CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #13: Melihat Setengah Abad Bandung di Koran Pikiran Rakyat Edisi Tahun 1956
Ulang tahun Kota Bandung dulu dirayakan tiap 1 April. Koran Pikiran Rakyat mencatat perayaan setengah abad Kota Bandung di salah satu edisi yang terbit tahun 1956.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
27 September 2025
BandungBergerak.id – Kota Bandung resmi menapaki usia ke-215 tahun pada Kamis, 25 September 2025. Penetapan tanggal ini berlandaskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 35 Tahun 1998 yang disahkan dalam sidang paripurna DPRD Kota Bandung pada tahun yang sama.
Sejarah mencatat, hari jadi Kota Bandung sempat diperingati setiap 1 April. Dasarnya adalah keputusan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1810 yang memindahkan pusat Kabupaten Bandung dari Dayeuhkolot ke lokasi yang kini menjadi pusat kota.
Namun, sejumlah sejarawan menilai tanggal tersebut hanya menandai pemindahan ibu kota, bukan kelahiran kota. Ada pula yang mengajukan tahun 1809, saat Bupati Wiranatakusumah II bersama rakyat membuka lahan di tepi Sungai Cikapundung, sebagai momen penting.
Perdebatan akhirnya berujung pada 25 September 1810, tanggal dikeluarkannya besluit (surat keputusan) Daendels yang meresmikan Kota Bandung. Setelah melalui diskusi akademis dan politik di era 1990-an, tanggal ini disepakati dan ditetapkan secara resmi sebagai hari jadi Kota Bandung.
Seiring bertambah usia, Bandung terus berkembang dengan pesonanya yang khas. Julukan Paris van Java muncul sejak masa kolonial Belanda, ketika tata kota, taman, kafe, dan pertokoannya dirancang menyerupai kota-kota Eropa. Gedung-gedung kolonial yang masih berdiri kokoh hingga kini menjadi saksi sejarah sekaligus simbol kejayaan arsitektur masa lalu.
Lebih dari sekadar pusat pemerintahan, Bandung tumbuh menjadi kota pendidikan, kebudayaan, hingga industri kreatif. Pada 1955, kota ini bahkan menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika, sebuah peristiwa bersejarah berskala dunia.
Kini, di usianya yang ke-215, Bandung tetap memikat. Dari kuliner, belanja, hingga ruang-ruang kreatif anak muda, semua hadir membentuk wajah Bandung yang dinamis. Meski tak lepas dari problem klasik kota besar seperti kemacetan dan kepadatan penduduk, Bandung terus berupaya menjaga warisan sejarah sembari berinovasi menuju kota modern.

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #10: Jejak Koran Salemba, Suara Kritis dari Kampus Universitas Indonesia
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #11: Menyusuri Jejak Harian Suara Merdeka, Media Perekat Warga Jawa Tengah
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #12: Berita Yudha, Jejak Surat Kabar Militer di Tengah Krisis Nasional
Bandung di Lembaran Lama Koran Pikiran Rakyat
Membaca koran dan majalah lawas selalu menghadirkan sensasi unik, seakan menembus batas waktu dan kembali ke masa lalu. Sayangnya, banyak yang menganggap media cetak lama sekadar kertas usang, tak relevan di era digital. Padahal, koran dan majalah lama adalah dokumen sejarah, banyak menyimpan rekam jejak sosial, budaya, politik, hingga keseharian masyarakat.
Salah satu contohnya adalah Pikiran Rakyat edisi 1950–1960-an yang memiliki suplemen mingguan berjudul Lembaran Minggu. Membuka edisi 1 April 1956, misalnya, seperti membuka jendela menuju Bandung tempo dulu.
Edisi Lembaran Minggu yang dimiliki Penulis terbit 69 tahun lalu, tampil dalam format tabloid, berbeda dengan harian Pikiran Rakyat saat ini yang berbentuk broadsheet. Di halaman muka terpampang judul besar: Bandung Setengah Abad, lengkap dengan agenda perayaan ulang tahun ke-50 Kota Bandung.
Dalam kurun setengah abad, Bandung telah dipimpin 12 pejabat Belanda selama 37 tahun, dan 5 wali kota Indonesia selama 13 tahun berikutnya.
Di antara pejabat Belanda tercatat nama R. A. Maurenbrecher, B. E. Kruysboom, J. A. A. van der Ent, J. J. Verwijk, H. C. C. B. van Veuten, B. L. van Bijleveld, B. Coops, S. A. Reitsma, Ir. J. E. A. von Wolzogen Kuhr, J. M. Wesselink, N. Beets, dan E. Croes. Mereka inilah selama 37 tahun yang memegang kemudi pemerintahan Kota Besar Bandung dengan pangkat Asisten Residen dan Burgemeester.
Sementara kepemimpinan pribumi dimulai oleh Sityo R. A. Atma Di Nata pada masa pendudukan Jepang, lalu dilanjutkan oleh R. Sjamsuridjal, pada permulaan revolusi lalu R. Sain Nurjokusumo, Ir. Oekar Bratakoesoemah, hingga R. Enoch.
Masih di halaman yang sama, rubrik Kita Tondjolkan menyoroti sosok sederhana yakni Bapak Sadra’i, seorang pasapon atau tukang sapu jalan. Ia dijuluki “Pahlawan Sampah” karena ketekunannya menjaga kebersihan jalan protokol Bandung. Kisah Sadra’i mengingatkan bahwa sebuah kota tidak hanya dibangun oleh pejabat, tetapi juga oleh kerja sunyi rakyat kecil.

Ragam Rubrik yang Memikat
Lembaran Minggu koran Pikiran Rakyat sarat rubrik menarik, seperti Apa Kabar, Pembatja yang berisi tajuk rencana redaksi, Lembaran Pembatja berisi kritik dan saran pembaca, hingga Lain Ladang Lain Belalang yang menuturkan adat dan kebiasaan daerah.
Kolom Kisah Kedjadian mencatat peristiwa penting, sementara Tjoret dan Potret menampilkan foto-foto peristiwa layaknya rubrik “gambar berita” masa kini. Ada pula Apa Kabar Siapa, berisi aktivitas tokoh nasional maupun internasional. Dari edisi 1956, misalnya, terselip kabar tentang Ibu Fatmawati Sukarno yang berniat menjadi produser film, serta cerita Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja yang gemar musik jazz dan mobil sport.
Rubrik Tanjakan pada Si Kabajan menghadirkan humor khas Sunda dalam menjawab pertanyaan pembaca. Sementara halaman belakang dipenuhi berita olahraga, cerita bersambung, komik wayang, hingga jadwal siaran RRI Bandung.
Berikut petikan tajuk rencana redaksi Pikiran Rakyat di rubrik Apa Kabar, Pembatja edisi tahun 1956:
Pikiran Rakyat, selaku harian yang lahir di kaki Gunung Tangkubanparahu dalam wilayah Kotapraja, ikut serta memperingati amal perbuatan mereka yang telah turut mengembangkan Bandung sejak adanya Gemeenteraad pada tahun 1906. Mereka adalah para Burgermeester, loco-Burgermeester, Wehouder, penggantinya di zaman Jepang, Gemeente di masa pendudukan Belanda, serta para wali kota dan DPRDS dalam bentuk pemerintahan yang kini ada setelah Kedaulatan.
Cara memperingatinya pun sangat sederhana, tidak berpesta, sekadar menambah lembaran.
Dan memang tidak ada alasan untuk berpesta merayakan Peringatan Bandung 50 Tahun, sebuah gejala yang sewajarnya ditimbulkan oleh sang waktu dengan zaman yang senantiasa berubah.
Kita patut bersyukur atas kodrat alam yang memberkati Bandung dengan iklim segar tiada tara, pemandangan alam yang indah, dan layak dipuji. Inisiatif pertama yang memanfaatkan kedua faktor ini ialah untuk mengembangkan Bandung sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja bangsa Eropa. Di samping itu, Gemeente bagi bangsa Eropa menetapkan pajak yang murah, menyediakan tanah untuk perumahan dan perusahaan dengan harga murah, serta kebutuhan sehari-hari yang relatif murah pula.
Semua itu menyebabkan perpindahan jawatan dan kantor-kantor besar dari Jakarta, sehingga beralasan pula bagi Gemeente untuk mengembangkan wilayah, menyediakan perumahan, dan memperindah kota.
Namun, dalam keasyikannya meng-Eropa-kan kota Bandung, sering kali terlupa untuk memperbaiki kampung-kampung tempat tinggal golongan bangsa Indonesia.
Hal itu bisa dipahami untuk zaman tersebut. Syukurlah Gemeente setelah perang masih sempat mengerjakan rencana Schönstedt, yang kemudian diteruskan oleh Kotapraja dengan lebih baik lagi. Pekerjaan ini memang belum selesai.
Kotapraja pun masih berada dalam tahap pembangunan untuk menuju tata praja yang sempurna, dengan memperhitungkan aspek kewilayahan, aspek sosial, serta kebudayaan, dan tetap memperhatikan kedaulatan rakyat, keadilan, perikemanusiaan, dan kebangsaan.
*

Kini, ketika Bandung merayakan ulang tahunnya yang ke-215, membaca kembali Lembaran Minggu edisi 1956 memberi perspektif berharga: bagaimana kota ini pernah dirayakan, siapa saja yang membangunnya, dan kisah-kisah kecil yang mewarnai hidup warganya.
Di tengah derasnya arus digital, aroma khas kertas tua dan teks lawas tetap menyimpan daya tarik. Ia menghadirkan nostalgia, masa ketika koran menemani pagi bersama keluarga. Lebih dari itu, membaca media lama adalah cara memahami pandangan masyarakat di masa silam tentang politik, budaya, dan kehidupan sehari-hari.
Koran lama adalah cermin. Melaluinya kita melihat wajah Bandung tempo dulu, lalu membandingkannya dengan Bandung hari ini. Di usia ke-215, lembaran-lembaran usang itu terasa hidup kembali, mengingatkan kita bahwa sejarah kota tak hanya ditulis oleh arsitek besar atau pejabat tinggi, melainkan juga oleh kolom kecil, kisah rakyat sederhana, dan catatan yang tersimpan di kertas-kertas tua.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB