Kenyataan Brutal Kehidupan Warga Pinggiran Jakarta
Jakarta sudah masuk kategori megacity yang penduduknya padat, menjadi pusat kegiatan politik dan ekonomi yang secara bersamaan menghadapi krisis lingkungan hidup.

Ica Wulansari
Pengkaji studi sosial-ekologi lulusan Unpad, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina
28 September 2025
BandungBergerak.id – Sebuah meme di media sosial Instagram bertulis “hanya orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta” langsung membuat saya tersenyum kecut. Saya adalah warga asli Bandung yang ngumbara tinggal di Kawasan Jabodetabek dan bekerja di Jakarta dalam 15 tahun terakhir. Menurut saya, istilah candaan “orang sakti” itu tidak berlaku untuk semua orang karena ada kriterianya. Pertama, orang-orang yang gajinya di bawah UMR atau pekerja harian atau pekerja informal harus bertahan hidup dengan gaji sekecil itu berkelahi dengan waktu. Kedua, orang-orang kelas pekerja yang gajinya di atas UMR dikit yang gaya hidupnya doyan ngafe tapi sering bokek. Ketiga, orang-orang dengan gaji di bawah UMR dan gaji di atas UMR dikit yang kesehariannya tergantung dengan transportasi publik yaitu bus Trans Jakarta dan KRL (Kereta Rel Listrik) yang harus berdesak-desakan di jam kerja dan pulang kerja dan kerap terkendala pulang ke rumah karena ada kejadian luar biasa.
Misalnya, saya terjebak di Stasiun Tanah Abang ketika hendak pulang ke arah Pondok Aren pada Senin, 25 Agustus 2025. Saat itu, feeling sudah gak enak karena sudah lebih dari 15 menit kereta belum diberangkatkan sesuai jadwal dan petugas mengumumkan berulang kali bahwa kereta belum dapat dijalankan karena ada hambatan di lintasan kereta. Kebetulan ini bukan kali pertama, saya mengalami “terjebak” di KRL (tapi nanti yah ceritanya, saya selesaikan cerita ini dulu). Ketika mencari informasi dari twitter KAI Commuter ternyata infonya: ada aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/ MPR di mana kerumunan massa berkumpul di perlintasan kereta api. Saat membaca informasi tersebut, saya tengah berada di gerbong perempuan di KRL yang cukup padat karena saat itu sudah waktunya jam pulang kerja sekitar pukul 16.00, maka saya bergegas ke luar gerbong dan mencari moda transportasi lain. Kalau saya tidak segera hengkang dari KRL dan stasiun, maka saya akan menjadi “pepes” di antara lautan manusia.
Benar saja, informasi di malam hari bahwa sejumlah stasiun KRL terjadi penumpukan penumpang hingga malam hari sehingga sepanjang mata memandang stasiun terdiri dari lautan manusia. Menyalahkan massa yang melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR/ MPR? Tentu tidak, wong anggota DPR makin enggak beretika bahkan tega-teganya kita warga yang memilih mereka untuk menjadi anggota dewan dikatai tolol oleh mereka. Belum lagi perilaku manja anggota dewan minta tambahan tunjangan dan aksi yang tidak menunjukkan empati terhadap kesulitan hidup warga saat ini. Mending, kalau kinerjanya pro rakyat dan berkualitas. Eh, kembali ke laptop tentang gimana perjuangan hidup warga Jakarta atau warga komuter yang numpang bekerja di Jakarta.
Rasanya hidup di Jakarta, sebagai warga dengan penghasilan sedikit di atas UMR sama-sama berisiko kehidupannya dengan warga dengan penghasilan di bawah UMR. Kenapa? Jakarta menjadi kota yang kian padat dengan jumlah penduduk di atas 10 juta jiwa. Maka, Jakarta sudah masuk kategori kota megacity yang penduduknya padat, kota yang menjadi pusat kegiatan politik dan ekonomi yang secara bersamaan menghadapi krisis lingkungan hidup. Urbanisasi dan ketimpangan pembangunan yang sudah terjadi sejak lama menyebabkan populasi Jakarta padat dan serangkaian keruwetan hidup di Jakarta pun menjadi cerminan kota Jakarta, misalnya kemacetan dan yang terbaru polusi udara kota Jakarta masuk terburuk di seantero Asia Tenggara. Maka, kepadatan penduduk kota Jakarta yang tadinya mau dipindah ke IKN tapi enggak jadi menyebabkan Jakarta pada hari kerja selalu dipenuhi dengan pemandangan kemacetan di jalan, kepadatan penumpang di KRL dan bus Trans Jakarta.
Baca Juga: Menengok Segitiga Wisata Jakarta, Bogor, dan Bandung
10 Menit Meraih Juara Pertama Lomba Film Pendek STF Driyarkara Jakarta
Cerita Visual Aksi Indonesia Gelap antara Bandung Jakarta, Kaum Ibu Bersama Orang-orang Muda yang Melawan
Banjir dan Tenggelam
Kepadatan penduduk di Jakarta pun membawa visualisasi nyata bagaimana kantong-kantong kemiskinan kerap berada di belakang kemegahan area-area elite. Kantong-kantong kemiskinan pun rawan terjadi kebanjiran saat hujan turun deras. Masalah kebanjiran juga kompleks karena penyebabnya juga beragam. Konon, pembangunan infrastruktur air Jakarta pada masa kolonial menurut sejumlah penelitian sains menunjukkan bahwa kolonial Belanda membangun Kawasan perkampungan dengan infrastruktur yang tidak memadai dan pembangunan tersebut dilanjutkan hingga era kemerdekaan. Maka, kawasan Jakarta Timur rentan banjir sehingga mengapa ada istilah “anak Jaksel” menunjukkan kawasan Jakarta Selatan cenderung lebih elite yang tidak dibangun sebagai kantong kemiskinan.
Bagaimana dengan kawasan Jakarta Utara yang rawan terkena banjir juga, ini beda lagi, karena ada kerentanan dari banjir rob karena dekat dengan perairan dan mengalami abrasi maupun mengalami penurunan muka tanah yang menyebabkan rentan tenggelam yang kian dipercepat karena adanya perubahan iklim. Misalnya Masjid Wal Adhuna di Muara Baru Jakarta yang sudah lama tenggelam. Maka, konon Jakarta akan tenggelam apabila dilihat dari berbagai penelitian.
Apakah warga Jakarta saja yang rentan mengalami kebanjiran? Tentu tidak, karena warga pinggiran Jakarta pun rentan mengalami kebanjiran apalagi jika terjadi curah hujan yang ekstrem. Lagi-lagi, saya mengalaminya, Senin, 7 Juli 2025. Saat itu, hujan deras turun di sore hari. Saat itu, sekitar Magrib saya sampai di Stasiun KRL Jurang Mangu. Untuk menuju ke rumah, maka dari stasiun tersebut, saya harus memesan ojek online. Namun, saat itu hujan cukup deras sehingga saya menunggu hujan reda dan ngadem di dalam mal yang letaknya tidak jauh dari stasiun tersebut. Akan tetapi, ketika pukul 20.00-an saya hendak pulang dan memesan ojek online, kondisi jalan lengang alias jarang kendaraan. Sementara itu, kerumunan orang-orang yang merupakan penumpang KRL yang hendak kembali ke rumah dan memesan ojek atau taksi online pun berkeluh kesah karena pesanan menunggu lama. Saya pun begitu, hingga di chat oleh driver ojek online, “Kak, maaf enggak bisa jemput, kena banjir.” Saat itu, Kawasan Bintaro, Tangerang Selatan yang enggak jauh dari Jaksel pun mengalami banjir. Akhirnya saya, harus menunggu hingga pukul 23.00 untuk bisa dipertemukan oleh ojek pangkalan yang berhasil menerobos banjir sehingga saya bisa pulang ke rumah dengan kondisi jibrug alias basah kuyup karena hujan sepanjang malam.
Kesenjangan Sosial Benar Adanya
Kejadian terjebak banjir dan susah pulang hanyalah satu rangkaian cerita. Cerita lain saya bertahan hidup di Jakarta sebenarnya banyak, namun ada satu cerita yang ada relevansinya dengan kepadatan penduduk dan kesenjangan sosial.
Saat itu, Selasa, 30 Januari 2024. Seperti biasa, saya pulang ngantor dan menggunakan KRL. Saat itu jam padat mendekati waktu Magrib. Seperti biasa kalau padat di KRL hanya bisa berdiri mematung, kalau bisa buka HP, kadang-kadang saking sempitnya dengan lautan manusia ya hanya bisa berdiri dan diam saja. Saat itu, tiba-tiba KRL berhenti di tengah-tengah perjalanan hendak menuju Stasiun Pondok Ranji. Tidak diduga saat itu, KRL berhenti hingga 2 jam lebih. Jangan ditanya gimana pegal dan gerahnya harus berdiri di dalam kerumunan manusia di KRL tersebut. Konon, yang menyebabkan terhambatnya perjalanan adalah adanya sampah spring bed (kasur pegas). Saya sendiri enggak paham gimana sih logika orang yang membuang sampah kasur itu dan enggak paham posisinya bagaimana, yang pasti kawat dari spring bed itu mengenai roda KRL yang berada di depan KRL yang saya tumpangi. Maka petugas membersihkan roda-roda KRL dari kawat tersebut yang membutuhkan waktu.
Faktanya, sangat lumrah di kawasan rel kereta api di Jakarta dan sekitarnya di bagian kanan dan kiri disesaki oleh rumah-rumah semi permanen. Sehingga pemandangan kehidupan rumah tangga bisa terlihat sepanjang rel kereta api. Umumnya, warga yang mendiami hunian tersebut dikategorikan warga miskin yang rendah akses pendidikan dan akses lainnya. Maka, keruwetan di sepanjang rel kereta api pun kerap terjadi. Misalnya yang paling sering kejadian pelemparan batu ke kereta yang melintas.
Adaptif Menghadapi Krisis dan Bencana
Berbagai kejadian yang sudah saya alami sebagai warga pinggiran yang jadi buruh di ibu kota Jakarta membuat saya pun takjub bahwa hidup di Jakarta itu berat dan orang-orang yang saktilah yang bisa bertahan hidup di Jakarta. Candaan yang bisa bikin senyum simpul bisa saya jadikan candaan karena saya sudah ikhlas hidup penuh perjuangan di Jakarta. Gimana tidak penuh perjuangan, mau naik KRL atau transportasi lainnya selalu terburu-buru, supaya tidak tertinggal kemudian setelah masuk moda transportasi harus menahan bau kerumunan dan berkeringat seperti sedang sauna. Perbedaan waktu menentukan posisi benar adanya, masa kerja di pagi hari dan pulang kerja di sore hingga malam hari menyebabkan transportasi publik, terutama KRL padat dan yang memiliki otot kawat dan semangat bajalah yang mampu menembus barikade kepadatan untuk bisa pulang ke rumah dengan cepat.
Belum lagi, kondisi politik yang tidak pasti menyebabkan demonstrasi kerap terjadi yang berdampak pada pengguna transportasi publik yang melewati Gedung DPR/MPR. Jadi, mohon pemerintah dan anggota dewan mbok ya lebih dijaga omongannya dan buatlah kebijakan nyata pro rakyat supaya rakyat juga enggak harus cape-cape demo. Selain itu, kondisi cuaca terutama terjadi hujan berpotensi mempengaruhi perjalanan. Bahkan kondisi keamanan energi pun penting karena saya pernah mengalami kejadian pemadaman listrik sehingga penumpang KRL pun menumpuk di stasiun karena kereta tidak dapat berfungsi saat listrik padam.
Maka, bentuk adaptifnya adalah yang pertama sabar, sesabar-sabarnya karena Anda tidak sendiri, lihat kerumunan manusia lainnya yang juga mengalami hal yang sama. Kedua, mental menjadi kuat pada saat krisis terjadi dan terbiasa melakukan mitigasi dengan mencari informasi dan memutuskan tindakan misalnya mencari moda transportasi lain. Tapi, gimana kalau terjebak enggak bisa ngapa-ngapain, ya berdoa, enggak ada cara lain. Tenang, kan sudah ada masuk surga melalui jalur WNI.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB