• Narasi
  • Krisis Malaise 1930 dan Anggaran Pendidikan yang Dikorbankan

Krisis Malaise 1930 dan Anggaran Pendidikan yang Dikorbankan

Depresi ekonomi 1930 membuat pemerintah kolonial Belanda memangkas anggaran pendidikan dengan membatasi akses pendidikan bagi kaum bumiputra.

Nabil Haqqillah

Mahasiswa Pendidikan Sejarah UPI. Pemimpin Umum Unit Pers Mahasiswa (UPM) Isola Pos 2023-2024.

Bintang Timoer, edisi 26 Agustus 1932. (Foto: Dokumentasi Nabil Haqqillah)

26 September 2025


BandungBergerak.id – Sejak awal abad ke-20, kran pendidikan bagi kaum bumiputra mulai terbuka luas. Munculnya politik etis atau politik balas budi, membuat kaum bumiputra dapat bersekolah.

Meski begitu bukan berarti tidak ada hambatan. Pada tahun 1930, depresi ekonomi atau malaise menimpa dunia, tak terkecuali Hindia Belanda. Untuk mengatur kas keuangannya, pemerintah kolonial mengorbankan pendidikan dengan melakukan penghematan anggaran pendidikan, khususnya pendidikan bagi kaum bumiputra.

Bersama dengan itu, Hollandsche-Inlandsche Onderwijs Commisie (HIOC) atau Komisi Pendidikan Belanda-Pribumi menerbitkan sebuah laporan akhir, yang isinya menyebutkan bahwa sejumlah besar lulusan HIS tidak lagi memperoleh pekerjaan yang sesuai dan di tahun-tahun mendatang situasinya akan semakin memburuk. Jalan keluar yang diajukan HIOC pada pemerintah kolonial saat itu adalah dengan cara mengurangi jumlah HIS dan mengalihkan anggarannya ke sekolah-sekolah desa, dengan sistem pengajaran menggunakan bahasa daerah dan tekanannya lebih pada kemampuan membaca dan keterampilan praktik (Ingleson, 2015, hlm. 159).

Bintang Timoer, edisi 27 Agustus 1932. (Foto: Dokumentasi Nabil Haqqillah)
Bintang Timoer, edisi 27 Agustus 1932. (Foto: Dokumentasi Nabil Haqqillah)

Baca Juga: Sejarah yang Hidup dalam Secangkir Kopi Aroma
Cicalengka, Gerbang Sejarah di Ujung Rel Priangan
Bagaimana Proyek Pembuatan Sejarah Resmi Versi Pemerintah Berpotensi Menggerus Inklusivitas, Mengerdilkan Penulisan Sejarah Lokal, dan Menghilangkan Fakta Pelanggaran HAM

Protes Volksraad

Kebijakan penghematan anggaran pendidikan pada akhirnya menuai kritik dan protes dari Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia Belanda. Penolakan tersebut terjadi pada saat sidang Volksraad yang membahas rancangan anggaran pendidikan tahun 1933 pada tanggal 26 Agustus 1932.

Bintang Timoer, edisi 26 Agustus 1932 memberitakan bahwa Volksraad menolak begrooeting onderwijs atau rancangan anggaran pendidikan. Voting menghasilkan 31suara lawan 27 suara. Sehingga anggara tersebut akan disampaikan lagi ke staten generaal untuk penetapan ulang.

“Volksraad hari ini soedah mengadakan steman begrooting onderwijs. Kesoedahannja begrooting itoe ditolak dengan soeara 31 lawan 27. Djadi begrooting itoe akan disampaikan lagi ke staten generaal boat menetapkannja kembali,” tulis Bintang Timoer, 26 Agustus 1932.

Sebagaimana dikabarkan oleh Bintang Timoer, Wiranatakoesoema mengajukan untuk membentuk terlebih dahulu suatu komisi untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan masalah pendidikan ini. Namun, pemerintah mengajukan tiga matjam keberatan.

“Jang pertama ialah orang haroes memperhatikan fincader, kedoea pemerintah menganggap salah benar kalau orang berichtiar hendak mengikatnja dengan porstel komisi itoe jang mana tak dapat diperoleh. Jang ketiga ialah, tidak benar adanja djika pemerintah mewadjibkan dirinja tidak lagi memboeat apa-apa penghematan onderwijs biarpoen bagaimana ontwijjelingnja keadaan financien itoe,” sebagaimana diberitakan oleh Bintang Timoer.

Dalam buku Pendidikan di Indonesia 1900-1940: Kebijaksaan Pendidikan di Hindia Belanda, disebutkan bahwa Penghematan ini berimbas kepada pembatasan MULO. Pemerintah kolonial menilai para murid-murid di MULO banyak yang tidak bisa mengikuti pelajaran.

“Menurut pemerintah pada MULO terdapat murid tidak sedikit jumlahnya yang dinilai tidak dapat mengikuti pelajaran sehingga degan demikian biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan di sekolah iyu dianggap terlalu tinggi yang sebenarnya tidak perlu terjadi,” tulis van Der Wall, menjabarkan isi surat Gubernur Jendera De Jonge yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, De Graff, tertanggal 29 September 1932.

Seluruh wakil bangsa Indonesia di Volksraad menolak rancangan anggaran tersebut, kecuali Apituley, Mandagie, dan Sosrohadikoesoema. Dalam hal ini, Bintang Timoer edisi 27 Agustus 1932, menilai sikap-sikap ketiga orang ini sebagai penyimpangan.

“Tegen: semoea leden jang hadir dari bangsa Indonesia......tetapi ada tiga jang menjimpang, jaitoe toean toean Apituley jang berdoa dengan segala matjam doa, moga moga dan moedah moedahan kiranja sitiga warna berkibat seteroesnja barang 2 x 350 tahoen lagi diatas pohon sagoe. Nomor doea jang menjimpang jaitoe toean mandagie dan nomer tiga toean sosrohadikoesoema,” tulis Bintang Timoer.

Soeara Oemoem edisi 30 Agustus 1932, menyebut beberapa wakil golongan Eropa yang ikut menolak rancangan anggaran tersebut. Mereka adalah De Dreu (Fraksi (iSDP), Van Mook (Fraksi Siuw), Pastor da Monod de Froivdeville (Fraksi Katolik), van Heldsingen (Fraksi Chr. S.P) dan Fornier (N.I.V.B.). Sementara itu semua wakil Tionghoa, bersama fraksi IEV, VC, dan PEB, serta golongan ekonomi dan Voorzitter setuju dengan rancangan anggaran tersebut.

“Jang setoedjoe dengan begrooting itoe: Semoea bangsa Tionghoa, semoea IEV, VC dan PEB, B.B Golongan Economie dan Voorzitter,” tulis Soeara Oemoem.

Dalam sidang Volksraad ini, juga muncul dua mosi. Pertama Mosi Sutardjo yang meminta pembatalan peraturan pembatasan MULO dan kedua, Mosi Suroso-de Hoog-Dwidjosewojo yang meminta agar peraturan pembatasan tersebut dilunakkan.

Selain MULO, orang-orang di Volksraad juga menentang penghematan terhadap Sekolah Desa dan Sekolah Kelas Dua yang diperuntukkan bagi kaum bumiputra. Dalam hal ini, van der Wall menulis bahwa Fraksi Pangreh Pegawai Pemerintah Pangrehpraja yang diwakili Wiranatakusumah mengajukan beberapa harapan, yaitu: (1) Melanjutkan perluasan sekolah dua dan sekolah desa; (2) Tidak mengurangi jumlah HIS; serta (3) Melunakkan peraturan pembatasan MULO dengan menerima mosi-mosi Suroso dan Dwidjosewojo.

Meskipun rancangan anggaran pendidikan ini ditolak, tetap saja, keputusan akhir ada di tangan staten generaal yang berada di Belanda.

Soeara Oemoem edisi 30 Agustus 1932. (Foto: Dokumentasi Nabil Haqqillah)
Soeara Oemoem edisi 30 Agustus 1932. (Foto: Dokumentasi Nabil Haqqillah)

Merugikan Bumiputra

Protes soal penghematan anggaran pendidikan ini tak hanya berada di dalam Volksraad saja, tetapi juga di luar Volksraad sendiri. Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB), serikat buruh yang menghimpun para guru bumiputra sudah sejak 1930 mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang merencanakan pengurangan HIS. Mereka mengeluarkan sebuah brosur berjudul HIS in de Gevaar yang terbit dalam bahasa Belanda. Dalam skripsi yang ditulis oleh Wawan Darmawan berjudul Pasang Surut Persatuan Guru Republik Indonesia dalam Memperjuangkan Nasib Guru Indonesia, 1945-1998 (2004) menyebut bahwa PGHB yang telah berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI), dengan 20.000 anggota, dalam kongres ke-23 di Surabaya membahas nasib dan kedudukan para guru berhubungan dengan krisis dan penghematan gaji pegawai negeri.

Penghematan pendidikan sangat merugikan kaum bumiputra karena sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah mulai terbatas. Meski begitu kebutuhan akan pendidikan tetap meningkat dan membuat sekolah-sekolah liar atau sekolah swasta yang tak bersubsidi menjadi alternatif kaum bumiputra mengenyam pendidikan. Sekolah-sekolah liar yang rata-rata dikelola oleh organisasi-organisasi pergerakan membuat pemerintah khawatir dan pada akhirnya mulai melakukan pengawasan yang cenderung represif dengan diterbitkannya Ordonansi Sekolah Liar. Ordonansi Sekolah Liar turut diprotes dan akhirnya hanya berlaku selama satu tahun.

Dan puluhan tahun kemudian, meski Indonesia telah merdeka, anggaran pendidikan masih dinomor sekiankan. Bahkan rezim Prabowo-Gibran lebih memilih untuk mengutamakan anggaran bagi pertahanan dibandingkan kesehatan dan pendidikan. Seolah tak ada bedanya, pemerintah saat ini dengan pemerintah kolonial.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//