10 Menit Meraih Juara Pertama Lomba Film Pendek STF Driyarkara Jakarta
Film pendek buatan mahasiswa Unpar ini berpesan, ketika pandemi sudah reda, hendaknya jangan jadikan pandemi sebagai alasan untuk tidak mau berjumpa dengan orang lai
Penulis Iman Herdiana19 Mei 2022
BandungBergerak.id - Pandemi Covid-19 yang kini masuk tahun ketiga, menimbulkan banyak perubahan dari segi sosial maupun perilaku masyarakat. Salah satunya adalah isu kemanusiaan yang muncul pascapandemi. Isu ini digarap dalam film pendek berjudul 10 Menit.
Film pendek garapan mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) tersebut merengkuh juara pertama dalam lomba film pendek pada Dies Natalis ke-53 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta: Solidaritas: Jalan Humanisasi Masyarakat Pasca-Pandemi, Jumat (6/5/2022).
Mengangkat tema tentang pertemuan, karya Marchelino Joshua, Samuel Krisna Surya Hanggara, dan Andreas Fajar Purwanto teresbut diharapkan memberi inspirasi terkait harapan dan aksi nyata yang dapat dilakukan sesama setelah pandemi berlangsung.
Marchelino dan tim ingin menyampaikan bahwa masa pandemi memberikan banyak waktu bagi orang untuk tinggal dalam kesendiriannya.
“Perlu diperhatikan bahwa orang memiliki dua dimensi, yakni dimensi yang bersentuhan dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Selama pandemi, rasa-rasanya orang menjadi jarang berjumpa dengan orang lain. Lebih parah lagi, orang mungkin menjadi lupa bahwa mereka juga harus berjumpa dengan orang lain,” tutur Marchelino, dikutip dari laman resmi Unpar, Kamis (19/5/2022).
Dia berharap, film yang digarap oleh timnya tersebut dapat menjadi pengingat bahwa sebagai manusia, suka-tidak suka, orang seharusnya tidak melupakan fakta bahwa dirinya harus berjumpa dengan orang lain.
“Menolak untuk berjumpa dengan orang lain secara tidak langsung menolak untuk menjadi manusia,” katanya.
Menurutnya, media film pendek merupakan media yang unik dalam menyampaikan suatu pesan pada saat ini.
“Lomba film pendek itu unik. Film pendek menjadi salah satu cara, yang kebetulan sedang populer dan digemari, untuk menyampaikan gagasan, ide, pendapat. Lomba ini, dengan demikian, mengasah kreativitas orang untuk menyampaikan gagasannya. Tidak perlu selalu dengan cara yang keras, rigid, dan kaku,” ucap Marchelino.
Dalam menggarap karyanya, pengerucutan ide untuk membuatnya menjadi spesifik dan terarah menjadi tantangan tersendiri.
Baca Juga: Komunitas Kota Bandung dalam Arus Digital
Jurnalisme Warga sebagai Media Advokasi Daerah Pelosok
NGULIK BANDUNG : Saling Memaafkan, Tradisi Lebaran Khas Nusantara
“Selain itu, tantangan lainnya, meskipun tidak pernah benar-benar menyulitkan, adalah keterbatasan sarana. Pada dasarnya kami bukanlah profesional. Dengan demikian, kami mesti beradaptasi dengan sarana yang ada agar dapat menghasilkan karya yang maksimal,” katanya.
Dia pun menyampaikan pesan kepada masyarakat jika masa pandemi sudah buruk, maka jangan diperburuk dengan kecenderungan untuk mengasingkan diri dari orang lain.
“Ketika pandemi sudah jauh lebih reda, hendaknya jangan menjadikan pandemi sebagai alasan untuk tidak mau berjumpa dengan orang lain. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, menolak untuk bertemu dengan orang lain secara tidak langsung menolak untuk menjadi manusia. Meskipun sederhana, berjumpa dengan orang lain adalah sumbangan yang besar bagi kemanusiaan pada masa post-pandemi,” tutur Marchelino.
Lebih lanjut, dia dan timnya akan berusaha untuk lebih mendalami kembali terkait film pendek yang saat ini menjadi ketertarikannya.
“Akan tetapi, usaha ini akan kami tempatkan dalam semangat untuk membawa manfaat bagi orang-orang di sekitar kami, mulai dari Gereja, seminari, kampus, dan sebagainya. Rasa-rasanya, sebaik-baiknya gelar atau pencapaian tidak akan cukup baik apabila tidak bisa berguna bagi lingkungan sekitar,” ujar Marchelino.