• Opini
  • Naiknya Popularitas KDM dan Tiga Cara Menghindari Jebakan Populisnya

Naiknya Popularitas KDM dan Tiga Cara Menghindari Jebakan Populisnya

Jika kita ingin memiliki iklim demokrasi yang baik, apa pun yang berhubungan dengan populisme sudah seharusnya untuk dicurigai, diwaspadai, dan dilawan.

Mansurni Abadi

Divisi riset NGO SMT Asia Pasifik/ Mahasiswa S2 Jurusan Komunikasi di Avondale University , Australia

Media sosial, yang sekarang banyak digunakan oleh para pejabat, bukan teknologi netral. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

9 Juni 2025


BandungBergerak.id – Julukan “Jokowi dari Tanah Pasundan”, julukan yang diberikan beberapa netizen di sebuah unggahan Instagram yang menampilkan Dedy Mulyadi ­­atau akrab disapa KDM, gubernur Jawa barat periode 2025-2030, saat mengunjungi barak militer meninjau pelaksanaan program pembinaan siswa “nakal” atau bahasa halusnya “sulit dibina” di lingkungan militer. Program yang terbilang baru di Indonesia ini meskipun mendapatkan banyak pujian, namun sebenarnya menuai polemik apalagi basis ilmiah dari kebijakan itu dianggap dangkal. Berdasarkan pembacaan saya, misalnya terhadap beberapa artikel ilmiah yang mendekati pembahasan seputar korelasi antara intervensi militer terhadap  perilaku anak-anak seperti karya dari Sullivan et. al. (2015), Moore et. al. (2017), dan Gilreath et. al. (2022) justru mendapati potensi terjadinya perilaku mal-adaptif seperti mengglorifikasi kekerasan, kecemasan, kamuflase kedisiplinan, dan masalah emosional yang jauh lebih besar ketimbang dampak positifnya.  

Tapi dikarenakan kuatnya pembelaan terhadap KDM yang cenderung memuja, setiap pandangan dari pihak pro direspons secara denial. Labeling terhadap pihak pro yang hanya dianggap sebatas berteori dan memiliki rasa tidak suka dengan sosok KDM menjadi respons template yang sering saya jumpai. Dalam lanskap demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, memang  tidak ada yang salah dari pendapat yang diutarakan pihak dan pro apalagi kontra, tapi secara kualitas dari argumen pihak pro sudah selayaknya wajib dikoreksi agar terjadi dialektika yang sehat dan tidak bertendensi memaksakan pendapat.

Apalagi saat ini ada gejala kesatuan pendapat, jika ditelaah, fenomena ini dapat terjadi karena tiga kondisi. Pertama, adanya pembentukan opini yang sistematis. Kedua, adanya pembelaan yang reaksioner. Dan, ketiga, kuatnya pengaruh populisme. Untuk perihal populisme, KDM memang disinyalir sedang dalam upaya-upaya untuk membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang populis.

Pesona KDM memang sukses menciptakan kesan sebagai “pemimpin merakyat” yang solutif. Gaya blusukannya, penampilannya yang sederhana, dan dunia perkontenan yang digelutinya yang membuatnya dijuluki “Gubernur Konten” –meskipun kemudian dibantah olehnya, namun tidak menutup fakta jika ketiga kondisi berkelindan, pada akhirnya menciptakan fenomena populisme yang menempatkan dirinya seakan-seakan figur pemimpin tipe  ratu adil.

Bahkan Tempo sampai membuat laporan khusus bertajuk “Habis Mulyono Terbitlah Mulyadi”, mengulas strategi KDM membangun citra ala Jokowi. Tapi di balik pesona ini, ada pertanyaan besar, di antaranya apakah sepak terjang KDM sudah memenuhi kriteria pemimpin yang ideal berdasarkan logos (rasionalitas), ethos (integritas), dan pathos (kepedulian yang autentik) atau sebatas politik pencitraan? Untuk menjawab kedua pertanyaan tadi memang butuh refleksi kritis. Namun yang menjadi pembahasan utama dalam artikel adalah tentang bagaimana caranya agar kita sebagai rakyat biasa tidak terjebak pada populisme yang dibangun oleh penguasa.

Baca Juga: Yang Rusak Bukan Rumput, tapi Cara Pandangmu: Jalan Sesat Logika Dedi Mulyadi
Wayang Golek, Ki Dalang, Cepot, Kabayan, tapi Nyi Iteung-nya Mana Kang Dedi?
Permasalahan Mengelola Emosi dalam Kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi

Mencurigai Populisme KDM  dan Tiga Cara Mengatasinya

Jika kita ingin memiliki iklim demokrasi yang baik, apa pun yang berhubungan dengan populisme sudah seharusnya untuk dicurigai, diwaspadai, dan dilawan.

Pada dasarnya  populisme itu berwajah ganda. Artinya, di satu sisi kehadiran populisme seolah-olah akan membela dan bertindak atas nama kepentingan rakyat, namun di sisi lain, populisme justru membuka peluang terjadinya otoritarianisme gaya baru, memperkuat polarisasi dalam masyarakat, dan dilemahkannya demokrasi sebagaimana temuan Davide Vittori (2021) pada negara-negara dengan pemerintahan yang populis.

Oleh karena itu, kita sebagai rakyat perlu memiliki cara-cara agar tidak mudah terjebak dengan fenomena ataupun pesona yang populis. Setidaknya ada tiga cara untuk membentengi diri dari godaan populisme yang terkutuk.

Yang pertama, ingatlah sejarah populisme terdahulu dengan kemuakan. Sejarah bukan hanya persoalan bagaimana masa lalu dikisahkan dan dikaji kembali, namun juga pada bagaimana persoalan dan fenomena sejarah itu diingat, direnungkan, dan dihindarkan jika ending-nya fatal. 

Pada persoalan populisme, ingatan kita tentu masih segar terhadap sosok Jokowi yang dicitrakan merakyat, yang justru pada masa pemerintahannya kerap terjadi penyalahgunaan kekuasaan, penggembosan demokrasi, dan penindasan yang terstruktur. Belum lagi perihal KKN ditubuh kekuasaannya sendiri, yang tidak kunjung teratasi.

Hampir sama dengan KDM, citra Jokowi pada awal dan setelahnya memang dibangun lewat media dari mulai kemunculan lewat mobil Esemka, komitmennya untuk menyelesaikan masa jabatannya, pernyataannya untuk mengungkap kasus-kasus HAM berat, outfit-nya yang dinilai sederhana secara nominal, sampai adegannya masuk gorong-gorong yang kesemuanya ternyata palsu.

Jean Baudrillard dalam bukunya Simulation (1981) sudah memperingatkan tentang penciptaan realitas yang terlihat seolah-olah benar, tetapi tidak mengandung kebenaran yang sebenarnya. Dalam istilah simulacra, dunia perkontenan sangat erat dengan simulacra ini. Jika dalam konteks politik, segala yang palsu kita istilahkan dan sederhanakan dengan politik citra, yang sarat akan manipulasi terhadap permasalahan yang sebenarnya hanya untuk kepentingan politik praktis dan memperkuat hegemoni kekuasaan.

Untuk membongkar yang citra, kita perlu lebih kritis dan objektif menilai sepak terjang KDM ketika berhadapan dengan problematika rakyat. Sering kali KDM tersulut emosi saat berhadapan dengan rakyat seperti pada kejadian di Subang baru-baru ini. KDM yang saat itu tengah berada di sebuah forum rakyat mendadak emosi ketika segerombolan suporter Persikas membentangkan spanduk protes akuisisi terhadap klub sepakbola lokal, yang ironis setelahnya KDM disinyalir menggunakan kekuasaannya melalui aparat untuk menciduk peserta aksi.

Kedua, pahami  apa itu populisme. Ketidakpahaman kita terhadap populisme membuat kita menormalisasi terjadinya populisme. Bahkan turut terjebak di dalamnya, memahami apa itu populisme membuat kita mengetahui bahaya dari populisme itu sendiri.

Ada banyak definisi dan karakteristik populisme yang bisa kita cermati dari pembacaan dan diskusi terhadapnya. Salah satunya lewat buku yang saya rekomendasi untuk dibaca perihal populisme adalah karya dari Paul Taggart berjudul Populism, yang mengartikan populisme sebagai cara pandang politik yang memisahkan secara tegas antara “rakyat biasa” dan “elite”, dengan keyakinan bahwa kehendak rakyat sudah tercermin dalam sejati dari setiap keputusan yang diambilnya meskipun secara sepihak. 

Dampak dari populisme, dapat memunculkan kediktatoran. Jan-Werner Muller, dalam buku berjudul “What is Populism”, menjelaskan jika pemimpin populis berpotensi menggunakan klaim terhadap legitimasi moral ekslusif atas nama rakyat untuk menyingkirkan siapa pun yang dianggap bukan bagian dari "rakyat yang sesungguhnya”, yang dia rasa wakilkan dan sesuaikan dengan gambarannya.

Yang ketiga, tempatkan rasionalitas di atas simpati. Pada persoalan yang ketiga ini menarik untuk menyimak pemaparan dari Ferry Irwandi, pendiri Malaka Project dalam Kuliah Publik di Universitas Paramadina yang dapat kita simak di kanal Youtube Malaka Project. Ia menggarisbawahi jika kemenangan Prabowo bukan hanya ditentukan oleh kampanye yang menghibur, namun juga simpati publik –apalagi tiga kali kegagalannya sejak 2009. Di tengah budaya masyarakat  yang mudah bersimpati, memang ada peluang dari kekuasaan untuk memanfaat. Kita tentu masih ingat dengan adegan Prabowo menangis selepas debat, sampai penggalangan dana pada masa-masa kampanye Joko Widodo dahulu, kesemuanya  tidak lepas dari pengaruh simpati.

Simpati juga berkelindan dengan pengkultusan. Simpati yang pada akhirnya selalu membuat kita terperdaya pada tampilan, bahkan sebelum dan setelah pemilihan, tidak sedikit yang menempatkan dirinya  sebagai simpatisan dari si sosok pemimpin itu yang siap berhadapan dengan mereka yang menentang pemimpin yang dia pilih tadi.

Adanya budaya pengkultusan pada akhirnya membuat penentangan terhadap penguasa yang kita pilih itu sebagai persoalan yang tabu dan tidak pantas. Padahal idealnya sebagai rakyat biasa , kita harus bertindak sebagai pemilih yang rasional dan objektif di mana ada kesadaran untuk mengawasi dan menilai setiap langkah dari kebijakan pemimpin yang kita pilih. Oleh karena  itu penting untuk menaikkan level rasionalitas dan objektifitas di atas simpati. Apalagi elite berserta pionnya selalu memainkan politik bahasa dengan mengaitkan jabatan publik  dengan sosok orang tua seperti bunda atau bapak, dari sanalah  kemudian terbangun narasi yang  seolah-olah teologis yang berarti mengkritik atau memprotes pemimpin sama seperti melawan orang tua , yang sebenarnya tidak relevan diterapkan untuk berhadapan dengan penguasa yang mengurus publik.

Kita tidak perlu mengikuti pemimpin dengan prinsip “suwargo nunut, neroko katot”, diksi yang populer dalam konteks hubungan suami istri yang bisa kita koneksikan ke dalam kepatuhan terhadap pemimpin. Dalam konteks mewaspadai keterjebakan terhadap popularitas KDM, ketiga langkah itu penting untuk diterapkan agar kita tidak mengulang-ulang kesalahan yang sama.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//