Oase di Antara Gawat Darurat Sampah di Kota Bandung
Kota Bandung seakan berkejaran dengan lonjakan volume sampah. Dalam situasi itu, praktik-praktik baik memilah sampah di masyarakat tumbuh pelan tapi pasti.
Penulis Tim Redaksi29 September 2025
BandungBergerak - Tujuh tahun lalu Lio Genteng sempat distigma sebagai kampung preman, banyak pemuda mabuk dan anak-anak putus sekolah. Stigma itu kini memudar. Lio Genteng berganti muka menjadi kampung kota yang memberdayakan pemuda dan terbilang sukses melakukan pengelolaan sampah di kawasannya, di saat Kota Bandung didera masalah berulang darurat sampah.
Komunitas OneSix digagas di Lio Genteng pada penghujung 2023, ketika sistem persampahan di Kota Bandung ambruk akibat kebakaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat. OneSix hadir untuk memberdayakan orang muda yang mulanya tidak peduli dengan masalah lingkungan. Komunitas ini juga diniatkan untuk mengisi waktu luang orang-orang muda yang putus sekolah.
Salah satu penggerak Komunitas OneSix, Sandi Syarif menyebut, wadah ini dibentuk agar kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sampah tumbuh sejak dari rumah. Komunitas yang mayoritas diisi orang-orang muda ini berusaha melakukan perbaikan lingkungan dari level RT.
Komunitas OneSix memberdayakan pemuda untuk membudidayakan maggot dengan sampah organik yang dikumpulkan dari rumah-rumah warga. Setidaknya ada 100 ember khusus sampah organik yang disebar di berbagai titik. Sampah organik dikumpulkan setiap hari untuk pakan maggot. Setelah sukses mengolah sampah organik, OneSix menggagas bank sampah untuk menyelesaikan persoalan sampah anorganik.
“Minimal kita ada kegiatan yang memang selalu berlanjut gitu kan, pergerakan apapun itu ya harus diisi gitu,” ungkap Sandi saat ditemui BandungBergerak di Lio Genteng, Sabtu, 30 Agustus 2025. “Karena kemarin 2023 kita ada darurat sampah, dengan dorongan dari kelurahan, kita edukasi warga tentang pemilahan sampah.”
Menurutnya, sampah adalah permasalahan serius yang tidak akan ada ujungnya. Gerakan yang berupaya mengurangi rasio pembuangan sampah tercampur ke TPA sangat diperlukan dimulai dari level terkecil dengan metode utama pemilahan. Setelah dijalankan selama setahun, Sandi menilai, cara dan upaya ini cukup efektif. Meski tidak mudah dan banyak tantangannya.
Sebagian warga masih beranggapan memilah sampah adalah pekerjaan sia-sia. Belum lagi, sampah yang sudah terpilah tercampur kembali ketika diangkut oleh petugas. Meski begitu, edukasi yang konsisten dan pemilahan sampah terus dilakukan secara berkala, telah membuat OneSix memilah sampah sebanyak 41,5 ton dari akhir Agustus 2024 hingga Maret 2025.
Sandi mengatakan, salah satu sumber persoalan sampah sekaligus upaya membenahinya adalah membangun penyadaran warga dalam memilah sampah. Lio Genteng yang padat oleh 2.474 keluarga di balik riuhnya pasar loak Astanaanyar, terus berusaha menyelesaikan masalah ini.
“Enggak cukup sekali edukasi. Sampah pasti bakal selalu ada di mana-mana,” kata Sandi. “Tapi setelah kita selalu ada kegiatan atau pergerakan ya, Alhamdulillah sudah tidak ada lagi tumpukan-tumpukan sampah di Lio Genteng.”
Sandi membeberkan, pemilahan sampah adalah kebiasaan yang harus dilakukan terus-menerus, berkelanjutan. Lio Genteng turut berkolaborasi dan berjejaring dengan komunitas-komunitas lokal untuk pengolahan sampah organik maupun anorganik, di antaranya dengan River Clean Up, kampus ITB, maupun seniman dari ISBI.

Deru Mesin Insinerator
Sekitar 6 kilometer ke utara dari Kampung Lio Genteng, Astanaanyar, mesin besar bernama Jozef Incinerator S-3000 sibuk membakar sampah yang masuk ke TPS3R Taman Cibeunying. Per delapan jam tungku bakar ini mampu melumat tiga hingga empat ton sampah, masalah lingkungan yang tak pernah selesai di Kota Bandung.
TPS3R Taman Cibeunying terletak di ujung Jalan Taman Cibeunying Utara. Meski diklaim sebagai insinerator tanpa asap, tungku bakar ini masih mengeluarkan asap dan debu ketika dioperasikan. Cerobong pembuangan asap dari insinerator tampak terpasang di atap bangunan TPS. Dari dalam TPS memang asap pembakaran tidak begitu terasa, bau pembakaran hanya terhirup tipis. Namun jika dilihat dari luar asap putih tampak jelas keluar dari cerobong.
TPS3R Taman Cibeunying terbilang dekat dengan Gedung Sate di utara, satu deret dengan TPS berjajar banyak kios yang menjual onderdil motor, bengkel mobil, aksesoris antik, hingga penjual makanan. Setiap sore hingga malam kawasan ini digandrungi anak muda untuk nongkrong dan makan di tenda-tenda kuliner.
Operator insinerator TPS3R Taman Cibeunying Asep Komeng, 34 tahun, mengatakan Jozef Insinereator S-3000 dikinik Jozef, warga Cibaduyut. Pembuatan mesin bakar sampah ini disebut telah melalui riset sejak tahun 2005 dan diklaim tanpa asap. Mesin ini mulai dipasang di TPS3R Taman Cibeunying sejak Maret 2025.
“Sampahnya kebanyakan dari sampah warga. Tapi kan di sini dicamput juga dari resto. Bisa (dibakar), mau basah mau kering, terkecuali sampah B3,” ungkap Asep Komeng ketika ditemui BandungBergerak, Kamis, 4 September 2025.
Asep menerangkan, TPS3R Taman Cibeunying menerima sampah dari kawasan Cicadas, Sukamaju, Muararajeun, Cihapit, dan Cihaurgeulis. Kebanyakan sampah warga sudah terpilah, tidak ada lagi sampah organik. Kecuali sampah dari restoran maupun kafe yang belum terpilah.
Menurut Asep, selama ada insinerator setidaknya jumlah sampah yang dikirim ke TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat sedikit berkurang.
“Kalau habis semua enggak. Cuma mengurangi kan, Alhamdulillah bisa dikurangi, sudah ada insinerator yang tanpa asap kayak gini,” kata Asep.
Insinerator TPS3R Taman Cibeunying hanya mampu mengelola empat motor triseda pengangkut sampah dari total 36 triseda yang masuk setiap hari. Satu triseda berkapasitas 1 hingga 1,5 ton. Sisa sampah tetap dikirim ke TPA Sarimuksi setiap hari.
TPS3R Taman Cibeunying hanyalah salah satu dari TPS di Bandung yang menjalankan tungku bakar. TPS lain yang pernah menjalankan tungku bakar adalah TPS Pasirluyu. Nama mesinnya bernama Wisanggeni Waste Insinerator. Namun salah satu petugas di sana mengatakan, insinerator itu sudah dipindahkan ke TPS Ciwastra. Saat ini, insinerator yang beroperasi di TPS Pasirluyu adalah insinerator bekas dari TPS lain.
Petugas yang tidak bersedia menyebutkan namanya menyatakan, sebenarnya keberadaan insinerator tidak membantu banyak. Malahan, sampah semakin menumpuk. Pengelolaan insinerator juga terkendala masalah teknis, operasional, upah, dan lainnya.

Kontroversi Insinerator
Penggunaan insinerator cukup gencar di era Wali Kota Yana Mulyana. Langkah ini muncul bersamaan dengan berulangnya darurat sampah Kota Bandung yang dipicu kewalahannya tempat pembuangan sampah se-Bandung Raya, yaitu TPA Sarimukti.
Waktu itu, Wali Kota Yana Mulyana memberi karpet merah kepada perusahaan yang berafiliasi dengan ormas untuk mengelola insinerator di TPS Ciwastra dan TPS Pasirluyu. Langkah penggunaan insinerator dilanjutkan Wali Kota Bandung Muhamad Farhan. Bahkan tungku-tungku bakar yang diklaim berteknologi ini akan disiapkan di setiap kelurahan di Kota Bandung. Saat ini setidaknya sudah ada 7-9 unit insinerator yang sudah beroperasi. Beberapa di antaranya merupakan kerja sama dengan swasta, pengadaan APBD, hingga bantuan dari TNI.
Pemkot tengah menyiapkan tambahan 84 unit insinerator dengan proyeksi anggaran sekitar 117 miliar rupiah. Program insinerator juga datang dari pemerintah provinsi Jawa Barat. Kota Bandung akan menjadi kota dengan hibah insinerator terbanyak dari provinsi, yaitu sebanyak 43 unit. Rencana teranyar, Pemkot akan menaruh insinerator di TPS Kosambi awal 2026.
Kota Bandung terdiri dari 151 kelurahan yang tersebar di 30 kecamatan. Bisa dibayangkan jika masing-masing kelurahan memiliki insinerator, akan berapa banyak asap dan debu yang terbang ke lingkungan sekitar dan akhirnya menjadi polusi di langit Cekungan Bandung. Faktanya, emisi dari sampah akibat pembakaran maupun gas metana berkontribusi besar terhadap pemanasan global yang mendorong perubahan iklim.
Dari sisi regulasi pemerintah pusat, penggunaan insinerator secara serampangan dilarang. Menteri Lingkungan Hidup (KLH)/ Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, insinerator yang tidak ramah lingkungan lebih baik tidak dioperasionalkan.
Ia menjelaskan, pembakaran sampah dengan cara dibakar memiliki banyak kriteria yang harus memenuhi baku mutu emisi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal. Beberapa jenis emisi atau polusi yang harus sesuai baku mutu yaitu total partikulat, sulfur Dioksida, oksida nitrogen, hidrogen klorida, merkuri, karbon monoksida, hidrogen fluorida, dioksin, dan furan.
“Bila melampaui baku mutu, ada ancaman pidana,” kata Hanif, dalam acara Pembukaan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Expo dan Forum di JICC, Minggu, 22 Juni 2025.
Hanif meminta jajaran Dinas Lingkungan Hidup mengawasi penggunaan insinerator di wilayah masing-masing. Menurut Hanif, sampah lebih baik dikelola di level rumah tangga daripada dibakar.
Penggunaan insinerator di Bandung sebenarnya sudah lama ditentang oleh pegiat dan organisasi lingkungan. Tahun 2007-an di era Wali Kota Dada Rosada, Pemkot Bandung menggandeng swasta untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di sekitar Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Rencana ini muncul setelah Bandung dilanda krisis lautan sampah (Bandung Lautan Sampah) pascatragedi TPA Leuwigajah, Cimahi.
Tanggal 21 Februari 2005 dunia tercengang dengan peristiwa longsor gunung sampah TPA Leuwigajah, diawali ledakan gas metana. Sampah yang berasal dari kota-kota di Bandung Raya longsor pada malam hari di saat hujan dan menimpa kampung pemulung. Sebanyak 157 orang tewas. Tragedi ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) dan melahirkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Peristiwa tersebut memicu Bandung Lautan Sampah. Sampah menumpuk di pelbagai penjuru kota dan Pemkot Bandung kewalahan. Pemkot membutuhkan jalur instan untuk mengatasi tumpukan sampah sambil menunggu TPA pengganti Leuwigajah. PLTSa Gedebage dengan iming-iming ‘dari sampah menghasilkan listrik’ diharapkan menjadi solusi jitu. Namun pembangunan berkedok teknologi ramah lingkungan ini ditentang warga dan aktivis lingkungan.
Warga Kompleks Griya Cempaka Arum, Gedebage bersama aktivis menolak pembangunan PLTSa. Mereka khawatir dengan paparan asap dan debu karena lokasi PLTSa berdekatan dengan rumah-rumah. Di salah satu rangkaian aksi, tiga warga negara asing (WNA) yang hadir dalam aksi warga di Kompleks Griya Cempaka Arum sempat ditahan Polwiltabes Bandung. Mereka merupakan aktivis lingkungan dari LSM Global Alliance Incinerator Alternatives (GAIA) yang berbagi informasi seputar pengelolaan sampah di negara-negara asal mereka. Mereka diamankan 2 Desember 2007 (detik.com, diakses Rabu, 24 September 2025)
"Mereka hanya berbagi informasi saja mengenai berbahayanya incinerator untuk pengolahan sampah. Tidak melakukan provokasi untuk menggulingkan walikota," tegas Yuyun Ismawati, aktivis GAIA Indonesia yang turut juga diperiksa, kepada detikcom.
Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur pengelolaan, pengawasan, dan penanggulangan potensi pencemaran yang berasal dari asap dan abu pembakaran (fly ash and bottom ash). Jargon “pembakaran sampah ramah lingkungan”, “waste to energy”, seperti yang kerap digembar-gemborkan pemerintah juga tidak tepat.
“Polusi akan menurunkan kualitas udara, dan potensi dari abu sisa pembakaran yang mengendap,” ungkap Direktur Eksektuf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat tahun 2023, Meiki W. Paendong.
Tahun 2021, Walhi Jabar menerbitkan hasil observasi penggunaan insinerator se-Bandung Raya. Disimpulkan, insinerator di kawasan Cekungan Bandung membakar sampah tercampur yang menghasilkan asap emisi gas buang. Juga diketahui bahwa pengoperasian insenerator skala kecil tidak efisien dan berbiaya tinggi, karena membutuhkan bahan bakar solar, gas elpiji, dan listrik.
Walhi Jabar menyatakan, penggunaan insinerator sebagai solusi penanganan sampah perlu ditinjau kembali. Apakah efektif, efisien, dan berdampak baik bagi lingkungan dan masyarakat. Jika dibiarkan, dikhawatirkan akan muncul pihak-pihak lain yang menerapkan hal yang sama. Insinerator akan digunakan di mana-mana. Penurunan kualitas udara di Bandung menjadi-jadi.
Meiki menjelaskan, emisi gas dari pembakaran sampah akan membentuk selubung di atmosfer sehingga energi panas yang harusnya dikeluarkan justru terperangkap dan kembali ke bumi. Inilah yang menyebabkan perubahan iklim dan kenaikan suhu. Selain itu, membakar sampah baik dengan insinerator maupun cara biasa menghasilkan cemaran mikroplastik ke udara.
Pembakaran sampah menghasilkan bahan-bahan kimia berbahaya seperti dioksin, polychlorinated biphenyls (PCBs), polybrominated diphenyl ethers (PBDEs), short-chain chlorinated paraffins (SCCPs), dan perfluorooctane sulfonate (PFOS). Abu sisa pembakaran bisa mengontaminasi air sumur dua kali lipat melebihi baku mutu air minum dan sanitasi air.
Ditambah lagi, abu hasil pembakaran sampah, baik yang terbang ke udara maupun mengendap di tanah (FABA), akan menyebabkan penyakit. Gejala ringan yang timbul seperti gatal dan ruam-ruam. Sedangkan gejala parahnya bisa mengganggu genetik dan kromosom janin.
Pengajar dan peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri menjelaskan, komponen utama yang harus ada di insinerator adalah pembakar dan pengendali pencemaran. Ada juga insinerator yang lebih canggih yang bisa menghasilkan listrik. Faktanya, mayoritas insinerator di Indonesia belum baik.
“Pada umumnya insinerator yang dibuat di Indonesia itu masih sekelas bajaj,” ungkap Enri, dihubungi BandungBergerak.id, Senin, 13 Maret 2023. “Tidak ada pengendali pencemaran udara, teknologinya hanya bisa membakar.”
Enri mengkhawatirkan fenomena insinerator yang dipakai saat ini sebenarnya hanyalah penerapan teknologi lama. Ini melulu pembakaran sampah yang dipercantik dengan baja dan diberikan cerobong. Pengendalian komponen-komponen berbahaya kasat mata yang terkandung di dalam asap, dinomorduakan.

Kerap Pindah Haluan
Dua dekade setelah tragedi TPA Leuwigajah, darurat sampah di Kota Bandung terus berulang dengan alasan yang sama: kapasitas TPA Sarimukti berlebih (overload). Ada juga alasan teknis, seperti landasan menuju TPA licin sehingga menyebabkan antrean panjang bagi truk-truk sampah.
Tahun 2023 lalu, darurat sampah terjadi tiga kali, awal tahun, pertengahan, dan puncaknya terjadi Agustus yang bikin sistem persampahan kolaps karena terbakarnya TPA Sarimukti. Pemkot Bandung sempat menghidupkan kembali TPA Darurat Cicabe, TPA sementara yang dulu sempat dimanfaatkan ketika tragedi TPA Leuwigajah. Namun ketika TPA Cicabe baru dua pekan berjalan, masyarakat ramai menolak reaktivasi ini. Pemkot Bandung dinilai tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Pemkot Bandung kemudian mengumumkan situasi darurat sampah selama empat bulan. Sampah menumpuk di banyak titik di TPS-TPS maupun di jalanan. Kebakaran TPA Sarimukti kembali membuka bobrok pengelolaan sampah serta mengungkap fakta ketergantungan Kota Bandung pada TPA. Jika dirunut sejak musibah TPA Leuwigajah, praktis masalah pengelolaan sampah tak kunjung berubah.
Pemerintah menerapkan berbagai pendekatan untuk mengurai benang kusut persoalan sampah. Selain insinerator yang membahayakan lingkungan, pendekatan lainnya yang juga kontroversial adalah pembuatan pelet sampah bernama refused derive fuel (RDF). Teknologi RDF dijalankan di TPST Cicukang Holis. Teknologi ini ditentang oleh masyarakat sipil dan aktivis lingkungan karena dinilai tidak menyentuh akar persoalan sampah. Pelet RDF ujung-ujungnya akan dibakar dan menghasilkan asap dan polusi.
Pendekatan memilah sampah bernama Kurangi Pisahkan dan Manfaatkan (Kang Pisman) sempat menjadi primadona. Wali Kota Oded M Danial (alm) yang menggagas program ini dan diintegrasikan dengan Buruan Sae. Melalui pendekatan ini, masyarakat didorong untuk mengurangi timbulan dan melakukan pemilahan sampah sejak dari sumber. Banyak kawasan yang mengadopsi sistem ini dengan penerapan Kawasan Bebas Sampah (KBS). Meski hanya beberapa yang konsisten.
Perkembangan KBS cukup lambat karena memerlukan edukasi dan sosialisasi yang gencar dan berkelanjutan. Ini berkaitan dengan konsistensi masyarakat dan pelaku usaha untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri. Beberapa kelurahan seperti Neglasari dan Sukaluyu misalnya, beruntung sudah memiliki sistem dan ketegasan. Beberapa kawasan lainnya masih lemah dalam penerapan pemilahan sampah.
Lemahnya penerapan pemilahan sampah ini dikhawatirkan akan semakin pudar dengan diterapkannya metode pembakaran di insinerator atau tungku-tungku bakar di setiap kelurahan di Kota Bandung. Dalam praktiknya di lapangan, insinerator melahap seluruh jenis sampah tanpa pemilahan. Cara ini dipandang akan membuat semangat masyarakat memilah sampah menurun.
Tantangan Eksternal dan Internal
Koordinator Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) dan Direktur Executive YPBB, David Sutasurya menerangkan, Kota Bandung menghadapi tantangan eksternal dan internal terkait penyelesaian persoalan sampah. Tantangan terbesar di eksternal adalah krisis TPA: ketergantungan Kota Bandung pada TPA regional, sementara satu-satunya TPA, yaitu Sarimukti kapasitasnya sudah hampir penuh.
Darurat sampah di Bandung berkali-kali terjadi karena alasan ini, TPA Sarimukti sudah kelebihan kapasitas sehingga ritase pengambilan sampah di TPS dikurangi. Meski pemerintah provinsi sudah berhasil melakukan perluasan di TPA Sarimukti, David mengimbau, jika pengelolaan sampah masih dilakukan seperti biasa, perluasan itu tidak akan berarti apa-apa.
“Kita perkirakan kalau sistemnya model bisnis as usual, yang saat ini berjalan dengan enggak ada perubahan, kita akan paling hanya bertahan sampai tahun depan,” ungkap David, Rabu, 17 September 2025.
Di sisi lain, pemprov Jabar berusaha mengoperasikan TPA Legok Nangka yang sudah dibangun sejak 10 tahun lalu. Pemerintah merencanakan pendekatan Waste to Energy (WTE) melalui skema kerja sama pemerintah dengan swasta. David mengatakan, pemerintah mesti melakukan skema ini dengan kehati-hatian tinggi. Skema kerja sama dengan swasta bukan proses yang sederhana, mudah, dan cenderung panjang.
Pemerintah menggandeng perusahaan Jepang, Sumitomo untuk penerapan WTE di TPA Legok Nangka. David memperkirakan, TPA Legok Nangka paling cepat baru beroperasi pada kuartal 3 tahun 2029. Itu pun jika waktunya tidak diundur.
“Saya sudah mengingatkan ke Pemkot Bandung, kalau pemerintah provinsi menjanjikan kuartal 3 2029, kita harus punya skenario dengan TPA Sarimukti untuk 2030 gitu. Karena harus ada waktu, belum tentu akan tepat waktu. Nah, jadi kalau kita dengan bisnis as usual saat ini 2026 sudah penuh atau awal 2027 sudah penuh. Kita bisa punya waktu 2 tahun tanpa TPA. Ya, kita bisa kebayang Kota Bandung seminggu enggak ada TPA aja sudah kelimpungan,” jelas David.
Di saat yang sama, kuota ritase pengiriman sampah pun terus diturunkan oleh pemerintah provinsi. Jika pengurangan produksi sampah tidak dilakukan dari sekarang, kapasitas TPA akan penuh lebih cepat. Masalah sampah masih akan berputar di lingkaran yang sama.
“Jadi tantangan yang lebih di depan mata lagi adalah kuota yang terus-menerus akan dikurangi. Ini tantangan eksternal yang dihadapi, mau enggak mau harus disikapi,” kata David. “Harusnya mulai dengan pendekatan yang lebih saintifik berdasarkan pemahaman yang benar bahwa mau enggak mau harus terpilih di sumber. Dan harus dibangun kapasitasnya.”
Sementara tantangan internal, di antaranya adalah penanganan sampah yang masih terjebak perbedaan pendekatan, bukan berbasis pendekatan ilmiah. David menilai, pemerintah kota telah kehilangan momentum untuk “memaksa” perubahan perilaku masyarakat ketika darurat sampah. Darurat sampah adalah kesempatan emas bagi pemerintah membuat kebijakan yang mengikat dan masyarakat harus mengubah perilakunya terhadap sampah. Di masa darurat sampah waktu itu, masyarakat dilarang membuang sampah organik. Hanya sampah anorganik yang diangkut.
“Pada kondisi darurat kita bisa melakukan itu, memaksa masyarakat berubah. Karena ini masalah perilaku yang harus diubah dengan sesuatu kebijakan dan juga momentum. Tapi pemerintahnya kurang berani untuk ngambil keputusan yang harusnya di masa-masa darurat harus keputusan yang berani kan?” ungkapnya.
Berkaitan dengan pendekatan Pemkot Bandung di bawah pimpinan Muhammad Farhan yang akan menyelesaikan masalah sampah dengan insineretor, David menekankan bahwa teknologi ini tidak boleh menjadi pendekatan utama. Karena ini adalah pendekatan yang akan membuat masyarakat tergantung pada satu teknologi dalam jangka panjang. Kementerian Lingkungan Hidup melalui UU Lingkungan Hidup juga disebut akan melakukan penegakan hukum yang lebih ketat untuk penerapan insinerator.
David menyebut, insinerator skala kecil yang diterapkan di Bandung lebih tepat disebut sebagai tungku bakar. Di samping itu, Permen LHK juga mengatur pendekatan pembakaran (thermal) untuk sampah diwajibkan melalui tahapan pemilahan terlebih dulu. Material pvc, misalnya, tidak boleh dibakar sebab akan menghasilkan dioksin. Demikian pula bahan-bahan lain yang mengandung klorin.
“Ini juga pasti akan sulit untuk dipilah. Pertanyaannya gimana mereka bisa memenuhi standar (Permen LH) itu juga jadi PR. Karena sekarang kalau kita nanya insinerator, apakah sudah ngukur dioksin? Kebanyakan belum. Kebanyakan ngukur parameter-parameter yang ya sebetulnya enggak terlalu, bukan bagian paling berbahaya dari sampah,” tegasnya.
Ia menegaskan, untuk mengurai persoalan sampah, masyarakat dan pemerintah perlu kembali pada skenario darurat sampah. Pemerintah perlu menegakkan perda dan melakukan percepatan terhadap pengelolaan sampah di kawasan berpengelola dan kawasan yang tidak berpengelola. Selain terus menggalakkan pendekatan yang paling mudah, yaitu pengurangan sampah organik.
“Kita hilangkan dari TPA (sampah organiknya). (Cara) itu diperkirakan akan bisa membuat kita manjang sampai 2028 atau awal 2029,” katanya.
Pemkot harus mengutamakan pendekatan yang membangkitkan kesacaran publik dalam memilah sampah. Pemkot harus berani menyatakan bahwa saat ini Bandung terancam darurat sampah.
“Sehingga kita harus melakukan langkah-langkah segera,” tandasnya.
Baca Juga: Peran Pecinta Alam dalam Mengurangi Pemanasan Global
Kode Merah Dampak Pemanasan Global di Indonesia dan Dunia
Pemilahan Sampah Warga Sudah Baik
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung Darto menerangkan, kini produksi sampah masih mencapai 1.500 ton perhari. Setelah darurat sampah berulang, dengan upaya penanganan terfokus dilakukan mulai Juni hingga Agustus lalu, sebagian timbulan sampah diklaim sudah tertangani dengan baik.
“Namun belum selesai. Jadi isunya secara statistik sudah turun dari peringkat nomor 1 ke peringkat nomor 3. Namun demikian, meskipun isunya sudah turun itu tetap belum selesai dan kita akan terus melakukan upaya penanganan sebaik mungkin, sehingga di akhir tahun 2025 nanti targetnya sudah tidak ada lagi tumpukan sampah yang tidak bisa terkelola di Kota Bandung,” ungkapnya kepada BandungBergerak melalui sambungan telepon, Selasa, 16 September 2025.
Darto membeberkan, Kota Bandung masih memiliki pekerjaan rumah sejumlah timbulan sampah yang masih belum bisa diolah, sementara ritase pengiriman sampah ke TPA Sarimukti sudah dikurangi. Kota Bandung kini hanya bisa mengirimkan sampah ke TPA Sarimukti perharinya sekitar sebanyak 980 ton. Artinya, 520 ton timbulan sampah sudah harus bisa ditangani, baik dengan pengurangan sejak dari sumber, maupun pengolahan organik dan anorganik.
Pemkot Bandung sejak awal tahun juga mencanangkan insinerator sebagai pendekatan pengolahan sampah di TPS-TPS. Darto membeberkan, tahun 2025 pemerintah merencanakan tujuh insinerator. Namun baru satu yang terwujud, yaitu di TPS Motah di kawasan Bandung Kulon.
“Baru tergelar satu. Enamnya itu dalam proses pengadaan barang-jasa dan proses persiapan-persiapan lainnya,” ungkapnya.
Darto menerangkan, meski pemerintah akan menaruh insinerator di TPS-TPS, perilaku pemilahan sampah harus terus dijalankan. Ia membeberkan, salah satu persoalan dari pemilahan adalah petugas pengumpul sampah yang sebagiannya bukan dari DLHK. Kondisi ini disebut menjadi sebab masih adanya sampah yang tercampur ketika pengangkutan.
“Petugas pengumpul sampah dari rumah tangga ke TPS itu tidak hanya dilakukan oleh DLH, tapi oleh vendor-vendor kompleks misalnya yang juga berpartisipasi. Nah, itu kadang-kadang masih ada setelah dipilah oleh rumah tangga itu masih dicampur di truk yang pengangkut itu. Itu kira-kira yang terjadi. Namun demikian, sebenarnya pemilahan sudah berjalan dan terus akan digalakkan dan itu sudah menggembirakan kondisinya,” paparnya.
Inisiatif dari Warga
Setidaknya sudah ada 466 RW dari total lebih dari 1.500 RW di Kota Bandung yang menjadi Kawasan Bebas Sampah (KBS). Neglasari dan Sukaluyu merupakan dua kelurahan yang sudah lama menjalankan konsep KBS melalui penerapan pemilahan sampah di kawasan. Satu dekade lamanya.
Awalnya memang butuh pembiasaan. Tapi setelah konsisten dan terbiasa, tak terasa Widi, 53 tahun, warga RW 05 Neglasari, sudah sembilan tahun mempraktikkan pemilahan dan pengolahan sampah organik. Atas pengalaman pribadinya itu ia aktif mengajak warga untuk memilah sampah. Ia merasakan betul dampak dari praktik memilah yang secara signifikan mampu mengurangi sampah rumah tangga.
“Ya awal mah ribet tapi pelan-pelan ibu belajar. Sekarang sudah terbiasa. Jadi kadang ada bekas minuman oh ini wadahnya ke sini, kalau sampah residu itu di umum ya di depan, kalau yang untuk sampah basah di loseda (lodong sesa dapur). Justru sekarang ibu jadi enggak terlalu banyak sampah numpuk,” kata Widi bangga, saat ditemui di rumahnya, Selasa, 4 Juni 2025 lalu.
Salah satu manfaat yang paling terasa ketika masa darurat sampah Bandung Raya di penghujung 2023 hingga pertengahan 2024 lalu. Widi tidak panik saat banyak warga mengeluh sampah menumpuk dan tak kunjung diangkut. Persoalan sampah sudah selesai di rumahnya dengan pemilahan dan sekitar 60 persen sampah organik diolah sendiri dengan berbagai metode.
Widi pertama kali memulai pemilahan sampah di tahun 2016. Pemerintah kelurahan memberikan ember kecil untuk memisahkan sampah organik dengan anorganik. Sampah “basah” dijemput petugas Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) di titik kumpul untuk dilakukan pengolahan. Dari sinilah ia mulai terbiasa memilah sampah organik dan anorganik. Sampah seperti botol-botol yang masih memiliki nilai dikumpulkan dan diberikan kepada petugas sebagai sedekah.
Beragam program pemerintah digulirkan untuk membiasakan pemilahan dan pengolahan sampah. Semuanya diikuti Widi. Mulai dari metode maggot, Kang Empos (karung kompos), hingga Loseda. Yang disebut paling terakhir dinilai sebagai metode paling efektif untuk mengolah sampah organik di rumah.
“Alhamdulillah setelah ada Loseda ibu mah sangat terbantu, tidak harus dibuang ke mang sampah. Ibu itu ada empat di depan, tinggal taruh buang aja. Efektif ini memang, pake paralon,” kata Widi.
Tim Edukasi Kang Pisman Kelurahan Neglasari, Wida, 40 tahun, menerangkan, setidaknya sudah 70 persen warga dari delapan RW di Kelurahan Neglasari, Kecamatan Cibeunying Kaler melakukan praktik pemilahan dan pengolahan sampah. 30 persen yang belum melakukan pemilahan adalah kos-kosan, warga yang notabenenya tidak menetap, sulit “diatur”, serta menghasilkan sampah lebih banyak dibandingkan rumah tangga.
Wida menerangkan, konsistensi bisa terwujud karena ada sistem yang dibangun. Warga didorong untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah sejak dari sumbernya. Dalam sepekan, pengambilan sampah dilakukan rata-rata dua hingga tiga kali. Petugas akan mengangkut sampah dari 15 titik kumpul yang tersebar di Kelurahan Neglasari.
“(Sampah) enggak tercampur karena petugas difasilitasi ember organik yang ukuran 25 kg, ditukar-diambil, kayak sistem ngisi galon. Lalu residunya dipilah dulu sama petugas sampah. Nah, residunya yang benar-benar residu itu baru dibawa ke TPS,” jelas Wida saat ditemui di Hanggar Maggot Kelurahan Neglasari, Selasa, 3 Juni 2025.
Menurutnya, pemilahan sampah adalah solusi yang tepat untuk mengurangi jumlah pengiriman sampah ke TPA. Dengan memilah dan mengolah sampah organik saja, setiap rumah setidaknya sudah mengolah 60 persen dari total sampah. Tersisa 40 persen residu yang harus dikirimkan ke TPS. Kelurahan Neglasari mengklaim sudah berhasil memangkas setengah angka pengiriman sampah ke TPA.
“Misalkan dulu bisa satu bulan itu sampai dua ton gitu, sekarang kan udah di satu ton, udah setengahnya. Itu perbandingan dari sebelum memilah ke memilah,” kata Wida.
Selain menerapkan sistem pengumpulan sampah yang terpisah, kelurahan Neglasari menyediakan fasilitas pengolahan sampah organik skala komunal. Beberapa di antaranya adalah bata trawang sebanyak 31 unit, hanggar maggot seluas 11x11 meter, loseda di sejumlah titik, organik tower garden (OTG), rumah daun, dan drum komposter (jadi pupuk cair).
Selain Neglasari yang sudah lama mempraktikkan pemilahan dan pengolahan sampah, adapula RW 09 Sukaluyu. Kawasan Bebas Sampah (KBS) Sapujagat memulai praktiknya pada 2015. Inisiatif ini dimulai atas rasa jengah dengan sistem pengelolaan sampah jadul: kumpul-angkut-buang.
Ketua RW 09 Sukaluyu, Iwan Poernawan Arifin, 62 tahun, membeberkan sekitar tahun 2015, pihaknya diberikan hibah tempat sampah yang disebarkan di 16 titik. Sayangnya, pemberian fasilitas ini jauh panggang dari api.
“Ternyata tidak menyelesaikan masalah tuh ada tempat sampah. Malah timbulan sampah tidak terkendali,” kata Iwan saat ditemui di Taman Lansia Jalaprang, Selasa, 3 Juni 2025 lalu.
Dari sana, mulailah RW 09 menjalin kerja sama dengan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) yang tengah mencari kawasan untuk dijadikan model program KBS. Uji coba dimulai dengan pemilahan sampah individual. Mulanya hanya dilakukan oleh pengurus RW. Ini dilakukan untuk menguji sejauh mana manfaat pengelolaan sampah di kawasan.
Setelah merasakan manfaat praktik pengelolaan sampah, barulah kemudian para pengurus gencar mengedukasi. Masyarakat didorong untuk membiasakan diri melakukan pemilahan dan mengolah sampah dari rumah. Salah satu manfaat yang dirasakan adalah pengurangan jumlah pengiriman sampah ke TPS Cihaurgeulis.
“Dari awalnya setiap hari buang sampah ke TPS, berubah ke tiga kali sepekan, baru sekarang (berkurang) dua kali sepekan. Sekarang sudah 100 persen kita kelola sampah organiknya. Alhamdulillah sistem berjalan gitu,” katanya meyakinkan.
Sampah organik selesai ditangani di kawasan ini, sampah anorganiknya yang masih punya nilai jual di sedekahkan ke petugas sampah. Iwan juga menyebut, saat ini sudah 88 persen warga RW 09 Sukaluyu mempraktikkan pemilahan sampah. Sisanya yang belum memilah adalah kos-kosan. Pengambilan residu dilakukan setiap Selasa dan Jumat. Sampah organik diangkut setiap hari untuk diolah dengan maggot maupun komposter. Ia menegaskan, kunci dari konsistensi adalah edukasi berkelanjutan.
“Memang mengubah kebiasaan lama ke baru cenderung lebih susah. Makanya kita awali pemilahan individual dulu. Ya, setelah manfaatnya terasa kita langsung gencar edukasi melalui majelis taklim, melalui ibu-ibu arisan. Pokoknya setiap ada kumpul-kumpul komunitas kita masuk ke sana. Termasuk juga anak-anak sekolah kita edukasi,” terangnya.
Inisiatif Komunitas dan Kampus
Banyak pihak mencoba memberi solusi untuk persoalan sampah, termasuk komunitas maupun kampus. Di ujung timur Bandung, terdapat komunitas yang memberi layanan pengelolaan sampah Plastavfall Solution. Komunitas ini mencoba menggalakkan sirkular ekonomi sekaligus berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan sampah di Bandung Raya. Plastavfall Solution juga fokus pada edukasi pemilahan sampah, agar masalah dari hulu ke hilir bisa terselesaikan.
Plastavfall berawal di tahun 2016 dan dimasifkan gerakannya di tahun 2018. Mengahadapi masalah sampah, tentu perjalanannya tidak mudah dan berdinamika. Titik balik Plastavfall di tahun 2020 dengan berdirinya jasa layanan pengelolaan sampah berama Plastavfall Fair Management.
Pengurus Plastavfall, Nabila Salma menjelaskan, Plastavfall Fair Management membantu masyarakat memilah sampah secara lebih terorganisasi. Mulanya Plastavfall hanya fokus menerima sampah plastik untuk didaur ulang. Upayanya kemudian diperluas dengan bank sampah yang fokus pada sampah anorganik yang bisa didaur ulang.
Terkini, Plastavfall sudah menerima berbagai jenis sampah, termasuk sampah organik yang diolah dengan maggot dan komposter. Sampah kertas didaur ulang menjadi produk seperti poster, sementara plastik didaur ulang menjadi produk seperti gantungan kunci. Sisa sampah residu yang tidak bisa lagi dikelola, seperti styrofoam, kain, beberapa jenis plastik, sampah medis, dan B3 dikirimkan ke TPA.
“Alhamdulillah semakin membaik ya. Masyarakat di sini makin aware juga sedikit demi sedikit,” ungkap Nabila saat ditemui BandungBergerak.id di Layung Coffe, Minggu 31 Agustus 2025.
Nabila mengaku, kebiasaan masyarakat terhadap sampah sudah cukup terasa perubahanna setelah program Plastavfall berjalan semala tujuh tahun. Plastavfall terletak di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Meski terletak di Kawasan Bandung Timur, komunitas ini melayani juga klien dari wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Cimahi. Data dari Plastavfall hingga penghujung 2024, komunitas ini telah mengelola sampah anorganik daur ulang sebanyak 144,5 ton dan organik sebanyak 124,8 ton.
Angka itu berasal dari 21.000 penerima manfaat dari lebih dari 3.400 tempat di Bandung Raya yang ditangani Plastavfall. Selama berkegiatan, Plastavfall Solution juga mengklaim sudah mencegah 49.000 m3 gas metan dan 506, 59 ton gas karbondioksida terlepas secara bebas di udara. Dua zat yang disebutkan itu merupakan pendorong memburuknya perubahan iklim.
Plastavfall Solution kerap kali menyosialisasikan pengelolaan sampah dan program bank sampah di berbagai acara yang bertemakan lingkungan, ke sekolah-sekolah, serta rutin memberikan informasi dan edukasi lewat media sosial Instagram @plastavfallbank.
Itu di tataran komunitas. Sebenarnya ada banyak komunitas lain di Kota Bandung maupun di Bandung Raya yang berupaya menyelesaikan persoalan sampah, sekaligus mengedukasi masyarakat. Universitas sebagai sarana pendidikan juga tak ketinggalan mengambil bagian. Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Telkom (Tel-U) menjalankan praktik pemilahan dan pengelolaan sampah dari sumber, juga mengakrabi edukasi perilaku pengelolaan sampah terhadap mahasiswanya.
Jika merujuk Open Data Kota Bandung, produksi sampah harian menunjukkan laju penurunan. Rata-rata produksi sampah harian di tahun 2019 sebanyak 1.752,59 ton. Angka ini turun di tahun 2020 menjadi 1.735.99 ton per harinya, 1.655,28 ton per hari di tahun 2021, lalu turun drastis di tahun 2022 menjadi 1.594,18 ton per hari. Di tahun 2023 produksi sampah harian kembali meningkat mencapai 1.606,76 ton per hari.
Open Data Kota Bandung juga merinci jenis-jenis sampah. Sampah sisa makanan berada di urutan pertama sebesar 716,51 ton per hari. Diikuti dengan sampah plastik sebanyak 268,83 ton dan sampah kertas 211,2 ton. Sisanya merupakan sampah lainnya yang tidak masuk kategori mana pun, lalu limbah B3, kain, kayu dan ranting, karet dan kulit, serta logam.
Pemilahan Sampah Adalah Kunci Pertama dan Utama
Inisiatif dari berbagai pihak, baik warga, komunitas, maupun kampus yang sudah konsisten memilah sampah harus berhadapan dengan tantangan besar. Praktik pemilahan sampah skalanya harus diperluas dan konsistensi dijalankan terus menerus. Salah satu kendala utamanya adalah penegakan aturan yang tidak tegas terhadap kewajiban memilah sampah.
Koordinator Sub-divisi Zero Waste Cities YPBB Ratna Ayu Wulandari mengungkapkan, saat ini pemilahan masih berdasarkan sosialisasi dan edukasi dari tim kelurahan maupun DLH, sementara aspek regulasi belum ditegakkan.
“Jadi sebenarnya tetap butuh ada aspek penegakan aturan untuk misalnya warga yang memang mungkin belum memilah,” kata Ayu ketika dihubungi BandungBergerak.id, Rabu, 4 Juni 2025 lalu.
Karena itulah, sebagian warga masih naik-turun dalam melakukan pemilahan sampah. Di samping terdapat beberapa kawasan yang sudah berani memberikan sanksi. Adapula yang tidak konsisten memilah karena belum adanya kejelasan sistem, artinya ada yang sudah memilah di rumah, tapi malah dicampur lagi ketika pengangkutan maupun ketika di tingkat TPS. Itulah mengapa edukasi kepada warga dan petugas sampah di tiap tingkatan harus saling terkoneksi untuk memastikan sistem pengelolaan sampah.
Menanggapi wacana Pemkot Bandung yang menggulirkan program penerapan insinerator, Ayu menyatakan apa pun teknologi yang dipakai, pemilahan sampah adalah kunci utamanya. Hal ini bisa dicontoh pula dari negara maju yang mengolah sampah dengan teknologi tertentu, tetapi tetap mendahului pemilahan sampah dari sumbernya.
“Apapun teknologi yang dipakai untuk pengelolaan sampah, kuncinya adalah di pemilahan,” tegasnya.
Pembangunan insinerator oleh pemerintah kota juga memunculkan kekhawatiran akan mengendurkan motivasi warga untuk memilah. Jangan-jangan nanti sudah dibangun insinerator, masyarakat jadi merasa tidak perlu memilah lagi. Sebaliknya, jika pemilahan dilakukan dengan baik kemungkinan besar insinerator tidak lagi dibutuhkan.
Untuk memperluas praktik pemilahan, pendekatan berbasis sistem kelurahan dinilai lebih efektif dibanding hanya bertumpu pada inisiatif RW. Sesuai dengan amanat perda, pengelolaan sampah berbasis kawasan pemukiman merupakan tanggung jawab pemerintah paling bawah, yaitu kelurahan.
“Kalau mau tuntaskan menjadi skala kota, harusnya 2025 ini Bandung jadi kota bebas sampah. Jadi harus sistem di kelurahan yang dibenahi, bukan lagi per RW,” kata Ayu.
Menurutnya, sistem yang berjalan baik di kelurahan akan memungkinkan replikasi yang lebih cepat dan merata. Ayu juga menegaskan, terdapat lima aspek dalam pemilahan, yaitu regulasi, operasional, pendanaan, partisipasi masyarakat, dan kelembagaan. Lima aspek ini tidak bisa berjalan masing-masing, tapi saling terkait dan memegang peranan penting dalam kesuksesan pemilahan sampah.
Lebih dari itu, aspek kelembagaan dari pemilahan sampah, yaitu sistem, harus mampu melampaui ketokohan. Cara ini diyakininya mampu mempertahankan konsistensi dalam pemilahan sampah.
“Jadi nanti setidaknya replikasinya itu ya tidak memperhatikan ketokohan-ketokohan, maksudnya dalam artian siapa ketua RW-nya, siapa lurahnya. Jadi siapa pun yang ada di situ, sistem (pemilahan) ini yang berjalan gitu,” papar Ayu.
*Reportase ini hasil liputan reporter BandungBergerak Awla Rajul dan Ryan D Apriliyana. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB