• Opini
  • Barak Tempat Prajurit, Bukan Tempat Pelajar!

Barak Tempat Prajurit, Bukan Tempat Pelajar!

Anak sekolah adalah kaum pelajar. Tugasnya adalah belajar bukan berbaris. Memangnya kenapa jika anak-anak sekolah itu nakal?

Akbar Adi Benta

Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

Menggunakan barak untuk mendidik anak adalah simbol dari logika otoritarian. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

14 Mei 2025


BandungBergerak.id – Pendekatan yang sesuai untuk mendidik anak nakal di sekolah itu Tut Wuri Handayani, bukan Kartika Eka Paksi.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sudah mengimplementasikan kebijakannya terkait anak sekolah yang dinilai nakal, untuk menempuh pendidikan karakter di barak militer. Beleid itu sudah dimulai sejak awal Mei tahun 2025, yang tampaknya menjadi bulan terberat buat anak sekolah (yang nakal).

Sepertinya Gubernur Jawa Barat melihat kenakalan para remaja sebagai sesuatu ancaman bagi negara sampai-sampai butuh bantuan militer. Padahal, anak sekolah nakal itu sesuatu yang biasa sekali. Anak nakal sangat bisa diatasi oleh guru Bimbingan Konseling (BK) mereka.

Barangkali, Dedi Mulyadi belum mengetahui kisah tiga perempuan asal Garut yang mulanya dianggap nakal oleh sekolah mereka, namun kini sukses dengan band-nya yang bernama Voice of Baceprot (VoB). Grup musik yang beranggotakan Marsya (vocal), Widi (bass), dan Siti (drum) ini sempat dinilai sebagai anak nakal oleh sekolahnya. Bahkan mereka pernah Drop Out (DO) dari sekolah lamanya, sebelum akhirnya pindah ke sekolah yang baru.

Tapi, lihat mereka sekarang, VoB telah melanglang buana sampai ke Benua Biru. Pencapaian tiga perempuan berhijab yang memainkan musik cadas ini, bisa tampil di panggung Eropa bukan karena dididik oleh militer.

Melainkan, karena mereka mendapatkan tuntutan dari seorang pendidik Bimbingan Koseling (BK) yang sadar akan "kenakalan" mereka dan menyalurkannya kepada aktivitas yang tepat. Begitulah hasilnya kalau anak nakal dididik oleh seorang didaktis.

Jika VoB tidak nakal, seperti apa yang diharapkan Dedi Mulyadi dari anak sekolah zaman sekarang, mungkin tiga perempuan daerah itu tidak akan dikenal oleh dunia.

Baca Juga: Militer di Ruang Siber, Langkah Strategis atau Ancaman bagi Kebebasan Digital?
Dari Barak ke Vasektomi: Fantasi Kekuasaan dalam Format Vertikal
Pemprov Jabar Diminta Mempertimbangkan Hak-hak Dasar Anak Sebelum Mengeluarkan Kebijakan Mengirim Mereka ke Barak Militer

Mendidik Anak Nakal Adalah Tugas Didaktikus, Bukan Kopassus

Anak sekolah adalah kaum pelajar. Tugasnya adalah belajar bukan berbaris. Memangnya kenapa jika anak-anak sekolah itu nakal? Kenapa pula militer harus repot-repot mengambil tugas untuk mendidik para anak sekolah?

Bukankah sekolah sudah punya Bimbingan Konseling (BK) yang tugasnya mengatasi anak yang nakal?

Lagi pula, setiap dari kita punya kisah kenakalannya sendiri ketika masih sekolah. Bahkan, tidak jarang kenakalan pada masa sekolah dahulu, menjadi pintu masuk untuk kita belajar menjadi insan yang lebih baik.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan nakal sebagai: suka berbuat kurang baik (tidak menurut, menganggu, dan sebaginya, terutama bagi anak-anak). Lalu, apakah anak sekolah harus selalu menurut dan tidak boleh nakal?

Bagi saya, nakal pada masa sekolah itu perlu. Karena, nakal bukanlah kejahatan. Kenalakalan ialah  pintu masuk bagi anak-anak untuk menghidupkan daya kritis mereka.

Seperti halnya anak sekolah SMAN 1 (SMANSA) Kota Bandung yang ambil peran membela sengketa tanah sekolah mereka dengan cara unjuk rasa. Apakah anak-anak sekolah itu masuk kategori nakal karena membangkang putusan pengadilan?

Kalau output dari kenakalan melahirkan pelajar yang kritis dan sadar akan situasi sosial yang carut marut, maka, ya setiap anak sekolah perlu menjadi nakal.

Tapi, jika memang tujuan sekolah adalah untuk membuat anak sekolah patuh dan menihilkan budaya kritis, mungkin barak militer adalah jawabannya.

Hakikatnya, anak sekolah adalah seorang pelajar yang tidak diwajibkan untuk patuh. Tugas seorang pelajar adalah menimba ilmu sedalam mungkin. Untuk mencapai ilmu yang dalam, perlu menjadi tidak penurut. Sehingga, kelak pelajar itu bisa berguna dan bermanfaat di tengah masyarakat.

Sekarang, bagaimana seorang, sekelompok, atau seluruh pelajar bisa punya ilmu yang dalam jika mereka dipaksa untuk disiplin seperti militer karena alasan mereka nakal – seoalah militer tidak ada yang nakal.

Jika ingin menelisik lebih jauh, dalam kenalakan selalu ada sikap kritis yang membersamainya, yang tampaknya jarang dicari tahu lebih jauh. Daripada melarang anak sekolah untuk nakal, lebih baik cari tahu alasan kenapa anak tersebut bisa nakal.

Anak sekolah yang berambut panjang kerap kali dianggap nakal. Namun, seberapa sering anak nakal itu mendapat jawaban logis dari pertanyaan kritisnya tentang aturan yang melarangnya berambut panjang?

Selanjutnya, anak sekolah yang bermain game online dianggap nakal oleh Gubernur Jawa Barat. Tapi, anak yang gemar main game online itu tidak mendapatkan jawaban logis atas pertanyaannya kenapa aktivitas yang membuatnya senang justru dinilai sebagai kegiatan yang bangor.

Mungkin adalah benar bahwa anak sekolah harus punya akhlak yang baik, tapi hanya karena anak-anak sekolah ini "masih" nakal tidak berarti pendidikan militer adalah jawabannya.

Pendidikan militer itu hanya membentuk anak sekolah terbiasa untuk patuh, menerima perintah, serta tunduk pada komando yang hierarkis. Sementara, kenakalannya tidak akan pernah hilang karenanya.

Pengalaman Pendidikan Militer

Ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), sekolah mewajibkan untuk ikut pendidikan militer. Siswa-siswi diancam tidak akan naik kelas jika tidak mengikuti pendidikan militer tersebut – belakangan saya tahu bahwa ancaman itu hanya gertakan.

Kawan-kawan sekolah saya di SMA mengenal pendidikan militer tersebut dengan istilah “Secapa”. Seperti namanya, kegiatan pendidikan militer dilakukan di Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD) di Bandung.

Pengalam itu masih lekat sekali dalam ingatan saya. Kala itu, pagi-pagi sekali seluruh anak sekolah berangkat menuju Secapa AD menggunakan truk yang biasa digunakan untuk mengangkut serdadu.

Saya dan kawan-kawan berangkat dengan riang, tapi pulang dengan guram. Sebelum berangkat, semua siswa tampil dengan model potongan rambut paling trendi pada zamannya. Setelah pulang, kepala gundul bagaikan tahanan yang baru keluar bui.

Pendidikan militer berlangsung selama tiga hari. Tentunya banyak sekali aturan di dalam barak. Para siswa-siswi tidak diberikan kesempatan – atau memang tidak boleh – untuk mempertanyakan aturan tersebut.

Aturan-aturan yang masih saya ingat seperti; makanan harus habis dalam waktu lima menit; saat makan badan harus tegap dan suapan dilakukan dengan tangan yang menghampiri mulut; tidur hanya dua jam; setiap pagi siswa-siswi lari pagi sambil bernyanyi.

Penggalan liriknya saya masih ingat: "Lari-lari berlari! Tinggalkan ayah ibu". Hingga sekarang, saya masih mempertanyakan, mengapa kita (saya dan kawan-kawan SMA) berlari sambil bernyanyi. Jika alasannya agar aktivitas lari pagi menjadi lebih semangat: sungguh, itu tidak membantu sama sekali. 

Lagi pula, jika mengharuskan lari sambil bernyanyi, ada banyak sekali lagu yang lebih merdu untuk dinyanyikan. Misalnya, jika ingin terdengar nasionalis bisa bernyanyi Garuda di Dadaku gubahan band NTRL. Atau, bisa berlagu Bars of Death yang berjudul Tak Ada Garuda di Dadaku, agar anak sekolah terbiasa dengan sarkastis.

Entahlah, pemilihan lagu yang disenandungkan ketika lari pagi di Secapa AD kala itu masih menjadi pertanyaan enam juta dolar bagi saya.

Harus saya akui bahwa saya tidak mendapatkan pelajaran apa pun dari pendidikan militer itu yang koheren dengan mata pelajaran di sekolah SMA saya kala itu.

Tapi kalau memaksa, mungkin ada dua pelajaran –jika memang layak disebut sebuah pelajaran– yang saya dapatkan dari pengalaman itu. Pertama, pelajaran untuk selalu patuh atas perintah tanpa mempertanyakannya. Kedua, pelajaran untuk siap dibentak tanpa alasan.

Setelah saya beruntung bisa berkuliah dan menjadi seorang sarjana, saya menyadari bahwa keduanya tidak begitu diperlukan –atau bahkan tidak perlu belaka– untuk anak sekolah yang statusnya adalah pelajar.

Ada adagium yang mengatakan: menegur jangan sampai menghina; mendidik jangan sampai memaki; meminta jangan sampai memaksa; memberi jangan sampai mengungkit.

Tidak ada lain, pendekatan yang tepat membentuk anak sekolah menjadi pelajar yang utuh adalah dengan menerapkan metode Bapak Pendidikan Nasional kita: ing ngarso sung tulodo (di depan seorang pendidik menjadi teladan), ing madyo mangun karso (di tengah seorang pendidik menularkan semangat); tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

Sekarang bayangkan, akan berbentuk seperti apa anak sekolah yang dinilai nakal itu jika didikannya: di depan membentak, di tengah menularkan ketakutan serta rasa inferior, dan di belakang didorong untuk patuh secara buta pada komando.

Didik Anak Nakal di Ruang Akademik

Didiklah anak nakal sekolah di ruang lingkup akademis. Bukan mengirimnya ke barak militer dan mengadopsi cara-cara dari laskar serdadu.

Berikan anak nakal itu penjelasan masuk akal yang menunjukan kerugian dari tindakan, sikap, atau perilaku kenakalan mereka. Mereka pasti mengerti. Anak sekolah di Jawa Barat itu bukan pelajar yang pandir –kecuali jika pemerintah menganggapnya demikian. Mereka adalah anak-anak yang pintar.

Berikan mereka ruang untuk menjelaskan alasan kenakalannya. Uji pembelaan mereka. Latihlah anak nakal itu untuk terbiasa beradu argumen.

Dengan terbiasa mendapatkan kesempatan untuk mempertanyakan kenakalannya, kelak mereka akan punya modal untuk mengambil keputusan atas suatu persoalan, dengan basis pertimbangan yang logis layaknya insan terpelajar.

Hal-hal tersebut akan sangat berguna ketika mereka lulus nanti. Jauh lebih berguna dari sekadar bisa baris dan patuh pada aturan tanpa diizinkan untuk tahu alasan logis dibaliknya.

Jangan paksa anak nakal di sekolah menjadi tunduk dengan mengirimnya ke markas prajurit, tapi bantu arahkan kenakalan mereka pada kegiatan kreatif, imajinatif, dan kritis. Kalau kata Karlina Supelli tanamkan Ad Maiora Natus Sum.

Upaya meredam kenakalan anak sekolah yang masih remaja melalui pendekatan militer, adalah langkah paling malas yang dilakukan oleh pemerintah untuk menunjukkan kepeduliannya kepada para pelajar.

 

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel menarik lain tentang MILITER 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//