• Opini
  • Persoalan Anarko dan Lima Ancaman yang Lebih Berbahaya darinya

Persoalan Anarko dan Lima Ancaman yang Lebih Berbahaya darinya

Anarko menjadi berbahaya ketika mereka melakukan gerakan kekerasan sporadis yang merugikan rakyat. Tapi, ada ancaman yang jauh lebih berbahaya dari anarko.

Mansurni Abadi

Divisi riset NGO SMT Asia Pasifik/ Mahasiswa S2 Jurusan Komunikasi di Avondale University , Australia

Alarm untuk demokrasi. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

30 September 2025


BandungBergerak.id – Jika pada tahun 1965 kita patut mewaspadai komunisme, maka pada tahun 2025 kita harus mewaspadai gerakan yang bernama anarkisme dengan pengikutnya yang disebut anarko. Menurut keterangan dari pihak kepolisian, persoalan anarko berkontribusi besar terhadap banyak kerusuhan yang melanda Tanah Air pada akhir bulan Agustus hingga awal September, yang dampaknya bahkan terasa hingga kaki Gunung Himalaya.

“Mereka terbukti mendapatkan pendanaan asing melalui PayPal,” demikian keterangan pihak kepolisian di Kota Bandung di hadapan awak media, sembari memperlihatkan beragam bukti, mulai dari senjata hingga buku-buku yang isinya tidak dijelaskan oleh pihak kepolisian. Barang bukti ini diduga memicu demonstrasi yang berujung pada pembakaran kantor wakil rakyat, yang keputusannya seharusnya kita hormati semata-mata karena mereka mewakili kita dalam kemewahan.

Namun, sebagai rakyat jelata yang kebodohannya mendunia, sulit bagi kita untuk mencapai level kemewahan seperti mereka. Persoalan gaji dan tunjangan besar memang menyebalkan, tetapi perlu kita wajarkan karena kerja mereka, meskipun tidak jelas dan terbuka indikator kinerjanya, tetap membutuhkan modal besar untuk meraihnya. Sehingga, haram bagi mereka untuk mundur secara terhormat jika melakukan kesalahan.

Oleh karena itu, biarlah para wakil rakyat yang kita jumpai setiap lima tahun sekali itu mewakili kita dalam urusan kemewahan. Sebagai rakyat, cukuplah kita melihat harga pakaian yang mereka kenakan, yang telah diungkap oleh akun cabinetcouture_idn. Meskipun tidak semua wakil rakyat seperti itu, hampir semuanya demikian. Kembali ke persoalan anarko, yang secara objektif memang ada gerakannya. Namun, masalahnya kini justru mengarah pada metamorfosis yang menjadi stigma, seolah-olah menggantikan fobia terhadap komunisme dan radikalisme.

Saya menyebutnya metamorfosis fobia,  dari komunisme ke radikalisme, lalu menjadi anarko. Ini hampir sama dengan metamorfosis polarisasi, dari cebong versus kampret, bipang versus kadrun, hingga ke fase anak Abah versus ternak Mulyono. Ada kesamaan dari kedua metamorfosis ini, yaitu sama-sama dijadikan kambing hitam ketika terjadi gejolak. Pencarian kambing hitam memang sedang laris manis di Indonesia saat terjadi gejolak yang mengganggu stabilitas negara (baca: kepentingan penguasa). Namun, persoalan kambing hitam ini tidak perlu kita pusingkan. Menurut Eric Brahm, asisten profesor politik dari Universitas Nevada, kambing hitam selalu diperlukan dalam konflik sebagai mekanisme pertahanan psikologis. Lalu, siapa sebenarnya yang disebut anarko?

Baca Juga: Tiga Alasan Logis sebagai Rakyat untuk Menolak Militerisme
Naiknya Popularitas KDM dan Tiga Cara Menghindari Jebakan Populisnya
Tentang Punk, Dentangan Keras dengan Kontribusi Luas

Ciri-ciri Anarko

Seperti dijelaskan pada paragraf pembuka, anarko adalah mereka yang menganut dan mempraktikkan ideologi anarkisme. Anarkisme, yang selama ini dikenal sebagai kekacauan, sebenarnya merupakan ideologi, sebagaimana Pancasila, sosialisme, atau Jokowisme. Untuk ideologi terakhir, saya tidak mengetahui sebutan yang tepat untuk penganutnya, sebagaimana Marxis untuk Marxisme, kapitalis untuk kapitalisme, atau sosialis untuk sosialisme. Menurut saya, kurang pas jika penganut ideologi Jokowisme disebut dengan diksi “mania” karena terkesan seperti gerombolan penggemar yang berpotensi labil dan tidak memiliki internalisasi terhadap ideologi yang diyakininya.

Menurut laporan Lokataru pada tahun 2020 berjudul Kaos Hitam dan Paranoia Negara: Stigmatisasi dan Pelanggaran Hak Kelompok Anarko-Sindikalis, anarko dicirikan sebagai segerombolan orang yang berpakaian serba hitam, membawa bendera dengan simbol A atau bendera merah dan hitam, memiliki kebencian terhadap negara yang menurut mereka harus dibubarkan, serta menghalalkan penghancuran dalam setiap aksi massa alih-alih mendemonstrasikan secara damai.

Meskipun demikian, ada pula anarko yang lepas dari simbolisme serba hitam dan lebih fokus menjalankan proyek sosial positif, seperti pasar gratis, perpustakaan jalanan, dapur jalanan, rumah aman untuk gelandangan, atau ruang bebas uang. Namun, ini tidak bisa dijadikan patokan bahwa kelompok anarko berbahaya bagi penguasa. Dari sisi pemikiran, anarko jelas menolak eksistensi negara.

Menarik untuk membaca buku-buku tentang anarkisme di tengah paranoia negara, yang bahkan dibuktikan dengan penyitaan buku-buku anarkisme oleh kepolisian di Bandung sebagai barang bukti. Meskipun penyitaan ini dibenarkan dengan dua dalil yang menyalahkan buku sebelum dan sesudah diduga melanggar hukum, tindakan ini justru menguatkan bukti bahwa pemerintah masih terjebak pada fobia terhadap pemikiran kiri.

Secara tidak langsung, ini menegaskan pelarangan dan pengendalian terhadap pemikiran yang boleh dibaca, yang bertentangan dengan hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Penolakan anarko terhadap negara berangkat dari sifat negara yang sarat akan kontrol dan penaklukan (arki). Menurut Johann Most dalam esainya pada tahun 1888 berjudul Anarchy, negara selalu muncul sebagai perpanjangan tangan kaum kuat untuk menindas kaum lemah. Hingga hari ini, dalam bentuk apa pun, penindasan selalu menjadi tujuan negara.

Kontrol dan penaklukan menjadi alat kaum pemilik properti untuk terus-menerus menekan mereka yang tidak memiliki properti. Semakin barbar masyarakat, semakin keras dan terang-terangan cara mengontrol dan menaklukkan. Namun, semakin tinggi peradaban, semakin halus pula kecerdikan para penakluk dalam menyembunyikan perampasan kekuasaan tanpa melemahkan pelaksanaan kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, untuk mencapai pembebasan, arki perlu dilawan melalui anarki.

Perasaan muak terhadap entitas negara yang bersifat arki ini juga ditegaskan oleh banyak pemikir anarkis, termasuk dalam kata pengantar untuk karya Rudolf Rocker berjudul Anarko-Sindikalisme: Filsafat Radikal Kaum Pekerja (2020). Dalam buku ini disebutkan bahwa diperintah berarti diawasi, diperiksa, dimata-matai, diarahkan, diatur berdasarkan undang-undang, diberi nomor, didaftarkan, diindoktrinasi, diceramahi, dikendalikan, dinilai, diberi harga, dikecam, dan diperintah oleh makhluk yang tidak memiliki hak, kearifan, maupun kebajikan untuk melakukannya. Diperintah berarti setiap operasi dicatat, setiap transaksi didaftarkan, dihitung, dikenai pajak, dicap, diukur, diberi nomor, dinilai, diberi lisensi, dinasihati, dicegah, dilarang, direformasi, diperbaiki, dihukum. Dengan dalih kepentingan publik, rakyat harus memberi kontribusi, dilatih, ditipu, dieksploitasi, dimonopoli, diperas, diremas, dikaburkan, dan dirampok. Jika mereka melawan sekecil apa pun, hanya dengan mengeluh, mereka akan ditindas, didenda, difitnah, dilecehkan, diburu, dipukuli, dilucuti, diikat, dicekik, dipenjara, dihukum, dikutuk, ditembak, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati, diejek, dibodohi, ditertawakan, dimarahi, dan disakiti hatinya. Inilah pemerintahan; inilah bentuk keadilan dan moralitasnya.

Lalu, apakah anarko  seberbahaya itu? Jawabannya belum tentu.  Anarko menjadi berbahaya ketika mereka melakukan gerakan kekerasan sporadis yang merugikan rakyat. Namun, anarko juga bisa menjadi positif ketika terlibat dalam gerakan sipil dengan prinsip anarkisme yang progresif, taktis, dan inklusif. Akan tetapi, ada lima hal yang jauh lebih berbahaya daripada anarko.

Lima Hal yang Lebih Berbahaya daripada Anarko

Sekali lagi, anarko memang berbahaya, tetapi tidak seberbahaya lima hal berikut. Pertama, rakyat kehilangan atau kesulitan mengidentifikasi identitas, ideologi, dan situasi politiknya, ditambah dengan ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang semakin menunjukkan ketidakbecusan. Tanpa adanya anarko pun, persoalan ini akan menghancurkan kekuasaan rakyat, yang justru termanipulasi oleh elite. Kedua, rakyat kehilangan ruang argumen dan perdebatan di ruang publik karena aktor politik, baik pemerintah maupun lembaga politik, berkomunikasi dengan cara-cara pemasaran politik seperti iklan yang menawarkan produk tanpa substansi dan cenderung tidak berempati.

Ketiga, semakin kuatnya budaya dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di semua bidang, disertai dengan upaya pelemahan hukum, kriminalisasi, dan intimidasi terhadap mereka yang melawan praktik ini. Ketika budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin menguat, bukan tidak mungkin negara yang kita harapkan kuat selamanya ini rapuh dengan sendirinya, bukan karena ulah anarko. Keempat, menguatnya demokrasi liberal yang disertai dengan privatisasi dan intervensi modal asing, yang justru berdampak pada hilangnya kekayaan negeri. Sejak lama, negeri yang kaya ini menjadi hamba bagi kapitalis internasional.

Dari masa Tanam Paksa hingga saat ini, Indonesia hanyalah sapi perah yang membuat bangsa-bangsa Utara bersuka cita. Sumber daya alam dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua disalurkan ke luar, sementara penduduk aslinya didesak untuk pergi karena tempat mereka diubah menjadi kawasan pertambangan atau pengolahan.

Ironisnya, mereka yang dipinggirkan dari proses pembangunan semakin tak menentu nasibnya, menjadi paria di negeri sendiri. Ditambah lagi kerusakan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya, bekas pertambangan dibiarkan begitu saja, hutan semakin gundul, tanah longsor, dan banjir bandang merusak segalanya, termasuk manusia. Hal keempat ini jauh lebih berbahaya daripada anarko.

Kelima, masalah ekonomi yang tak kunjung terselesaikan, upah murah, harga barang naik, lapangan pekerjaan menyempit, dan badai PHK yang justru direspons pemerintah dengan kenaikan tunjangan wakil rakyat serta berbagai pajak yang mencekik. Setiap revolusi selalu dipicu oleh krisis ekonomi. Jika ekonomi dibiarkan memburuk, kesenjangan semakin melebar, sementara elite memamerkan kemewahan, hal ini jauh lebih berbahaya daripada segerombolan anarko.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//