• Opini
  • Tiga Alasan Logis sebagai Rakyat untuk Menolak Militerisme

Tiga Alasan Logis sebagai Rakyat untuk Menolak Militerisme

Tidak ada satu pun negara yang menjadi maju saat militernya menjadi dominan atau mengurusi urusan sipil.

Mansurni Abadi

Divisi riset NGO SMT Asia Pasifik/ Mahasiswa S2 Jurusan Komunikasi di Avondale University , Australia

Menggunakan instrumen militer untuk membina warga sipil adalah langkah mundur demokrasi. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

4 Juni 2025


BandungBergerak.id – Dolores, begitu kami memanggil perempuan asal Timor Leste  berusia 22 tahun yang sedang mengenyam pendidikan antropologi di tingkatan strata satu, pada kampus yang sama dengan penulis. Perawakannya yang kecil dengan rambutnya keriting padat dan berkulit hitam berpadu dengan aksen ketimuran, membuat dirinya sering dikira berasal dari NTT, oleh sesama orang Indonesia maupun Malaysia.

Apalagi di Malaysia, diaspora NTT cukup besar. Mereka juga dikenal sebagai kelompok diaspora yang terorganisir ke dalam satu kelompok persaudaraan bernama  Flabomorata Malaysia, yang berasal dari singkatan empat daerah utama di NTT yaitu  Flores,Sumba, Timor, dan Alor.

“Tapi saya walaupun bukan orang NTT karena mereka serumpun dan seagama (katolik) , saya juga kader Flabomorata,” ujar Dolores kepada kami.

Meskipun Dolores lahir selepas Timor Leste merdeka, ikatannya terhadap Indonesia begitu kuat, selain karena persoalan adanya separuh keluarganya yang memilih menetap di Indonesia dan masih kuatnya pengaruh budaya Indonesia di Timor Leste. Ada pula persoalan trauma sejarah yang menyelimutinya.  

Kala itu, tepatnya pada pertengahan bulan Februari, Dolores bersama dua rekan mahasiswi Timor Leste menyempatkan waktu untuk hadir pada acara kajian di kantin kampus yang saya buat bersama kawan-kawan diaspora pelajar dan buruh Indonesia di Malaysia. Acara tersebut untuk membahas situasi demokrasi di Indonesia serta apa yang mesti dilakukan diaspora Indonesia di Malaysia untuk turut serta dalam perjuangan rakyat di tanah air.

Pada bulan Februari 2025, demokrasi kita kembali digugat lewat intrik oleh para elite yang mewakilkan kita sembari  memberi sampah visual dan janji palsu setiap lima tahunan itu. “Indonesia Gelap” dan respons diaspora Indonesia di Malaysia , menjadi tema utama diskusi kami di sore itu

Yang menarik saat diskusi, Dolores memancing dialektika terhadap kemungkinan kembalinya Dwi Fungsi TNI kepada semua kawan-kawan Indonesia yang hadir pada ketika itu. Ia menceritakan dua kisah kepahitan keluarganya yang sempat menjadi tawanan perang karena diduga terkoneksi dengan Falintil (kelompok pro kemerdekaan Timor Leste dan kepergian adik laki-laki ibunya saat tragedi Santa Cruz pada bulan November 1991.

“Ibu saya punya adik, Jadi martir,  hilang hidupnya tertembak di kepala padahal sudah memohon ampun, Ibu saya basuh darah dia dan masih simpan kakak punya baju penuh noda darah sebagai pengingat kekejaman tentara Indonesia”, katanya dengan nada bergetar, yang kemudian dibalas oleh dengan cerita serupa dari seorang kawan buruh yang berasal dari Pidie, Aceh yang ternyata mengalami kejadian serupa saat operasi militer diadakan.

“Dolores, paman saya pun ditemukan terbunuh di perkebunan, kami coba cari keadilan seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Yang ada malah mendapat stigma dari aparat , katanya paman saya terlibat (pemberontakan GAM). Jadi  kita punya pengalaman yang sama sebagai korban kekerasan negara,” kata kawan Aceh merespons cerita  dari Dolores.

Cerita dari Dolores dan kawan buruh migran dari Aceh tentu tidak akan ada di pelajaran sejarah yang selalu meromantisasi angkatan bersenjata tanpa noda. Suara-suara mereka yang menjadi bagian dari keluarga korban merupakan suara pinggiran yang masih berhadapan dengan risiko pembungkaman.

Di satu sisi, kami yang masih meyakini reformasi yang melampaui sebatas momentum pergantian kekuasaan, tentu  sangat menolak apa pun alasannya untuk menghidupkan kembali Dwi Fungsi TNI yang dahulu dikenal sebagai ABRI karena merupakan pengkhianatan terhadap reformasi.

Baca Juga: RUU TNI, Penguatan Citra Mesianistis Militer, dan Kenapa Kita Harus Menolaknya
Militer di Ruang Siber, Langkah Strategis atau Ancaman bagi Kebebasan Digital?
Dari Taman Siswa ke Barak Militer, Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025

Dwi Fungsi TNI

Secara sederhana, Dwi Fungsi TNI berarti memberi legitimasi atau pembenaran terhadap peran ganda TNI. Selain di bidang keamanan dan pertahanan, TNI juga bisa masuk hingga ke ranah sipil sebagai penguasa. Masuknya TNI, selain merusak demokrasi yang menjunjung supremasi sipil, juga berpotensi mengembalikan Militerisme yang jarang disadari.

Penjelasan sederhana dari militerisme dan wanti-wanti  terhadapnya pernah tertuang dalam tulisan bernas berjudul “Mencegah Militerisme” di surat kabar Revolusioner pada tahun 1946 yang diterbitkan oleh pemuda Sosialis Indonesia. Di sana dijelaskan, “Militerisme jang dimaksoedkan ito boekan militerisme dalam arti sesoeatoe jang bersangkoetan dengan ketentaraan sadja, tetapi sesoeatoe faham politik jang menghendaki hak golongan tentara menentoekan haloean negara.

Masih diartikel yang sama, militerisme sekilas mirip dengan fasisme, yang membedakan hanya siapa yang mengendalikan negara. Jika  pada fasisme kaum politik yang bisa berasal dari sipil memakai sistem militer, sementara pada militerisme justru kaum militerlah yang menentukan arah negara,“kedoea-doeanja berdasar atas korpergehorsamheit, kedoea - doeanja memperdewa kemiliteran dan kepahlawanan (hero isme) sehingga rasa kebangsaan diperoesahakan mendjadi gila kebangsaan (nasionaal bewustzijn di exploitir mendjadi nasionalistis santiment).

Oleh karena itu penting untuk menghindarkan militerisme di ruang kekuasaan maupun kerakyatan. Dari sisi rakyat, kita harus menghentikan dan tidak terbawa suasana segala bentuk romantisme militeristik atas dasar apa pun termasuk dengan logika sesat yang sedang dibangun oleh beberapa oknum loreng yang gagal paham istilah “kembali ke barak” sebagai kondisi di mana mereka menuntut agar kita berganti peran menjaga keamanan dan pertahanan negara. Padahal “kembali ke barak” artinya TNI kembali kepada tugas dan tujuannya.

Jika logika berganti peran yang dipakai, artinya mereka juga harus melepas keanggotaan militernya dengan alasan nirfungsi. Tapi mari kita memaklumi sesat logika yang mereka utarakan karena tidak semua oknum loreng yang konon katanya banyak masuk di kesatuan bermodalkan jual ini dan itu  sembari mulai  menyadari jika mereka  ternyata menganggap seolah-olah rakyat bodoh.

Oleh kita sebagai rakyat yang bakal terkena dampak dari dwifungsi,  perlu memiliki tiga alasan logis untuk menolak kembalinya dwi fungsi. Yang pertama, penolakan kita berdasarkan dampak epistemik  dari militerisme yang  merujuk pada bagaimana dominasi militer dalam kehidupan sosial dan politik memengaruhi cara kita memahami dunia, kebenaran, dan pengetahuan. Ketika militerisme mengakar, ia cenderung mendorong cara berpikir yang hierarkis, otoriter, dan berbasis ketaatan buta, yang membatasi ruang untuk berpikir kritis, reflektif, dan dialogis. Hal ini bisa menghasilkan budaya pengetahuan yang monolitik –di mana hanya narasi resmi atau "strategis" yang dianggap sah, sementara suara-suara alternatif, terutama yang datang dari sipil, perempuan, atau kelompok marginal, dianggap tidak relevan atau bahkan subversif. Akibatnya, militerisme bukan hanya mengatur siapa yang boleh bicara, tapi juga membentuk apa yang boleh dipikirkan dan bagaimana kita menilai kebenaran.

Yang Kedua, atas alasan sejarah kelam dari rekam jejak militer di Indonesia yang sering melakukan pelanggaran kemanusiaan dan setelahnya tidak terselesaikan. Bahkan para pelaku yang sudah purna dari militer tadi tetap berkuasa hingga hari ini dan nanti, artinya memberi ruang kepada militer untuk kembali berkuasa di ranah sipil sama saja dengan memperpanjang kemungkinan terjadinya jejak berdarah.

Yang ketiga, atas alasan kemuakan terhadap KKN yang sistematik. Sebenarnya dunia militer tidak lepas dari budaya KKN, mulai dari awal perekrutan sampai ke penugasan semua diwarnai dengan budaya KKN. Dalam konteks kekuasaan yang sarat akan KKN, sering kali penggunaan militer amat berguna untuk menjaga dan membungkam siapa pun yang berusaha melawan KKN

Banyak contoh kasus dari budaya KKN yang melibatkan oknum militer. Misalnya perihal bentrokan antara warga dengan militer ketika terjadi sengketa lahan dengan perusahaan swasta, di sana militer sering turun bukan sebagai pelindung rakyat dari keserakahan korporasi, namun malah menjadi alat korporasi untuk mengintimidasi agar akyat nrimo ing pandum kekalahannya.

Sudah sepatutnya kita mencurigai kemungkinan kongkalikong yang lebih masif dari dunia militer yang bisa menindas ruang sipil. Apalagi selama ini militer memiliki hubungan erat dengan pengusaha bahkan  eratnya hubungan itu, militer bisa menjadi penguasa cum pengusaha.

Dengan tiga alasan logis tadi, kita harus menghindari keterjebakan dengan romantisme militeristik apalagi jika berkaca pada negara-negara lain, tidak ada satu pun negara yang menjadi maju saat militernya menjadi dominan atau mengurusi urusan sipil. Sebut saja Myanmar, Korea utara, Thailand, maupun negara-negara di Amerika Latin dan Afrika yang kesemuanya mundur dari segi demokrasi, ekonomi, budaya, bahkan keamanannya sendiri semakin mencekam.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang militerisme

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//