KISAH SANGKURIANG #2: Cerita yang Universal
Kisah Sangkuriang ada dalam berbagai versi. Tidak hanya di dataran tinggi Bandung saja, variasi ceritanya ada di hampir seluruh pelosok Jawa Barat bahkan nusantara.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
27 September 2025
BandungBergerak.id – Masih terkait tulisan Haryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya halaman 73, kisah Sangkuriang ini memang sangat mengandung “ramuan bumbu penyedap” cerita. Terutama bagi para geolog, seperti Dr. Ir. R. W. van Bemmelen ( 1936), Prof. Dr. Th. H. F. Klompe ( 1956), Kusumadinata ( 1959), Neumann van Padang ( 1971), dan uraian yang menarik dari R. P. Kusumadinata “Sangkuriang: Antara Sangsakala dan Kenyataan Geologi” ( 1979).
Bahkan, saking kepincutnya kepada kisah Sangkuriang, testamen (wasiat akhir) dari Prof. Dr. Th. H. F. Klompe menghendaki agar abu jenazahnya ditebar di Kawah Ratu, Gunung Tangkuban Parahu. Tidak hanya beliau, seorang Junghuhn pun ingin melihat keindahan Gunung Tangkuban Parahu dari jendela kamarnya ketika ia sedang menunggu ajal. Selain itu Pans Schoemper yang terkenal dengan bukunya SelamatTinggal Hindia, Janji Pedagang Telur, konon abu jenzah Pans pun ditebar di kawah Ratu, Gunung Tangkuban Parahu. Kawah Ratu adalah sebuah tempat yang sarat akan kisah Sangkuriang.
Memang kisah Sangkuriang kaya akan imajinasi sehingga memberikan peluang lapangan bagi para sastrawan untuk mengungkapkan berbagai versi dan tafsiran tersendiri. Namun, banyak orang yang berpendapat kisah Sangkuriang ini sangat sakral.
Ada yang berpendapat bahwa lakon Sangkuriang ini bukan merupakan dongeng sembarangan, tidak boleh dibiarkan gegabah atau di gubah semaunya. Tapi apa daya, kisah turun temurun ini kadung meluas dengan bunga-bunga, dari sejengkal jadi sehasta. Siapa yang bisa menjamin bahwa yang ia ceritakan adalah sebuah pakem dari kisah Sangkuriang yang paling baku.
Salah satu contoh adalah dalam versi Ajip Rosidi dan Darmawijaja yang menyebut Raja Sungging Perbangkara merupkan ayah dari Dayang Sumbi. Namun dalam versi S. A. Reitsma dan W. H. Hoogland, sang raja bernama Sri Pamekas. Bahkan dalam versi Kusumadinata disebut sebagai Sunan Ambu atau Sunan Agung. Lalu versi manakah yang benar?
Salah satu versi yang membuat saya pribadi bingung adalah versi dari R. T. A. Sunarya yang menyebutkan bahwa Raja Sungging Perbangkara adalah salah satu raja Tarumanagara, bukan Raja Galuh. Lalu versi Karwapi yang membuat saya semakin bingung menyebutkan bahwa si Tumang yang merupakan suami dari Dayang Sumbi yang seekor anjing herder hitam sebetulnya adalah Belang Wayungyang, seorang lelaki yang bertugas mengawal keluarga kerajaan, sakti dan kuat perkasa.
Sebagian bujangga menceritakan (dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya, Haryoto Kunto halaman 74), Sangkuriang binasa ditelan ombak Situ Hiang (danau Bandung Purba ) atas kutukan seorang ibu (versi Darmawijaja). Kemudian Dayang Sumbi berlari hingga ke laut selatan dan terjun ke lautan lepas.
Lain lagi dengan penuturan Ajip Rosidi, ia mengatakan bahwa “Demikianlah sepasang kekasih, Sangkuriang mengejar ibunya, dan ia sangat mencintainya layaknya pria pada wanita, dan ingin sekali meminangnya. Kejar mengejar tak ada hentinya, terus menerus sepanjang jaman, hingga tiba hari kiamat.” Penuturan ini terkesan bahwa Sangkuriang dan Dayang Sumbi ini akan terus reinkarnasi untuk saling mengejar dalam kisah cinta terlarang mereka. Ada lagi kisah penuturan dari Utuy. T. Sontani yang menutup kisah versi dia dengan adegan Dayang Sumbi yang kepepet dikejar-kejar Sangkuriang yang sangat mencintainya, lalu Dayang Sumbi menikam dirinya sendiri dengan sebilah kujang.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #2: Bandoengsche Melk Centrale
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #3: Luka di Ujung Senja
KISAH SANGKURIANG #1: Mitos atau Fakta?
Beragam Versi Tersebar di Nusantara
Adapun kisah-kisah Sangkuriang dalam berbagai versi ini ternyata berlatar tidak hanya di dataran tinggi Bandung saja, namun berlatar di hampir seluruh pelosok di Jawa Barat bahkan nusantara. Cerita Sangkuriang yang dikumpulkan oleh C. W. Pleyte dalam serial buku Pariboga terbitan Balai Pustaka menemukan kisah Sangkuriang yang berasal dari kawasan Banten. Bahkan di Jatiwangi, kampung halaman Ajip Rosidi, orang banyak menghubungkan dengan nama yang “wangi“ itu sebagai tempat peristirahatan Dayang Sumbi ketika dikejar-kejar Sangkuriang.
Ada satu lagi hal yang sering lupa diungkap dalam kisah-kisah Sangkuriang, bahwa Dayang Sumbi pernah memberikan cincin kepada Sangkuriang dengan pesan “Bila kau temui seorang wanita yang bisa memakai cincin ini , maka dialah calon istrimu.“ Cincin tersebut diserahkan Dayang Sumbi sebelum mengusir putranya. Gara-gara cincin dan pesan ibunya, Sangkuriang lupa daratan dan memaksakan kehendaknya tersebut.
Namun ada satu hal yang membuat saya sedikit “dejavu” antara kisah Sangkuriang ini dengan kisah Bandung Bandawasa yang ingin mempersunting Rara Jongrang yang meminta agar dibuatkan Candi Sewu (seribu) dalam waktu satu malam sebagai mas kawin. Mirip seperti yang dilakukan Dayang Sumbi, Rara Jongrang juga mengakali agar terlihat pagi telah menjelang dan mas kawin gagal dibuat.
Dikawasan Jawa Tengah juga ternyata ditemui kisah yang hampir serupa yaitu kisah Watugunung dan kisah dari orang-orang Kalang di Kota Gede yang dirumorkan menjadi manusia yang lahir dari perkawinan seorang wanita cantik dengan seekor anjing hitam, hingga menyebabkan orang-orang kalang lahir dengan memiliki ekor. Ternyata di Kalimantan juga terdapat kisah yang mirip yaitu kisah Ki Mas Lelana yang menjadi Raja Negaradipa. Lalu di Minahasa terdapat kisah yang mirip yaitu kisah Tosar dan Lumimu’ut.
Ketika masa kolonal, yang pernah merasakan bersekolah di Sekolah Rakyat di Jawa Tengah akan kebagian membaca sebuah buku berjudul Tataran. Di dalam buku itulah terdapat kisah Sangkuriang versi Jawa Tengah, cerita itu berjudul Dewi Shinta Kaliyan Prabu Watugunung.
Untuk mengungkap siapakah sebenarnya sosok Sangkuriang ini dan Dayang Sumbi, akan coba kita ditelusuri dalam sebuah kitab yang bernama Pustakaraja Purwa yaitu kumpulan cerita yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa. Cerita-cerita ini ditulis oleh seorang pujangga kraton Surakarta yaitu Raden Ngabehi Rangga Warsita.
Kisah mendetail dalam kitab ini yang berkaitan dengan sosok Sangkuriang akan kita bahas minggu depan ya ...
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang