SMANSA Melawan Mafia Tanah, Murid dan Alumni Berdemonstrasi Setelah Kekalahan di PTUN Bandung
Kekalahan sengketa lahan SMANSA di PTUN Bandung terus menuai gelombang protes dari murid dan alumni. Panjang umur perlawanan terhadap mafia tanah.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah28 April 2025
BandungBergerak.id - Puluhan siswa dan alumni Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Bandung turun ke halaman sekolah dalam aksi damai, Sabtu, 26 April 2025. Aksi ini menjadi bentuk protes terhadap kekalahan sekolah mereka dalam sengketa lahan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung melawan Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK). Massa aksi menilai keputusan hakim tidak berpihak kepada ruang pendidikan publik.
Demonstrasi berlangsung damai namun sarat simbol perlawanan. Kain hitam menutupi gapura sekolah, karangan bunga berjejer di halaman, dan spanduk besar bertuliskan "SMANSA Is Not For Sale" dibentangkan di gedung utama. Beberapa karangan bunga dari siswa dan alumni menampilkan pesan tegas: "Telah matinya hukum dan keadilan untuk ruang pendidikan", "Kami bersama orang-orang berani memilih kita lawan", hingga "Yang dirampas bukan sekadar tanah, tapi masa depan anak bangsa."
Muhammad Attila Jilani, Koordinator Aksi Damai, menyatakan aksi ini adalah bentuk kesadaran dan perlawanan terhadap upaya penghilangan hak pendidikan. "Aksi damai ini juga mentandatangan atau petisi bersama siswa dan alumni, menandakan SMANSA milik negara dan hak pendidikan, bukan milik siapapun, atau tangan asing," ujar Attila.
Ia menegaskan bahwa keberadaan SMANSA di Jalan Ir. H. Djuanda No. 93, Bandung, tidak akan tergeser oleh putusan apa pun. Aksi ini juga disambut positif oleh alumni lintas angkatan, dari tahun 1986 hingga 2024, yang turut hadir sebagai bentuk solidaritas.
“Siswa hari ini menyuarakan hak mereka yang sedangkan pendidikan mereka pada waktu yang akan datang bisa saja dihilangkan atas masalah yang terjadi sekarang. Untuk setiap alumni, tiga tahun berada di SMANSA dan mereka memiliki kenangan yang banyak,” lanjut Attila.

Kronologi Gugatan
Sengketa lahan SMAN 1 Bandung bermula dari gugatan yang dilayangkan oleh Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) ke PTUN Bandung terhadap Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung sebagai tergugat, dan SMANSA sebagai tergugat intervensi. Gugatan tersebut tercatat dalam perkara nomor 164/G/2024/PTUN.BDG dan mulai disidangkan pada Desember 2024.
PLK meminta pembatalan Sertifikat Hak Pakai Nomor 00011/Kel. Lebak Siliwangi yang diterbitkan pada 19 Agustus 1999, atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang kini digunakan oleh SMAN 1 Bandung. PLK mengklaim sebagai pewaris High Christian Lyceum (HCL) yang pernah mengelola lahan tersebut.
Pihak sekolah merespons gugatan dengan upaya pembelaan, termasuk kegiatan doa bersama pada 7 Maret 2025, di mana guru dan siswa membaca Al-Quran seraya menyebarkan tagar #SaveSmansaBandung.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMAN 1 Bandung, Kardiana, menuturkan bahwa kegiatan tersebut adalah upaya batiniah untuk mempertahankan hak atas tanah yang telah digunakan sejak 1958. "Kita meminta kepada yang Maha Penolong biar keputusan hakim itu berpihak pada kita. Ya mudah-mudahan kan kita menginginkan sekolah ini terus ada, jikalau kita kalah, maka otomatis mereka (siswa) akan tahu, oh ternyata saya adalah angkatan terakhir yang sekolah di sini," ujarnya, Kamis, 6 Maret 2025.
Kepala Sekolah SMAN 1 Bandung, Tuti Kurniawati, menyatakan bahwa perkara ini ditangani langsung oleh Biro Hukum Pemprov Jawa Barat. Ia percaya bahwa tanah tersebut berasal dari aset kolonial yang kemudian dipinjam-pakaikan oleh Kementerian Keuangan kepada lembaga pendidikan. “Kementerian Keuangan dipinjampakaikan untuk lembaga pendidikan. Ke Dinas Pendidikan ya. Nah dalam hal ini kan Dinas Pendidikan dipakai untuk SMAN 1 Bandung," jelas Tuti.
Dukungan kuat datang dari para alumni. Ikatan Alumni SMANSA menginisiasi pergerakan dengan tagar #SaveSMANSA, melakukan pengawalan sidang, dan membentuk Tim Caretaker Save SMANSA.
"Alumni support sekali, mereka yang kini juga yang advokat-advokat memberikan masukan kepada kami,” kata Tuti.
Sementara itu, kuasa hukum PLK, Hendri Sulaeman, menyatakan bahwa kliennya hanya menuntut hak hukum atas SHGB yang mereka miliki. "Penggugat kan punya SHGB. Lalu nanti pengadilan yang mengujinya siapa yang benar. Kita taat hukum, kan bicara hukum. Tapi dulu (tergugat) kan pinjam ke penggugat, mungkin sudah terlalu lama," katanya.
Baca Juga: Suara Pelajar di Aksi Kamisan Bandung ke-423, Menyoroti Maraknya Sengketa Lahan di Kota Bandung
Ibu-ibu Sukahaji Menuntut Keadilan atas Rangkaian Kekerasan yang Mereka Alami
Forum Dago Melawan Turun ke Jalan, Menyemangati dan Menguatkan Sesama Korban Sengketa Tanah di Bandung
Analisis Penyebab
Keputusan majelis hakim PTUN Bandung yang mengabulkan gugatan PLK membuka babak baru dalam sengketa tanah pendidikan di Indonesia. Putusan itu membatalkan Sertifikat Hak Pakai yang dimiliki SMANSA, mewajibkan penyerahan dokumen tersebut, serta memproses sertifikat baru berbentuk Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PLK.
“Menyatakan eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tidak diterima seluruhnya,” bunyi putusan hakim sebagaimana dikutip BandungBergerak, Sabtu, 19 April 2025.
Pihak sekolah dan Biro Hukum Pemprov Jawa Barat segera merespons dengan rencana banding. Kepala SMANSA, Tuti Kurniawati, menyatakan, "Biro Hukum sedang mempersiapkan langkah-langkah dan upaya hukum selanjutnya, salah satunya banding dan langkah-langkah lainnya."
Arief Nadjemudin, analis hukum Biro Hukum Setda Provinsi Jawa Barat, mempertanyakan legal standing PLK yang dianggap tidak sah karena mengklaim sebagai penerus organisasi Het Christelijk Lyceum yang sudah dibubarkan. "Putusannya terkait dengan legal standing penggugat ini kan juga gak jelas," ujar Arief.
Putusan ini membangkitkan respons luas dari masyarakat Bandung. Petisi daring bertajuk “3 Dukungan Masyarakat Terhadap Warga SMANSA Kota Bandung” yang dimulai oleh Vee Marcelia telah mendapat lebih dari 1.500 tanda tangan per 21 April 2025. Isi petisi mencakup dukungan hukum, psikologis, dan sosial terhadap kelangsungan pendidikan di SMAN 1 Bandung.
“Kami percaya bahwa Sertifikat Hak Pakai atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan oleh BPN Kota Bandung adalah sah dan kuat secara hukum. Upaya hukum untuk mempertahankan hak ini harus terus dikawal oleh semua pihak,” tulis salah satu penandatangan, Eni Febriani.
Ketua Ikatan Alumni SMAN 1 Bandung, Inyo Tanius Saleh, turut menyuarakan penolakan atas keputusan hakim. "Sekolah ini adalah warisan ilmu, bukan objek rebutan," ujarnya. Ia menambahkan, "Kami menolak diam terhadap mafia tanah yang mencoba merebut ruang belajar anak bangsa."
Di sisi lain, kasus ini mencerminkan lemahnya pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Menurut data Asian NGO Coalition, Indonesia mencatat 241 konflik agraria sepanjang 2023, mencakup 638.188 hektar lahan dan melibatkan lebih dari 135.000 keluarga. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan konflik agraria tertinggi di Asia Tenggara.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 2.939 konflik agraria selama pemerintahan Presiden Joko Widodo—angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono. Sekjen KPA, Dewi Kartika, menekankan perlunya reforma agraria yang menyeluruh dan melibatkan masyarakat sipil.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan lain tentang Sengketa Tanah