• Opini
  • Dari Taman Siswa ke Barak Militer, Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025

Dari Taman Siswa ke Barak Militer, Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025

Pendidikan yang dibayangkan oleh Ki Hajar tidak memperkenalkan cara-cara kekerasan simbolik maupun fisik. Taman Siswa tidak seperti barak militer.

Menggunakan barak untuk mendidik anak adalah simbol dari logika otoritarian. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

20 Mei 2025


BandungBergerak.id – Mempromosikan judi online, diangkat menjadi Duta Anti Judi Online. Menyalahgunakan narkoba jenis sabu, diangkat menjadi Duta Anti Narkoba. Menerobos jalur Transjakarta, diangkat menjadi Duta Tertib Berlalu Lintas. Mengirim anak nakal ke barak militer, apakah akan diangkat menjadi Duta Pendidikan?

Tidak ada yang lebih spesial dan nostalgia di Hari Pendidikan Nasional 2025 selain kado program kerja budayawan cum gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang akan mengirim anak-anak nakal Jawa Barat untuk dididik di barak militer. Tidak tanggung-tanggung, Rp 6 miliar disiapkan demi program yang akan berjalan beberapa pekan saja. Anak-anak tersebut nantinya diberi seragam, makanan, pendidikan, dan mental ala militer.   

Entah wangsit mana yang turun sehingga KDM cukup yakin menggagas program ini. Namun, yang pasti, selain anggaran Rp 6 miliar atau bahkan lebih akan habis tanpa ada jaminan perubahan karakter pada anak-anak tersebut, program ini berpotensi merenggut hak-hak anak serta mengubah cara berpikir sipil yang demokratis menjadi kaku, satu komando, penuh kekerasan dan doktrinasi. 

Baca Juga: Pemprov Jabar Diminta Mempertimbangkan Hak-hak Dasar Anak Sebelum Mengeluarkan Kebijakan Mengirim Mereka ke Barak Militer
Dari Barak ke Vasektomi: Fantasi Kekuasaan dalam Format Vertikal
Barak Tempat Prajurit, Bukan Tempat Pelajar!

Mempertanyakan Cara Berpikir Budayawan yang Tidak Humanis

Di banyak kesempatan bahkan sebelum menjadi gubernur Jawa Barat, KDM selalu menampilkan citranya sebagai budayawan Sunda. Mulai dari ikat kepala, warna pakaian, bahasa, logat, sampai filosofi hidup sederhana dan menjaga harmonisasi alam begitu melekat padanya. Oleh sebagian orang, ia dianggap sebagai sosok pemimpin ideal; putra daerah, mengenal leluhurnya, suka berdialog, tegas, serta tak segan masuk gorong-gorong. 

Namun seiring berjalannya waktu, KDM lebih sering mendapat sorotan publik karena kontroversinya membuat wacana kebijakan, bukan atas prestasi, citra, ataupun anggapan-anggapan baik yang warga Jawa Barat limpahkan ke ia sebelumnya. Sebagai contoh, kasus vasektomi (yang belakangan dibantahnya) dan barak militer. KDM benar-benar kehilangan sosok budayawannya karena gagal mengedepankan sisi-sisi humaniora dalam melihat suatu masalah. 

Menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (yang belakangan dibantahnya) dan memilih pendidikan militer untuk anak-anak nakal, memperlihatkan sindrom kepemimpinan fasis di dalam diri KDM. Sebab dalam praktiknya, fasis bukan hanya soal pemimpin yang sewenang-wenang, tetapi juga soal bagaimana kekuasaan memaksakan tatanan moral, sosial, disiplin, dan kebenaran tunggal di masyarakat. Dengan kata lain; fasisme meniadakan ide soal keberagaman. 

Ketika anak-anak nakal dikirim ke barak militer, bukan ke tempat “intelektual” yang kaya bacaan, dialog, konsultasi, dan pembelajaran empatik maka kebijakan itu lebih mencerminkan pendekatan koersif-represif ketimbang edukatif. 

Padahal, kenakalan anak sering kali terjadi karena situasi sosial-ekonomi, lingkungan keluarga yang berantakan, dan trauma masa lalu. Dengan mengabaikan akar masalah ini dan memilih jalan pintas disiplin militer, KDM tidak lebih memandang anak-anak tersebut sebagai objek yang harus dikontrol, alih-alih subjek yang perlu dipahami dan dibimbing.

