CERITA ORANG BANDUNG #97: Agus Ada di Jalan
Pergulatan hidup Agus di atas aspal Bandung demi menghidupi keluarga kecilnya. Solidaritas satu aspal para ojol jadi penyemangat.
Penulis Ryan D.Afriliyana 12 September 2025
BandungBergerak – Berbekal ponsel dan powerbank, Agus Ace Kurnia, 35 tahun, melepas lelah di pinggiran trotoar persimpangan Jalan Batununggal, Bandung. Di bawah naungan pohon rindang ia menghadap lapangan rumput hijau terhampar. Tapi tatapannya kosong. Hembusan panjang asap tembakau keluar dari mulutnya. Masih ada sisa peluh di wajah pengemudi ojek online (ojol) ini.
Orang-orang sibuk melewati persimpangan. Agus masih terdiam dalam kesunyian. Jarum jam menunjuk ke angka 15.00 WIB, waktu menjelang bubaran sekolah dan pegawai. Namun aplikasi pencari uangnya juga diam saja, belum menunjukkan ada notifikasi panggilan atau pesanan. Sementara saldo di aplikasinya defisit. Usahanya sedari pagi belum bisa menutup modal operasional sehari-hari, yaitu makan, minum, dan bensin.
Agus sudah 3 tahun menjalani profesi ojol. Bukan karena profesi ini paling nyaman atau mencukupi kebutuhan hidupnya, tetapi karena ia sulit mendapatkan pekerjaan lain. Semenjak keluar dari tempatnya bekerja sebagai buruh pabrik, ia sudah berusaha melamar ke mana-mana.
"Ngelamar pekerjaan ke sana ke sini makin susah, jadi yang ada saja kerja itu," ucap Agus, saat ditemui BandungBergerak, Sabtu, 6 September 2025.
Menurutnya, jasa ojol menjadi satu-satunya jawaban untuk memperpanjang kehidupannya. Istri dan dua orang anaknya menunggu di rumah. Kedua anaknya masih kecil dan bersekolah, yang pertama kelas lima SD dan si bungsu kelas dua. Sebagai tulang punggung keluarga ia harus terus bekerja apa pun yang penting halal.
"(Anak-anak) masih pada kecil. Keur meujeuhna lah ceuk Sunda na mah," kata Agus, tertawa.
Istrinya merupakan seorang ibu rumah tangga. Mengurusi rumah tangga bukan pekerjaan ringan, bahkan lebih berat dari pekerjaan apa pun. Agus tidak mau membebani istrinya dengan pekerjaan lain. Sebagai suami ia sudah digariskan untuk menafkahi istri dan anak-anak.
Awal Mula Perjuangan Agus
Agus lulusan SMK. Lulusan SMK mempunyai kekurangan tersendiri yaitu dalam mencari pekerjaan. Ia tidak bisa fleksibel seperti lulusan-lulusan SMA. Meski begitu, Agus tidak pernah takut untuk mencoba. Berbagai profesi sudah ia rasakan.
Setelah lulus sekolah ia ditawari pekerjaan oleh kakaknya menjadi juru parkir di sebuah hotel terkemuka di Kota Bandung. Dua tahun menjadi juru parkir tidak menjamin kebutuhan hidupnya tercukupi. Ia memutuskan berhenti.
"Kecil gajinya, 700 ribu (rupiah) per bulan," keluhnya.
Selepas menjadi juru parkir, Agus mencoba melamar menjadi satpam dengan bantuan yayasan. Ia nyaman menjadi petugas keamanan, tetapi lingkungan kerjanya tidak kondusif.
"Masuk yayasan nyogok itu juga. Susah mungkin ya kalau enggak gitu," kata Agus, tersenyum getir.
Ia merasa tidak mempunyai mental yang kuat untuk menghadapi segala bentuk permasalahan dari internal dan eksternal di lingkungan kerjanya, meskipun pekerjaan satpam tidak terlalu menguras tenaga.
"Cuma selalu ada aja omongan yang tidak mengenakan dari orang luar atau dalam," lanjutnya.
Agus memilih mengundurkan diri menjadi satpam dan mencoba mencari pekerjaan lain. Suatu hari di mendapatkan panggilan kerja dari salah satu pabrik di Kiaracondong.
Agus diterima kerja sebagai buruh pabrik. Ia mulai merasa nyaman bekerja di sana, ekonominya stabil selama beberapa tahun.
Cobaan bagi orang kecil selalu datang lebih besar. Krisis yang disebabkan pandemi Covid-19 melanda dan berdampak pada pabriknya. Untuk kesekian kalinya Agus terpental dari pekerjaannya.
Di tengah jatuh bangun kehidupan ekonominya, Agus tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bantuan itu mungkin ada namun tidak pernah sampai kepadanya.
"Nu deukeut heula weh, turun heula weh. Daripada batur mah," canda Agus.
Selain tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah, lowongan kerja pun sulit. Agus harus bersaing dengan banyak para pencari kerja lainnya. Ia akhirnya memilih menjadi ojol.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Jawa Barat masih menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia per Februari 2025, meski secara persentase terjadi penurunan dibandingkan periode sebelumnya. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 6,74 persen, turun 0,17 persen dari Februari 2024 yang mencapai 6,91 persen. Namun secara jumlah, pengangguran di Jawa Barat tetap bertambah sebanyak 20 ribu orang.
Agus berharap pemerintah menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan agar orang yang putus sekolah atau sudah lama menganggur lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Ia juga berharap bantuan pemerintah tepat sasaran.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #95: Atang, Seorang Juru Parkir di Tengah Pasang Surut Bisnis Distro
CERITA ORANG BANDUNG #96: Pesan Kemerdekaan dari Veteran Perempuan Siti Fatimah

Kerasnya Hidup di Jalan
Selama tiga tahun menjadi pengemudi ojek online (ojol), Agus menghadapi berbagai tantangan. Salah satu yang paling berat adalah sistem lelang di aplikasinya. Aplikasi ini hanya menampilkan tiga order teratas, membuat persaingan antarojol sangat ketat dan menyulitkan pencarian order.
Akibatnya, penghasilannya tidak menentu. Pendapatan kotor sering kali habis untuk biaya operasional seperti bensin dan saldo minimum aplikasi, belum termasuk kebutuhan sehari-hari.
“Ibaratnya gini ya, kadang sehari ada (order), kadang enggak. Penghasilan per hari pun kadang kotor, ya kotor, enggak bersih,” keluh Agus.
Beberapa pengemudi memilih menggunakan lebih dari satu aplikasi ojol untuk memperbesar peluang mendapat order. Namun, Agus tidak melakukan hal itu karena keterbatasan modal.
“Tapi kalau ojeknya punya banyak akun, mungkin enak ya. Kalau saya cuma pegang satu,” katanya.
Tantangan lain adalah kemacetan, terutama di pagi hari pukul 6–8, terutama di kawasan industri. Kemacetan ini memotong waktu kerja dan menurunkan potensi penghasilan. Berdasarkan laporan TomTom Traffic Index, Bandung bahkan dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia, mengalahkan Jakarta.
Kemacetan ini tak lepas dari jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat, sementara transportasi publik belum memadai. Data BPS Jawa Barat tahun 2024 mencatat jumlah kendaraan di Kabupaten Bandung mencapai 1.147.948 unit, dan di Kota Bandung 1.543.517 unit.
Agus juga kerap menghadapi penumpang yang membatalkan order saat ia sudah tiba di lokasi penjemputan. Ia pernah mengalami gesekan dengan ojek pangkalan yang tidak ramah terhadap pengemudi online.
“Apalagi kalau kita masuk zona merah, si penumpang enggak kasih tahu. Saya juga enggak tahu itu wilayah jomer. Eh, malah diberhentiin,” ujar Agus kesal.
Meski begitu, solidaritas antarpengemudi ojol menjadi penguat. Saat ada pengemudi mogok, mereka saling bantu, mendorong motor, dan menunjukkan kepedulian.
“Kalau ada apa-apa di jalan, mereka solid. Suka bantuin kalau mogok, rasanya kayak saudara,” ungkap Agus.
Solidaritas Satu Aspal
Tragedi Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol di Jakarta, memicu solidaritas dari sesama ojol, mahasiswa, dan masyarakat sipil. Ratusan pengemudi turun ke jalan menunjukkan dukungan. Salam satu aspal menggema.
Agus menyampaikan duka cita atas wafatnya Affan. Ia menilai peristiwa itu tidak akan terjadi jika aparat tidak lalai dalam menjalankan tugas.
“Itu kan karena kelalaian mereka. Coba kalau mereka santai,” ujarnya.
Menurut Agus, kejadian itu sangat fatal karena dilakukan dalam keadaan sadar. “Mobil segede itu nabrak orang, ya mati,” katanya.
Agus juga menyayangkan bahwa profesi ojol kerap diremehkan, padahal risikonya tinggi. Setiap pekerjaan memang punya risiko, apalagi di jalan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB