• Opini
  • Militer di Ruang Siber, Langkah Strategis atau Ancaman bagi Kebebasan Digital?

Militer di Ruang Siber, Langkah Strategis atau Ancaman bagi Kebebasan Digital?

Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini punya kewenangan untuk beroperasi di dunia siber. Memungkinkan pendekatan militer diterapkan di dunia digital?

Nazhif Ali Murtadho

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Ilustrasi. Peran TNI di negara yang menjunjung supremasi hukum dan sipil adalah menjaga kedaulatan negara. (Foto: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

1 April 2025


BandungBergerak.id – Het recht hinkt achter de feiten aan.” (Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana; 2009, Hal. 1)

Artikel opini diawali dengan kutipan peribahasa lama dalam bahasa Belanda yang menyatakan bahwa hukum selalu tertinggal dari peristiwa yang terjadi. Meskipun begitu, penulis tidak sepenuhnya sependapat, karena hukum bukanlah individu (geen persoon), melainkan sebuah sistem yang tersusun atas berbagai subsistem. Akibatnya, apabila ada kekurangan dalam salah satu subsistem, maka aspek lain dalam sistem hukum akan berperan untuk menutupinya. Dalam konteks ini, hukum yang dimaksud merujuk pada hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan. Proses perubahan dalam hukum harus melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, menyesuaikan hukum dengan kondisi yang berkembang tidak dapat dilakukan secara instan atau sembarangan.

Pendahuluan

Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini punya kewenangan untuk beroperasi di dunia siber. Hal ini resmi tertuang dalam revisi Undang-Undang TNI yang memberi mereka tugas untuk menangani ancaman digital. Tapi, di sinilah muncul pertanyaan besar: bukankah selama ini urusan keamanan digital sudah jadi tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)?

Banyak pihak mulai mempertanyakan apakah kebijakan ini justru akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Salah satu yang menyoroti masalah ini adalah Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Menurutnya, revisi ini memberikan TNI wewenang untuk menangani ancaman siber berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf b nomor 15 Undang-Undang TNI. Namun, yang jadi permasalahan adalah tidak adanya definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “ancaman pertahanan siber.”

Tanpa batasan yang tegas, definisi ancaman siber bisa diinterpretasikan secara luas. Jika TNI menganggap perang informasi di dunia digital sebagai ancaman, mereka bisa saja masuk ke ranah yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), seperti pemutusan akses terhadap konten ilegal dan berbahaya di internet. Ini bisa menimbulkan persoalan baru: jika TNI juga menangani hal yang sama, di mana batas antara kewenangan mereka dan Komdigi? Apa yang membedakan tugas masing-masing? Selain itu, tingkat ancaman siber yang disebutkan masih belum memiliki kejelasan, sementara cakupan pertahanan siber sendiri sangat luas. Justru, ada kemungkinan militer ikut terlibat dalam menangani ancaman siber yang sifatnya teknis, seperti masalah sipil atau aksi terorisme di dunia maya.

Baca Juga: Koalisi Kebebasan Berserikat Menolak Pengesahan RUU TNI, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dikhawatirkan Meningkat
RUU TNI, Penguatan Citra Mesianistis Militer, dan Kenapa Kita Harus Menolaknya
UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan Memiliki Sisi Menggerus Kebebasan Masyarakat Sipil

Konflik Kewenangan dengan BSSN dan Lembaga Lain

Bukan hanya Komdigi yang bisa terdampak, tapi juga BSSN, yang selama ini memiliki peran utama dalam mengatur keamanan siber nasional. BSSN berfungsi sebagai otoritas yang menetapkan kebijakan keamanan siber di berbagai sektor, termasuk pemerintahan dan infrastruktur digital. Kalau TNI juga mulai masuk ke bidang ini, bagaimana cara memastikan kerja sama mereka tidak bertabrakan dengan tugas yang sudah ada?

Parasurama Pamungkas, peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menjelaskan bahwa dunia siber bisa dibagi ke dalam tiga kategori utama: Pertama, kejahatan siber, yang ditangani oleh Polri dan Kominfo. Kedua, keamanan siber dan pertahanan siber, yang berada di bawah wewenang BSSN. Ketiga, pertahanan siber, yang seharusnya menjadi tugas utama TNI.

Batasan bagi TNI dalam menempati posisi strategis di lembaga siber dan/atau sandi negara harus jelas, hanya sebatas jabatan tertentu dan bukan pada level pimpinan. Sebab, lembaga-lembaga tersebut merupakan institusi sipil yang berada di bawah regulasi hukum sipil. Jika prajurit TNI aktif diperbolehkan menduduki posisi pimpinan di lembaga ini, hal tersebut berpotensi menimbulkan risiko “militerisasi ruang siber” dan tidak secara menyeluruh mengakomodasi berbagai aspek keamanan siber, terutama yang bersifat teknis atau berkaitan dengan kepentingan ekonomi.

Artinya, jika TNI ikut menangani ancaman siber di luar aspek pertahanan, mereka sebenarnya sudah memasuki wilayah kerja lembaga lain. Hal ini tidak hanya membingungkan, tapi juga bisa mengarah pada konflik kewenangan yang memperumit sistem yang sudah ada. Lebih buruk lagi, tanpa regulasi yang jelas, TNI bisa saja semakin jauh masuk ke ruang digital masyarakat, bahkan sampai ke aspek-aspek yang seharusnya bukan bagian dari tugas mereka.

Peran dan Kontroversi Keterlibatan Militer dalam Keamanan Siber

Salah satu kekhawatiran terbesar dari kebijakan ini adalah kemungkinan pendekatan militer diterapkan di dunia digital. Penulis menyoroti bahwa selama ini dunia digital diawasi oleh Komidigi dan Polri, dengan BSSN yang mengatur mekanisme keamanannya. Dengan masuknya TNI, ada potensi bahwa pendekatan mereka yang lebih represif akan digunakan dalam menangani ancaman siber.

Kenapa ini menjadi masalah? Karena pendekatan militer biasanya lebih tegas dan tidak fleksibel, yang bisa berujung pada langkah-langkah seperti pemblokiran informasi secara luas, peningkatan pengawasan terhadap aktivitas masyarakat di internet, hingga pembatasan kebebasan berekspresi. Jika dibiarkan tanpa kontrol yang baik, TNI bisa memiliki kuasa yang besar dalam menentukan arus informasi di dunia digital, termasuk menekan suara-suara kritis terhadap pemerintah.

Di sisi lain, ada juga yang mendukung revisi UU TNI ini. Beberapa anggota Komisi I DPR berpendapat bahwa aturan baru ini justru akan memperkuat posisi militer dalam melindungi negara dari ancaman digital yang semakin canggih. Mereka berargumen bahwa saat ini ancaman siber sudah berkembang ke tahap yang lebih kompleks, termasuk adanya perang siber dan perang hibrida yang dapat mengancam stabilitas nasional.

Menurut pandangan mereka, tanpa keterlibatan TNI, Indonesia bisa saja mengalami kesulitan dalam menghadapi serangan siber dari pihak asing atau kelompok tertentu yang ingin melemahkan sistem pertahanan negara. Dengan revisi ini, TNI memiliki landasan hukum yang lebih kuat untuk menjalankan tugasnya dalam mempertahankan kedaulatan digital Indonesia.​

Keseimbangan Antara Keamanan dan Kebebasan

Yang jelas, meskipun ada argumen bahwa kehadiran TNI di ruang siber bisa membantu memperkuat pertahanan digital Indonesia, tetap diperlukan batasan yang jelas agar kewenangan mereka tidak melebar ke ranah yang bisa mengancam kebebasan sipil. Bagaimanapun, keamanan siber adalah aspek yang kompleks dan melibatkan banyak pihak. Jika peran antar lembaga tidak diatur dengan baik, justru bisa menimbulkan kekacauan dalam koordinasi dan pengambilan kebijakan.

Solusi terbaik mungkin bukan sekadar melibatkan TNI dalam ruang siber, tapi menciptakan sistem yang lebih terintegrasi di antara lembaga-lembaga terkait. Dengan begitu, semua pihak bisa bekerja sama sesuai peran masing-masing tanpa menimbulkan konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang.

Kesimpulan

Keterlibatan TNI dalam dunia siber adalah keputusan yang memicu banyak perdebatan. Di satu sisi, langkah ini bisa memperkuat pertahanan negara dari ancaman digital yang semakin kompleks. Namun, di sisi lain, jika tidak diatur dengan baik, bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan, konflik antar lembaga, dan bahkan membahayakan kebebasan digital masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa revisi UU TNI ini tidak hanya memperkuat pertahanan siber, tetapi juga tetap menjaga keseimbangan antara keamanan negara dan hak-hak warga dalam dunia digital. Kebijakan ini harus dirancang dengan regulasi yang jelas, agar upaya menjaga keamanan tidak berujung pada pembatasan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia di era digital.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang TNI 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//