Permasalahan Mengelola Emosi dalam Kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali viral setelah membentak pendukung Persikas yang menginterupsi acara Nganjang ka Warga di Subang.

Arip Apandi
Penulis Konten di salah satu media lokal Jawa Barat
4 Juni 2025
BandungBergerak.id – Kalau kita mau sedikit melihat ke luar, menginterupsi acara pejabat publik adalah fenomena yang jamak. Jadi, acara pejabatnya apa dan interupsinya apa adalah pemandangan yang banyak kita lihat, katakanlah, di Eropa. Silakan saja Anda cari contohnya di internet bagaimana acara-acara pejabat di negeri sana kerap diinterupsi oleh spanduk-spanduk yang diangkat para aktivis. Akhir-akhir ini, aktivis-aktivis yang nekat itu biasanya dari aktivis iklim dan pembela kemerdekaan Palestina.
Oleh karena itu, Dedi Mulyadi cukup beruntung karena ia menyandang pejabat publik di Indonesia, sebagai gubernur Jawa Barat khususnya. Pejabat publik yang akrab disapa KDM itu belum lama ini kembali viral setelah ia mengamuk terhadap penonton dalam acara Nganjang ka Warga yang digelar di Desa Sukamandijaya, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, pada Rabu, 28 Mei 2025, malam.
Saya tidak akan membicarakan penonton yang dinilai mengganggu acara, lebih khususnya permasalahan yang sedang dialami para penggemar Persikas. Pun saya tidak akan membicarakan acara itu sendiri, yang oleh Gubernur Dedi Mulyadi sebut sedang menanggapi "derita seorang ibu, yang memiliki 4 anak dan membiayai mereka hanya dengan memungut botol bekas tapi anaknya tumbuh dengan baik, dan suaminya menikah lagi dengan orang lain." Di sini saya ingin lebih banyak membicarakan bagaimana respons Gubernur Dedi Mulyadi terhadap peristiwa itu. Sementara itu, kronologinya bisa Anda cari tahu sendiri di media-media pemberitaan.
Baca Juga: Setumpuk Persoalan Jawa Barat Menanti Kerja Serius Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, dari Pemerataan Pendidikan hingga Pengangguran
Yang Rusak Bukan Rumput, tapi Cara Pandangmu: Jalan Sesat Logika Dedi Mulyadi
Wayang Golek, Ki Dalang, Cepot, Kabayan, tapi Nyi Iteung-nya Mana Kang Dedi?
Perbandingan
Saya membayangkan, apa jadinya kalau penonton yang mengangkat spanduk dan meneriakkan yel-yel itu adalah para aktivis yang menuntut pemerintah untuk bergerak mengatasi krisis iklim, ketimbang cuma ngonten kemiskinan warganya? Apakah Gubernur Dedi Mulyadi tetap akan menyebut mereka anak muda “enggak punya otak”, “enggak berpendidikan”?
Saya coba membandingkan (secara serampangan karena saya tidak yakin apakah ini apple-to-apple) peristiwa ini dengan peristiwa ketika, salah satunya, yang dialami Sir Keir Starmer –Ketua Partai Buruh dan Perdana Menteri Inggris– beberapa tahun lalu. Singkatnya, pada suatu hari Sir Keir Starmer sedang, sebutlah, kampanye janjinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak miskin. Namun, tiba-tiba pidatonya diinterupsi, kalau bukan diganggu, oleh aktivis iklim yang menuntutnya untuk tidak mengendurkan ambisi pengentasan iklimnya. Contoh lain, sekelompok aktivis iklim mendadak muncul dalam acara preview anggaran yang disampaikan Menteri Keuangan Australia, Jim Chalmers. Mereka secara terbuka menyerukan agar pemerintahnya segera menghentikan pendanaan proyek batu bara dan gas baru.
Yang menarik perhatian, tentu setidaknya perhatian saya, respons Perdana Menteri Sir Keir Starmer dan Menteri Keuangan Australia Jim Chalmers sangat santai. Terganggu? Tentu saja. Tapi, saya kira, mereka mengerti apa yang harus dilakukan untuk menanggapi "gangguan" tiba-tiba itu. Marah-marah? Tidak. Saat diinterupsi, Perdana Menteri Sir Keir Starmer bahkan meminta izin kepada para pemrotes untuk menyelesaikan pidatonya dan berjanji untuk menemui mereka setelah acara selesai. Sementara itu, Menteri Keuangan Australia Jim Chalmers bahkan berhenti sejenak untuk mendengarkan beberapa patah kata para aktivis iklim yang bahkan naik ke panggung dan kemudian menanggapinya dengan ucapan terima kasih. Jadi, saya pikir, kalau alasannya adalah "bukan forumnya" atau "waktunya tidak tepat" tidaklah bisa diterima, jika kita berkaca pada Sir Keir Starmer-Jim Chalmers.
Bagaimana dengan nasib mereka? Nasibnya sama seperti suporter Persikas, sama-sama diamankan. Hanya saja, aktivis-aktivis yang menyela Perdana Menteri Sir Keir Starmer dan Menteri Keuangan Australia Jim Chalmers itu tidak direndahkan.
Respons Gubernur Dedi Mulyadi dan Sir Keir Starmer-Jim Chalmers sangat berbeda. Menurut saya, Gubernur Dedi Mulyadi melihat mereka sebagai pembuat onar, sementara itu Sir Keir Starmer-Jim Chalmers melihat mereka sedang menyampaikan kegelisahan, bukan pelaku yang melakukan tindak pidana kriminal.
Dedi Mulyadi Marah
Heading di atas, "Dedi Mulyadi Marah", sebenarnya saya ambil dari rekomendasi mesin pencarian Google per hari Kamis, 29 Mei 2025, pada malam hari. Di beranda media sosial pun ramai unggahan menampilkan beliau sedang marah-marah pada penonton itu. "Ngaku anak muda, ngaku berpendidikan, punya otak kamu?" begitu kata Gubernur Dedi Mulyadi dengan nada tinggi yang diberi embel-embel "keluar maungna" oleh netizen. "Urusan Persikas bukan di sini, di lapangan! Dan bukan urusan saya!” tambah Gubernur Dedi Mulyadi. Dalam hal ini, respons Bupati Subang Reynaldi Putra Andita sangat bijak ketimbang pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi. Reynaldi Putra Andita menekankan bahwa Persikas memang bukanlah urusan pemerintah daerah (pemda), kendati begitu ia menyebut, "Akan membantu dengan cara saya, selama ini saya tidak diam." Respons yang sederhana dan bijak.
Begitulah seharusnya respons pejabat yang punya otak dan berpendidikan. Bukan ngamuk-ngamuk sambil merendahkan. Saya teringat pemikiran tentang pendidikan dari filsuf dan astronom Indonesia Karlina Supelli dalam konteks emosi. Meminjam pemikiran Ibu Karlina, apa yang sedang Gubernur Dedi Mulyadi tunjukan itu adalah "emosi mentah". Ngamuk-ngamuk adalah emosi mentah yang tidak diolah. "Seperti daging teronggok yang berdarah-darah," kata Ibu Karlina. Artinya, emosi mentah berupa ngamuk-ngamuk itu menjijikkan. Menurut Ibu Karlina, orang yang berpendidikan adalah mereka yang mampu mengolah emosinya secara indah.
Itulah yang saya lihat ketika melihat Gubernur Dedi Mulyadi menyemprot para penonton atau pendukung Persikas itu. Saya pikir, tak pantas seorang pejabat berbuat demikian sebab, selain tontonan, ia juga merupakan tuntunan. Seorang pemimpin, dalam pemikiran Plato, harus diliputi penuh oleh kebijaksanaan. Oleh karena itu, Gubernur Dedi Mulyadi juga harus merenungkan pernyataannya terhadap dirinya sendiri, sudahkah punya otak, sudahkah berpendidikan? Sejatinya, orang yang berotak dan berpendidikan mampu mengendalikan emosinya agar tidak meledak-ledak.
Kekhawatiran
Peristiwa ngamuk-ngamuk Gubernur Dedi Mulyadi itu, bagi saya, memberikan pesimisme dan kekhawatiran. Saya melihat ada redflag. Menanggapi keluh-kesah dengan aadatan sangat berbahaya dalam negara yang, konon katanya, menganut sistem demokrasi. Rasanya sulit untuk berdialog dengan orang-orang emosional, seperti diperagakan Gubernur Dedi Mulyadi. Padahal, citranya selama ini, katanya, pro rakyat Jawa Barat. Jangan lupa, suporter Persikas adalah rakyat Jawa Barat juga, terlepas dari apakah klub lokal itu milik pemda kek, milik pemprov kek atau swasta kek. Dan jangan lupakan juga pejabat itu bekerja dalam prinsip "memfasilitasi" dan "mengatasi" permasalahan rakyatnya. Sialnya, suporter Persikas itu kelompok minoritas.
Itulah permasalahannya, kelompok minoritas ini seakan tak punya suara. Kendati begitu, mereka punya hak-hak yang mesti dilayani pemerintah.
Padahal itu baru Persikas, bagaimana kalau suatu hari nanti ada kelompok-kelompok minoritas lain kembali "mengusik" forum-forumnya Gubernur Dedi Mulyadi? Apakah akan didengar? Atau justru malah dibentak-bentak seperti suporter Persikas? Apakah peristiwa Gubernur Dedi Mulyadi ngamuk-ngamuk kemarin bisa dinilai sebagai petanda bahwa dirinya sama seperti pejabat pada umumnya yang bodo amat terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan? Saya ragu untuk menjawab "Tidak" sambil menanti-nanti kelompok-kelompok minoritas lainnya (sebut saja salah dua, yakni pegiat iklim atau literasi) kembali "mengganggu" forum-forum lain Gubernur Dedi Mulyadi.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang Jawa Barat