Barak Bukan Tempat Pendisiplinan Karakter

Tak ada jaminan ataupun garansi seseorang yang masuk ke barak akan menjadi pribadi yang disiplin, toh, banyak kasus kriminal yang melibatkan tentara di dalamnya. Lebih paradoksnya lagi, ketika para tentara ini dituntut untuk kembali ke barak, sikap mereka setengah hati dan ogah-ogahan. Padahal tugas mereka berada di barak, menjaga pertahanan negara, bukan ikut campur urusan politik, bisnis, maupun pangan.

Perbedaan paling mencolok dari kedisiplinan tentara dan sipil, terletak pada kedisiplinan tentara dalam bangun pagi dan baris-berbaris. Selebihnya sangat bisa diadu. Soal disiplin membongkar pasang senjata, menembak, bela diri, melakukan pengintaian dan penyergapan, sampai pada merancang taktik gerilya serta misi tempur, sering kali tentara salah tempat mempraktikkannya. Tidak di medan perang atau garis perbatasan negara, melainkan di ruang-ruang publik yang tidak seharusnya mendapat intimidasi, ancaman, maupun kekerasan.  

Bayangkan, betapa berbahayanya ketika tentara indisipliner mendidik anak nakal di barak. Anak yang sebelumnya melakukan tawuran, mabuk, main game berlebih, dan berzina, mungkin ke depannya akan jadi lebih liar. Mungkin akan membakar rumah jurnalis (lagi), menembak warga sipil (lagi), mengamankan rumah judi dan prostitusi (lagi), ataupun menodongkan beceng ke massa aksi (lagi). 

Ketimbang mendapat pendidikan militer oleh tentara yang sering kali tidak disiplin, apa tidak lebih baik jika KDM dan para budayawan Sunda lain mendidik langsung anak-anak nakal ini. Mengajar cara hidup ala Sunda; lemah lembut, sopan pada tamu, tidak neko-neko, agamais, dan menyatu dengan alam. 

Dengan penanaman karakter dan pengetahuan lokal, anak-anak akan belajar mengenal siapakah diri mereka dan siapakah bangsa Indonesia sebenarnya. Anak tidak lagi melakukan tindakan atas dasar kepatuhan absolut, tetapi berdasarkan pemikiran dan penilaian dari apa yang telah diajarkan kepada mereka. Jika melakukan ini apakah sesuai dengan prinsip hidup leluhur saya, jika melakukan itu apa tidak membuat malu orang-orang sekitar saya, dan seterusnya. 

Hari Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, dan Taman Siswa

Selain gagal menjadi sosok budayawan, KDM juga benar-benar belepotan dalam merefleksikan Hari Pendidikan Nasional. Bagaimana ceritanya, merayakan hari lahir Ki Hajar Dewantara dengan cara menyamakan Taman Siswa dengan barak militer. Taman Siswa dibangun Ki Hajar dengan semangat pembebasan, keadilan dan persaudaraan. Semangat demokrasi dan kemanusiaan. 

Pendidikan yang dibayangkan oleh Ki Hajar tidak memperkenalkan cara-cara kekerasan simbolik maupun fisik. Taman Siswa tidak seperti barak militer. Sekolah bukan tempat penyiksaan, tetapi selayaknya taman; tempat para siswa tumbuh, berkembang, dan menemukan jati dirinya secara manusiawi. 

Dengan mengirim anak-anak nakal ke barak, KDM telah melecehkan semangat Hari Pendidikan sekaligus mempermalukan dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin. KDM tidak mampu menafsirkan Ing Ngarso Sung Tulodho, tidak paham filosofi Ing Madyo Mangun Karso, serta tidak cukup mengerti makna Tut Wuri Handayani. 

Dengan demikian, pada waktu yang bersamaan, KDM kehilangan sosok budayawannya, intelektualitasnya, bahkan kesadaran historisnya. Celakanya, ia adalah sosok pemimpin provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Bayangkan, apa tidak semrawut wajah Jawa Barat beberapa tahu ke depan jika dipimpin oleh seorang yang rabun sejarah dan fasis. 

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan KDM yang mungkin alpa menyadari bahwa bangsa ini tumbuh dan dibesarkan oleh para intelektual. Para guru bangsa, para pemimpin yang tidak pernah berhenti menulis-membaca, para politisi yang kaya gagasan, para cendekiawan yang tidak mata duitan. Bukan oleh pemimpin gila hormat, narsis di internet, penyembah kekerasan, ataupun gimik di gorong-gorong.

Kembalikan Jawa Barat sebagai wilayah progresif, wilayah pertempuran ide, wilayah persaudaraan antar bangsa, serta tempat di mana warganya nyaman dan damai tinggal bersama alam yang membentuknya. Jawa Barat, bukan Jawa Barak. 

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//