CERITA ORANG BANDUNG #98: Maman, Tukang Lahang Keliling yang Semakin Langka
Maman penjual lahang dari Padalarang. Jalan kaki ke Kota Bandung. Jika bertemu Maman, silakan beli lahangnya dengan harga 10 ribu rupiah saja.
Penulis Prima Mulia1 Oktober 2025
BandungBergerak - Maman melangkah perlahan di atas aspal yang terpanggang terik matahari, menyusuri jalan-jalan tua di kawasan Braga, Asia Afrika, dan Jalan Sukarno, Bandung, 17 September 2025. Berbaju pangsi hitam yang semakin memudar dimakan waktu, pria berusia 70 tahun asal Padalarang itu memikul dua tabung bambu yang berisi air lahang, minuman dari hasil sadapan pohon nira (aren).
Di tengah deru kota yang serba cepat, tak banyak orang muda yang mengenal lahang. Generasi sekarang mungkin akan bertanya-tanya mengapa lelaki sepuh itu memikul dua tabung bambu. Keberadaan Maman dan bambunya seperti terasing di kota yang serba praktis. Padahal ia memikul warisan tradisi yang tersisa.
Setiap pagi Maman naik kereta api dari Padalarang sampai Stasiun Bandung. Dari situ ia berjalan menyusuri trotoar menuju pusat kota di sekitar Alun Alun Bandung untuk menjajakan lahang pada siapa saja yang ia temui.
Maman baru menjual 3 gelas lahang seharga 10.000 rupiah per gelas sebagai penglaris hari itu. Tak mudah menjual minuman dengan cara-cara tradisional. Ia Harus bersaing dengan banyak penjual minuman, mulai dari kopi es yang dijajakan dengan sepeda listrik, minuman kemasan yang harganya murah, dan belum lagi dengan menjamurnya penjual minuman di pinggir jalan dan di kafe-kafe.
“Dan semakin sedikit orang yang tahu minuman air lahang. Apalagi jualannya kan pakai bambu dipikul, orang-orang muda mungkin gak akan nyangka saya jualan minuman,” kata Maman, sambil terbahak.
Beberapa orang yang sedang duduk di bangku-bangku sepanjang Jalan Sukarno menggelengkan kepala saat Maman menawarkan lahang. Pun saat ia melewati kerumunan di kawasan bursa Koran Cikapundung, mereka hanya menggeleng sambil tersenyum. Seorang Satpam malah bercakap-cakap dengan Maman sambil bertanya tentang cara pembuatan lahang.
Perjalanan ia lanjutkan ke arah pasar elektronik Cikapundung. Maman menyeberangi jembatan besi di atas Sungai Cikapundung, langsung mengarah ke kios-kios elektronik. Tiga pembeli langsung menghampiri, Maman memiringkan tabung bambunya ke gelas plastik yang dipegang pembeli.
“Lahang sudah sulit dicari, ini minuman tradisional langka,” kata Rudi, seorang pemilik pusat perbaikan televisi di pasar elektronik Cikapundung. “Saya nggak yakin anak-anak generasi sekarang tahu tentang lahang.”
Menurut Rudi, rasa lahang campuran antara rasa asam dan sedikit manis. Rasa kombucha atau minuman jamur teh mungkin cukup mirip dengan rasa lahang.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #96: Pesan Kemerdekaan dari Veteran Perempuan Siti Fatimah
CERITA ORANG BANDUNG #97: Agus Ada di Jalan
Semakin Jararang
“Sekarang yang jualan lahang juga nyaris tidak ada, yang belinya juga tidak ada kalau bukan orang yang benar-benar tahu tentang lahang,” timpal Maman.
Dewasa ini memang jarang sekali pedagang lahang yang keliling jalan kaki seperti Maman. Di masa lalu lain lagi ceritanya. Tahun 90-an para pedagang keliling tak asing ditemui.
Sepengetahuan BandungBergerak, saat ini di Kota Bandung penjual lahang keliling hanya satu-satunya, yaitu Maman. Maman sering terlihat di car free day Dago, di sepanjang Jalan Braga, Alun-Alun Bandung, atau di keramaian ruang publik Jalan Asia Afrika, dan di acara-acara festival berskala besar.
Maman pertama kali berjualan lahang sekitar tahun 1990-an. Waktu itu segelas lahang hanya 15 rupiah! Mulai tahun 2005 Maman memberanikan diri berjualan ke Kota Bandung.
“Di Padalarang dan sekitarnya tidak terlalu ramai. Jadi coba jualan ke kota saja,” katanya.
Ada dua tabung bambu yang biasa dipikul Maman. Satu tabung setara dengan 30 gelas lahang. Saat ini ia tidak lagi menyadap air nira sendiri. Berbeda dengan dulu, ia biasa melakukan penyadapan pohon nira.
Maman mendapatkan air lahang dengan cara membeli pada pembuat lahang di kampungnya. Di kampung Maman di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat masih banyak pohon nira (pohon kolang kaling yang disebut kawung oleh orang Sunda).
Namun jumlah perajin air nira pun mulai berkurang seiring dengan beralihnya lahan kebun semi hutan menjadi ladang pertanian atau properti. Padahal Kabupaten Bandung Barat sejak dulu terkenal sebagai daerah penghasil aci kawung atau tepung dari pokok pohon nira. Daerah ini juga terkenal memiliki penganan khas berbahan aci kawung.
Kini 35 tahun sudah Maman berjualan nira. Dia jadi saksi hidup yang merasakan bagaimana jenis-jenis minuman tradisional semakin tergerus pasarnya oleh minuman kemasan modern yang harganya murah dengan kemasan sangat bagus. Dia juga jadi saksi hidup bagaimana lahan tumbuh pohon nira semakin terdesak oleh perluasan ladang tanaman semusim atau alih fungsi lahan karena pembangunan permukiman.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB