• Kolom
  • MALIPIR #35: Buku itu Kamu Pinjam?

MALIPIR #35: Buku itu Kamu Pinjam?

Sesungguhnya, ketika buku-buku disita, para pecinta buku layak tersinggung. Sebab, membaca buku adalah perbuatan baik, bukan kejahatan.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Membaca buku bukan kejahatan. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

29 September 2025


BandungBergerak - Apa bedanya pustakawan dari polisi? Jawabnya gampang: pustakawan menyita waktu buat membaca buku, sedangkan polisi menyita buku sewaktu-waktu.

Tentu saja, benda apapun, mulai dari pulpen dan spidol hingga katel dan boboko, bisa dijadikan barang bukti oleh polisi. Begitu pula pada waktu yang tidak nyaman, sehabis kerusuhan Agustus 2025 lalu, rupa-rupa barang bukti disita polisi, mulai dari helm hingga buku.

Buat peminat buku seperti saya, berita tentang penyitaan buku memantik banyak pikiran, baik yang menyenangkan maupun yang merisaukan.

Yang bikin senang adalah kenyataan bahwa di antara anak-anak muda yang namanya dikaitkan dengan kerusuhan, ada yang jadi bagian dari masyarakat yang membaca. Di tempat kerja atau di tempat tinggal mereka, polisi menemukan sejumlah buku. Buku mereka menjangkau keluasan tema dan genre, mulai dari kajian filsafat hingga analisis sosial, mulai dari catatan perjalanan hingga puisi Sunda.

Yang bikin risau adalah kesan bahwa polisi rupanya tidak jadi bagian dari masyarakat demikian. Dalam menyita buku, kelihatannya mereka cukup memelototi judulnya. Buku yang judulnya mengandung kata-kata yang mereka curigai, misalnya "marxisme", "anarkisme", "beling", dan "aing", langsung diciduk. Orang sering bilang, jangan menilai buku dari sampulnya. Polisi di Indonesia tampaknya menilai buku dari judulnya.

Miskin Literasi

Memang berabe jika alat negara, bahkan petingginya, juga pengelola media, mengalami kemiskinan literasi. Gejalanya tampak dari kerancuan pernyataan mengenai, misalnya, "anarki", "anarkis", dan "anarkisme". Sampai-sampai penerbit Marjin Kiri dikabarkan menggratiskan sebuah buku yang dapat menerangkan pengertian istilah-istilah itu.

Sesungguhnya, ketika buku-buku disita, para pecinta buku layak tersinggung. Sebab, membaca buku adalah perbuatan baik, bukan kejahatan. Kalaupun ada buku-buku yang isinya dianggap berbahaya oleh institusi curiga seperti polisi atau tentara, kecerdasan pembaca untuk mencerna, menimbang, dan memikirkan isi buku yang mereka baca niscaya patut dihormati.

Tidak berlebihan kiranya jika pecinta buku merasa bahwa penyitaan buku oleh polisi adalah represi berlebihan, seakan-akan aparat keamanan mau memborgol pikiran. Memangnya bisa? Bagaimana caranya, coba? Bahkan bukan tidak mungkin jika mereka lantas merasa khawatir, jangan-jangan langkah represif demikian bakal mengarah ke pelarangan buku sebagai medium penyampaian gagasan.

Baca Juga: MALIPIR 334: Esai di JalanMALIPIR #33: Buku yang Disita Polisi

Menyita atau Meminjam

Ada ungkapan yang lebih enak daripada "menyita buku", yaitu "meminjam buku". Barang yang disita biasanya tidak kembali, sedangkan barang yang dipinjam diharapkan balik lagi. Lagu cinta karya Iwan Fals yang saya dengan pada masa remaja memakai ungkapan yang disebutkan belakangan: "buku ini aku pinjam". Sayang, buku dalam lagu itu kedengarannya buku tulis, bukan buku bacaan. Sebab, katanya, di lembaran buku pinjaman itu "kan kutulis sajak indah". Yang jelas, menggubah sajak sama indahnya dengan membaca buku.

Ada memang buku bacaan disebut-sebut dalam lagu lain dari musisi yang sama, yakni cerita silat karya Kho Ping Hoo. Namun, citra yang digambarkannya kurang menyenangkan. Sebab, buku itu disinggung-singgung dalam satire tentang sarjana jebolan "fakultas dodol" yang skripsinya tidak dia tulis sendiri. Sang sarjana digambarkan berkaca mata tebal karena "banyak baca Kho Ping Hoo". Dalam hati saya mendongkol: apa salahnya Kho Ping Hoo? Jahatkah cerita silat?

Boleh dong saya berharap meski mungkin terdengar hampa. Yang saya bayangkan bukan polisi yang menyita buku, melainkan polisi yang meminjam buku. Mungkin di perpustakaan kepolisian koleksi buku masih terbatas – lagi pula, setiap koleksi buku pasti terbatas –, dan untuk meningkatkan literasi penegak hukum, sejumlah buku perlu dipinjam dari para aktivis. Namun, pinjam-meminjam harus dengan persetujuan si empunya barang dong. Dan kalau meminjam buku, jangan lupa untuk mengembalikannya meski sebagian peminjam buku punya kebiasaan sebaliknya.

Saya pun berharap polisi tidak mengutuk buku atau mencibir buku seperti penyanyi balada mencibir cerita silat. Lagi pula, meresensi atau meninjau buku bukanlah tugas polisi. Kalaupun ada sejumlah buku yang mau dimasukkan ke dalam kategori "barang bukti", konsekuensinya pasti ruwet sekali: mereka-reka narasi tentang bagaimana ceritanya isi buku sampai mempengaruhi tindak-tanduk mereka yang diduga sebagai pembuat onar. Belum lagi memastikan bahwa mereka yang diduga sebagai pembuat onar itu benar-benar sempat membaca buku-buku yang terdapat di tempat kerja atau tempat tinggal mereka? Jangan-jangan mereka begitu sibuk sampai-sampai belum sempat membaca buku-buku yang mereka kumpulkan.

Membaca buku adalah satu hal, mengoleksi buku adalah hal lain. Sering orang bertanya, apakah buku-buku yang saya koleksi sudah saya baca semua? Semua? Biasanya saya menjawab bahwa sebagian besar sudah saya baca. Tidak mustahil ada buku yang sudah lama direkrut tapi terus terlupakan, bahkan masih terbungkus plastik, dan baru sempat terbaca ketika kita bersih-bersih lemari.

Saya berharap Ibu dan Bapak Polisi sudi meluangkan waktu buat mengindahkan hal-ihwal yang tersebut di atas daripada tergesa-gesa membuat narasi kerusuhan yang tidak meyakinkan.

Kalaupun harapan saya berlebihan, baiklah saya kembali menonton trilogi The Equalizer yang dibintangi oleh Denzel Washington. Di situ ada tokoh intel – atau tepatnya, mantan agen intelijen – yang suka mengoleksi dan membaca buku, mulai dari Don Quixote hingga The Old Man and the Sea. Dia seperti karakter cerita komik: sejenis pangeran penyeimbang yang sanggup membela orang-orang kecil dan lemah yang jadi korban ketidakadilan.

Mantan agen Robert McCall memang terbilang keren. Dia tersentuh oleh penderitaan remaja Teri yang jadi korban mafia. Di sela-sela kegiatan melaksanakan misinya, dia seperti pustakawan: memilih jalan sunyi dan meluangkan waktu buat membaca buku.

 

 

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//