Ruang Diskusi Kritis: Otokritik dan Pemberdayaan
Ruang diskusi kritis harus memberikan model konkret tentang upaya-upaya pemberantasan ketimpangan sosial apa saja yang ada, bisa dilakukan, dan berhasil.

Kirana A Ariella Lugijana
Berkegiatan bersama Lingkar Sastra Utara (LSU) dan Nyarita (Instagram @derkaler dan @nyaritabandung). Dapat dihubungi di Instagram di @__alleira
25 September 2025
BandungBergerak.id – Pertama-tama, saya juga bersalah. Dalam satu tahun terakhir saja, tidak terhitung berapa kali saya “terjebak” dalam diskusi yang melabeli dirinya “kritis”, baik dalam bentuk diskusi formal yang dirancang oleh sebuah organisasi atau diskusi tongkrongan tengah malam. Topik besarnya selalu beragam, mulai dari politik praktis, lingkungan hidup, hak asasi manusia, gender dan seksualitas, pendidikan, hingga diskursus media sosial. Tapi sejauh mana diskusi yang kamu (dan saya) ikuti memberdayakan dirimu dan orang lain? Lebih lagi, bentuk pemberdayaan seperti apa yang sejatinya harus lahir dari ruang-ruang diskusi kritis? Esai pendek ini akan berupaya untuk menyampaikan otokritik terhadap ruang-ruang diskusi kritis yang berfokus pada pengungkapan kritik sosial dan undangan bagi ruang-ruang diskusi kritis untuk mulai berfokus kepada pemberdayaan.
Baca Juga: Rakyat Berhak Mencabut Mandatnya
Simfoni Brutalisme Pajak di Era Sentralisasi Fiskal Negara
Teruntuk Siapa pun yang Belum Mampu Membaca Kritik
Otokritik Ruang Diskusi Kritis
Kata “kritis” mulai populer ketika ilmuwan-ilmuwan pendidikan pada tahun 1980-an merumuskan “21st century skills” untuk menggambarkan kualitas manusia ideal yang dapat bersaing dengan perkembangan teknologi. Sejak saat itu pula, kata ini jadi buzzword. Semua orang FOMO ingin jadi kritis dan bisa melabeli dirinya, kelompoknya, asosiasinya, produknya, sebagai sesuatu yang kritis. Mulai dari hal-hal yang jelas seperti membaca kritis dan menulis kritis, hingga hal-hal yang tidak jelas seperti pendidikan kritis dan pedagogi kritis. Sekitar 50 tahun setelah perumusan “pemikiran kritis” dalam 21st century skills, tidak ada lagi ilmuwan yang tahu sebenar-benarnya, apa itu kritis? Bagaimana kekritisan dapat diukur? Bagaimana praktik kritis yang baik? Terlebih, bagaimana caranya mengajarkan kekritisan?
Kata “kritis” juga mulai populer di kalangan ilmuwan ilmu sosial yang menyebut dirinya sendiri sebagai critical scholars. Kali ini, parameternya lebih jelas: Upaya-upaya dari berbagai bidang ilmu untuk mengungkap ketimpangan sosial dan relasi kuasa. Awalnya, bidang ilmu ini sangat seksi. Khususnya di ilmu kebahasaan, bidang ini sering disebut dengan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis, selanjutnya disebut CDA). Ilmuwan-ilmuwan CDA seperti Norman Fairclough, Ruth Wodak, dan Teun Adrianus van Dijk berteori bahwa ketimpangan sosial dan relasi kuasa, sering kali dikonstruksi lewat praktik-praktik diskursif yang melibatkan berbagai moda semiotik. Misalnya, Presiden Prabowo Subianto yang memberikan pesan bela sungkawa dengan lukisan Jenderal Soedirman segede gaban dan bendera TNI AD di belakangnya: praktik diskursif dengan ketimpangan relasi kuasa yang jelas –dan tidak tahu malu– yang melibatkan ujaran verbal dan moda semiotik lain seperti bendera dan lukisan.
CDA semakin populer seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial yang menerapkan critical studies, khususnya yang bergerak ke arah poskolonialisme dan berfokus kepada kritik sosial. Jika saya boleh menerka, inilah yang dimaksud oleh para pengguna kata “kritis” di luar konteks pedagogik, yaitu upaya-upaya mengejawantahkan ketimpangan sosial dan relasi kuasa. Akan tetapi, seperti karakteristik studi-studi di bawah payung CDA pada umumnya, upaya-upaya ini selalu berfokus pada penjelasan, demistifikasi, dan pengungkapan kritik sosial –seperti komentator bola yang protes bagaimana pemain favoritnya enggak perform hari itu. Meski hal itu bukanlah hal yang buruk (karena saya juga masih bersalah dan turut andil dalam kepopuleran CDA dan diskusi ‘kritis), studi-studi kritis –ironisnya– juga tidak lepas dari kritik karena CDA tidak menyumbang pada upaya-upaya perbaikan dan revolusi sosial. CDA dikritik karena tidak produktif dan memilih untuk sibuk menghabiskan waktunya untuk membicarakan ketimpangan alih-alih mengubahnya.
Agaknya, hal itu pula yang dialami oleh ruang-ruang diskusi kritis khususnya di Indonesia. Para aktivis yang rajin konsol dan selalu hadir dalam diskusi kritis menghabiskan banyak sekali waktu dan energi untuk mengungkap dan membeberkan ketimpangan sosial dan penindasan. Kita sangat sibuk melontarkan ujaran-ujaran –yang tidak jauh berbeda dengan propaganda sayap kanan– tentang bagaimana dunia ini tidak adil dan pada esensinya buruk. Agaknya, diskusi yang berfokus pada kritik sosial saja dapat kita sepakati bahwa hal tersebut sangat tidak produktif, redundan, dan membosankan. Sampai kapan kita akan berfokus pada ketimpangan relasi kuasa saja? Sampai kapan kita akan berfokus pada penjabaran dunia yang tidak adil saja? Sampai kapan ruang diskusi kritis memantik pola pikir kritis saja? Tidak heran jika pergerakan sayap kiri sering kali dihadapi oleh berita buruk dan kekalahan. Toh, memang lebih banyak waktu yang kita habiskan untuk memantik pikiran saja; bukan pemberdayaan dan aksi material.
Pemberdayaan, Emansipasi, dan Modelling
“Tapi, Ariel, pemikiran kritis adalah pemberdayaan!” Memang. Tapi, sayangnya dunia yang tidak adil ini tidak sintas di dalam kepala saya, kamu, dan para aktivis saja. Nyatanya, dunia ini justru berada di luar kepala kita dan riil secara material. Maka dari itu, saya ingin menyampaikan undangan bagi para pengada dan fasilitator diskusi kritis untuk melakukan satu hal yang sering luput dalam ruang diskusi kritis: Modelling.
Saya ingin kembali menengok ilmuwan-ilmuwan yang merintis kata “kritis” di dunia pendidikan. Setelah berpuluh-puluh tahun saling berantem tentang formulasi pendidikan kritis, beberapa ilmuwan bahasa –karena saya orang bahasa– mengusulkan sebuah formulasi baru: Positive Discourse Analysis (selanjutnya PDA). Pada prinsipnya PDA beranggapan bahwa pemberdayaan dan emansipasi lahir dari model. Murid yang berdaya, lahir dari guru yang berdaya. Murid yang teremansipasi, lahir dari guru yang teremansipasi. Pemberdayaan dan emansipasi di ruang diskusi kritis juga harus lahir dari model yang sudah berdaya dan sudah teremansipasi.
“Saya terkadang merasa zaman modern sudah terpesona terhadap kritik, ... sebagai hasilnya segala yang kita lakukan hanya mengekspos kekuasaan dan menunjukkan bagaimana dunia ini adalah tempat yang buruk. Ini tidak hanya menyedihkan tapi juga menjengkelkan karena kritik tidak memberi tahu apa yang harus kita lakukan untuk mengubah [dunia] menjadi lebih baik. Ada hal lain yang dapat dilakukan untuk menantang kekuasaan selain mengkritisinya … Saya rasa inilah saatnya untuk turun dari singgasana moral dan melihat orang-orang yang kita kagumi dan bagaimana mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Kita dapat belajar dari mereka.” –J. R. Martin dalam Blessed are the peacemakers: Reconciliation and Evaluation, 2002
Rasanya sudah membosankan dan sudah ketinggalan zaman jika ruang diskusi kritis hanya sibuk mengobrol. Ruang diskusi kritis harus memberikan model konkret tentang upaya-upaya pemberantasan ketimpangan sosial apa saja yang ada, bisa dilakukan, dan berhasil. Cita-citanya? Agar pemberdayaan dan emansipasi yang bentuknya aktivasi yang berangkat dari isu strategis dapat menjamur dan sporadis. Jangan mau kalah sama preman-preman yang rajin buka pengurus LSM cabang di setiap kecamatan. Preman aja paham dan bisa sporadis, masa kita nggak.
Modelling sejatinya tidak hanya memberi contoh dan menggurui, tapi juga menginspirasi, menggandeng, dan membersamai. Semakin banyak kelompok-kelompok yang melakukan aktivisme yang tidak terbatas pada ruang-ruang diskusi kritis, semakin banyak juga isu-isu strategis yang dapat teradvokasi. Pergerakan tidak lagi saling tunggu. Pergerakan tidak lagi berfokus pada sebuah kelompok yang dianggap “tokoh” dan “pemimpin” –seperti apa yang terjadi, ehem, dengan tagar 17+8 kemarin.
Modelling juga mempersilakan isu-isu kelompok marjinal untuk memiliki ruangnya sendiri; bahwa aktivisme tidak hanya memiliki satu warna saja. Dengan memberi undangan untuk memulai gerakannya sendiri, kelompok marjinal tidak lagi harus melebur dan menghapus identitasnya untuk bergabung kelompok-kelompok aktivisme “populer”. Modelling memberikan kesempatan bagi kelompok marjinal untuk dapat berhasil, juga membangun ekosistemnya sendiri dan menjadi berdaya.
Pada akhirnya, pemberdayaan kelompok adalah sebuah komoditas. Dengan menginstigasi kelompok-kelompok baru dari hasil modelling, kita dapat merebut kembali komoditas kelompok yang dapat memobilisasi isunya secara independen maupun kolektif. Rebut kembali sumber daya manusia dan berserikatlah. Sudah pernah, kan, lihat revolusi yang terjadi di pusat “saja” gagal hancur-hancuran? Sudah pernah, kan, lihat biang keroknya jadi presiden lagi?
Pengungkapan kritik sosial saja tidak cukup. Ayo, bikin perserikatan jadi pop. Ayo, bikin gaya hidup berkelompok dan kolektif jadi pop. Udahan, yuk, ngobrol doangnya. Ayo, kasih contoh dan kasih inspirasi untuk bikin perserikatan dan kolektif jadi spora dan menjamur; karena sejatinya pendidikan harus menginspirasi dan diskusi kritis tidak boleh hanya sampai di pikiran saja.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB