dipandang semata-mata hanya permasalahan yang praktis saja, melainkan sebagai penyimpan makna simbolik, spiritual, dan historis. Ritual memandikan benda-benda pusaka atau membersihkannya secara berkala, sering kali dilakukan pada waktu tertentu seperti bulan Suro (Muharram dalam kalender Islam). Ritual tersebut dipahami sebagai tindakan yang mencerminkan kesadaran eksistensial, relasi manusia dengan warisan budaya, serta usaha untuk menyelaraskan diri dengan kosmos dan nilai-nilai luhur.

Simbol Pembersihan Diri

Dalam tradisi sunda, secara umum dalam kebudayaan Jawa, benda pusaka lebih dari sekedar objek material, bukan hanya benda mati, tetapi dipercaya memiliki roh, aura, dan daya spiritual tertentu. Ini berkaitan dengan keyakinan bahwa setiap benda diyakini memiliki kekuatan hidup (daya gaib) yang dapat mempengaruhi manusia (konsep animisme-dinamisme). Karenanya, pusaka diperlakukan dengan hormat, dijaga, dan dirawat secara khusus.

Pusaka dianggap sebagai penyambung antara masa lalu dan masa kini dan sebagai manifestasi dari nilai-nilai leluhur yang diwariskan dalam bentuk simbolik. Benda pusaka tersebut diperlakukan sebagai benda hidup (pusaka) yang memiliki ruh, sejarah, dan energi. Dalam konteks itu, tindakan membersihkan keris bukan hanya rutinitas perawatan, tetapi merupakan ritual sakral, yang mengandung nilai-nilai kebatinan, etika, dan kontemplasi. Dalam pepatah Jawa dikatakan, “Keris kang kinumbah, atine kudu kinumbah luwih dhisik” (Keris yang dibersihkan, hatinya harus dibersihkan terlebih dahulu). Ritual nyipuh pusaka secara tersirat mengajarkan bahwa segala tindakan lahiriah harus diawali dengan kesiapan batiniah. Membersihkan benda-benda pusaka berarti membersihkan manusia dari hati yang kotor oleh dendam, kesombongan, atau niat yang tidak tulus. Kandungan nilai introspektif dan etik di dalamnya mengajak manusia untuk tidak hanya merawat benda warisan, tetapi juga merawat dirinya sebagai pewaris nilai-nilai luhur dari para leluhur. Ia mengajarkan bahwa menjaga peninggalan leluhur tidak cukup hanya secara fisik, tetapi juga diri secara spiritual dan moral.

Benda pusaka yang dibersihkan dan dimandikan hanya akan membawa kebaikan jika pemiliknya juga menjaga hati dan perilaku dengan baik. Ritual pembersihan pusaka bukan hanya proses fisik, namun ada cerminan makna secara filosofis di mana manusia berusaha untuk membersihkan dirinya sendiri dari kotoran batin. Dalam kepercayaan budaya sunda dan budaya Jawa pada umumnya, manusia harus senantiasa menyucikan diri melalui tindakan simbolik yang merepresentasikan nilai spiritual. Pusaka yang dimandikan menjadi metafora dari jiwa manusia. Seiring waktu, jiwa bisa “hancur” dan “berkarat” oleh nafsu, amarah, dan ego –sebagaimana pusaka bisa dikotori oleh karat dan debu.  Maka, dengan membersihkan pusaka, seseorang juga diajak untuk merenung, mengintrospeksi diri, dan menyelaraskan batinnya. Membersihkan pusaka dapat dipahami sebagai upaya manusia untuk mengembalikan keseimbangan energi dalam hidupnya. Hal tersebut juga selaras dengan pemahaman filsafat timur yang menekankan pentingnya harmoni antara manusia dan semesta (Taoisme, keseimbangan antara Yin dan Yang menjadi kunci).

Refleksi Eksistensial tentang Masa Lalu, Kini dan Masa Depan

Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka bukan sekadar objek fisik yang menghadirkan benda-benda berupa keris, tombak dan lain-lain, namun ritual tersebut menyajikan simbol masa lalu/ sejarah, masa kini, dan masa depan. Pusaka yang tertata rapi menyimpan jejak waktu masa lalu leluhur yang telah wafat, masa kini keberadaan manusia yang merawatnya, dan masa depan yang harus dijaga oleh generasi penerus.

Membersihkan pusaka dapat dipahami sebagai tindakan simbolik yang mengandung kesadaran mendalam tentang perjalanan waktu dan kefanaan. Martin Heideger dalam buku Being and Time (Heideger, 1962: 307) menyatakan manusia adalah makhluk historis yang hidup dalam kondisi Geworfenheit, yakni keterlemparan ke dalam dunia tanpa pilihan, dengan latar sejarah, budaya, dan kondisi eksistensial tertentu. Manusia otentik adalah yang mengakui warisan historisnya, termasuk melalui segala apa yang dialaminya termasuk benda-benda simbolik seperti pusaka yang memiliki nilai-nilai. Melalui ritual Nyipuh pusaka, manusia melakukan sebuah refleksi eksistensial tentang waktu: masa lalu yang menjadi warisan dan akar identitas, masa kini sebagai momen aktif perawatan dan penghormatan, serta masa depan yang menjadi tanggung jawab untuk melanjutkan nilai-nilai tersebut.

Dalam kaitan dengan waktu, ada sebuah kalimat di dalam Naskah Amanat Galunggung yang menawarkan kesadaran utuh mengenai bagaimana seharusnya manusia mengingat masa lalu untuk mempersiapkan masa depan.  “Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna, (hana guna) hana ring demakan”, yang artinya, “ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya, ada jasa ada anugerah.”

Naskah Amanat Galunggung hendak menyatakan bahwa keberadaan manusia saat ini tidak lepas dari peran generasi sebelumnya –mereka yang mewariskan kehidupan, menjaga alam, dan membuka jalan bagi masa depan. Kehidupan yang kita jalani hari ini adalah hasil dari pengorbanan dan kebijaksanaan masa lalu. Sebagaimana kita menerima warisan itu sebagai anugerah, kita pun memiliki tanggung jawab untuk meneruskannya. Karena telah ada yang memberi, maka sudah sepatutnya kita pun menjadi pemberi bagi yang akan datang.

Kesadaran historis ini mengajak manusia untuk mengakui bahwa mereka bukan entitas yang terpisah dari sejarah, melainkan bagian integral dari kesinambungan waktu yang terus bergerak. Dalam konteks nyipuh pusaka, manusia diajak untuk menghargai warisan leluhur secara lebih bermakna, menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam pusaka, sekaligus menyadari tanggung jawab untuk terus melestarikannya. Ritual tersebut menjadi manifestasi konkret dari kesadaran historis dan eksistensial manusia yang hidup dalam keterbatasan waktu. Ia mengingatkan bahwa hidup otentik adalah hidup yang sadar akan keberadaannya dalam sejarah dan kefanaan, serta bertanggung jawab menjaga nilai-nilai yang diwariskan agar tetap hidup dan relevan bagi generasi masa depan.

Ritual Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka bukan hanya perawatan benda, melainkan tindakan reflektif yang menegaskan hubungan manusia dengan waktu, sejarah, dan makna hidup yang lebih dalam. Tindakan membersihkannya adalah bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang ada, sekaligus sebagai pengingat akan jati diri dan asal-usul. Benda-benda pusaka, bukan sekadar senjata, tetapi lambang dari jati diri, kehormatan, dan spiritualitas seseorang.

Medium Relasi Sakral antara Simbolisme Mikrokosmos dan Makrokosmos

Dalam tradisi dan kosmologi Nusantara, secara khusus kosmologi Jawa, benda pusaka memegang peranan yang sangat penting sebagai medium relasi sakral yang menghubungkan dunia lahiriah dengan dunia batiniah dan spiritual. Nyipuh pusaka bukan sekadar memandikan dan membersihkan benda mati yang diwariskan secara fisik, melainkan sebuah simbol hidup yang mengandung nilai, energi, dan makna spiritual yang dalam. YB Susilo dalam Buku Mistik dan Makna Simbolik dalam Budaya Jawa (Susilo YB, 2007:120–125) memaparkan konsep filosofi dalam budaya jawa yang dikenal dengan prinsip manunggaling kawula Gusti, penyatuan antara hamba (manusia/mikro) dengan Tuhan (sumber kesadaran universal/makro). Dalam pandangan ini, membersihkan pusaka bukan hanya kegiatan fisik semata, melainkan juga bagian dari proses penyelarasan diri manusia dengan alam semesta dan Sang Pencipta.

Ritual pembersihan pusaka menjadi refleksi dari usaha batiniah untuk menyucikan jiwa dan menyeimbangkan energi dalam diri, agar selaras dengan tatanan kosmis. Secara simbolis, pusaka dianggap sebagai mikrokosmos, yaitu representasi diri manusia yang kecil dan terbatas, sedangkan alam semesta merupakan makrokosmos, kesatuan besar yang mencakup segala sesuatu. Kosmologi Nusantara mengajarkan bahwa kedua dunia ini saling terkait dan saling memengaruhi. Ketika seseorang membersihkan pusaka, sesungguhnya ia sedang melakukan ritual pemurnian diri yang berdampak langsung pada keseimbangan energi diri dan lingkungan sekitarnya. Proses ini mencerminkan kepercayaan bahwa manusia dan alam saling berinteraksi dalam siklus energi dan spiritualitas.

Jika pusaka, sebagai perwujudan dari energi leluhur dan nilai spiritual, dibersihkan dan disucikan, maka hal itu diyakini dapat membawa ketenteraman, keberkahan, dan keselarasan dalam kehidupan pribadi maupun komunitas. Sebaliknya, jika pusaka dibiarkan kotor dan terlantar, diyakini dapat menimbulkan ketidakseimbangan yang membawa pengaruh negatif. Konsep ini tidak hanya sekadar tradisi ritual, tetapi juga mengandung pemahaman metafisik yang dalam tentang hubungan manusia dengan alam semesta diaman tindakan kecil dalam mikrokosmos diri manusia memiliki dampak dan konsekuensi dalam makrokosmos yang jauh lebih luas.

Ritual Nyipuh Pangaweruh #4 Ruwat Rumawat Pusaka dengan tema “Reak Pikeun Pusaka Balarea” bertujuan tidak hanya melestarikan warisan fisik, tetapi juga memiliki nilai budaya, spiritual dan makna filosofis yang mendalam di baliknya. Membersihkan pusaka bukan sekadar perawatan fisik, melainkan metafora dari pembersihan diri. Pemiliknya secara simbolis diajak untuk membersihkan hati dari amarah dan ego. Ini merupakan upaya untuk mengembalikan keseimbangan energi dalam diri dan menyelaraskannya dengan makrokosmos (alam semesta). Selain itu juga ritual ini merefleksikan hubungan manusia dengan waktu-masa lalu, masa kini, dan masa depan-melalui perawatan pusaka sebagai warisan leluhur. Ritual tersebut mengandung kesadaran historis dan eksistensial, mengajak manusia untuk hidup secara otentik dengan menghargai warisan serta bertanggung jawab melestarikannya. Nyipuh Pangaweruh Ruwat Rumawat Pusaka bukan hanya merawat benda, tetapi juga merawat makna hidup dan kesinambungan budaya. Ritual ini juga mengajarkan pentingnya kesadaran akan keterhubungan hidup secara holistik dan mengingatkan manusia untuk senantiasa menjaga keseimbangan diri agar harmonis dengan alam dan Tuhan. Hal ini sekaligus menjadi ekspresi kepercayaan budaya Sunda yang kaya akan nilai spiritual, yang memandang kehidupan sebagai satu kesatuan utuh yang saling terhubung.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//