• Opini
  • Koperasi Merah Putih versus Cita-cita Bung Hatta: Jangan Jadikan Koperasi Hanya Menjadi Penyalur Bantuan Pemerintah!

Koperasi Merah Putih versus Cita-cita Bung Hatta: Jangan Jadikan Koperasi Hanya Menjadi Penyalur Bantuan Pemerintah!

Koperasi Merah Putih jangan sampai hanya menjadi label baru untuk program lama yang top-down dan berorientasi proyek.

Mochamad Taufik

Pegiat Literasi

Ilustrasi. Kapitalisme membuat kelas pemodal berkuasa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

1 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Presiden terpilih Prabowo Subianto meluncurkan program “Koperasi Merah Putih”. Gagasan ini, pada dasarnya, patut diapresiasi. Akses modal bagi UMKM memang masih seperti mimpi. Namun, jika kita mencermati konsepnya, ada aroma top-down yang kuat. Ini berisiko mengubah koperasi –yang seharusnya menjadi sokoguru ekonomi rakyat– hanya menjadi alat penyalur bantuan dan kredit program belaka.

Pertanyaannya, apakah Koperasi Merah Putih ini sungguh-sungguh mewujudkan koperasi yang dicita-citakan Bung Hatta, atau justru mengkhianati prinsip dasar koperasi yang ia perjuangkan?”

Bagi Bung Hatta, koperasi bukan sekadar badan usaha. Ia adalah sebuah gerakan penyadaran. Sebagaimana ia tulis dalam berbagai pidato dan esainya, koperasi adalah “jantung” dari demokrasi ekonomi. Tujuannya bukan sekadar bagi-bagi modal, tapi membangun kemandirian.

“Koperasi haruslah lahir dari bawah, dari kekuatan rakyat sendiri, bukan diciptakan oleh pemerintah dari atas,” begitu prinsip Hatta yang terkenal. Baginya, negara hanya bertugas menciptakan iklim yang sehat: membuat regulasi yang adil, memberikan pendidikan, dan insentif. Bukan mendikte atau menjadikannya proyek politik.

Koperasi sejati adalah koperasi yang multifungsi. Ia tak hanya memberi pinjaman, tapi juga membeli bahan baku secara kolektif (lebih murah), memasarkan hasil produksi bersama (lebih kuat), dan yang terpenting, menjadi sekolah demokrasi bagi anggotanya. Prinsip “satu anggota satu suara” adalah fondasinya, mengalahkan prinsip “satu saham satu suara” yang kapitalistik.

Baca Juga: Dukungan Pemerintah terhadap Koperasi di Kota Bandung masih Minim
Di Balik Bayang-bayang Sang Proklamator, Kiri Revolusioner dan Sosialis Koperasi
Membedah Koperasi Rumah di Bandung, Siasat Pembiayaan Alternatif di Tengah Melambungnya Harga Hunian

Koperasi Merah Putih: Bank Mini atau Alat Penyalur Bantuan?

Sekarang, mari kita tilik Koperasi Merah Putih. Dari yang terungkap, program yang digagas pemerintah pusat ini akan menyalurkan kredit UMKM dan menjadi kanal untuk program bantuan seperti BLT BBM atau subsidi pupuk. Di satu sisi, ini brilian. Penyaluran jadi lebih terintegrasi dan mudah diakses. Tapi, di sisi lain, ini seperti pisau bermata dua.

Pertama, pendekatannya top-down. Ini bertolak belakang dengan prinsip Hatta. Koperasi yang diciptakan oleh instruksi dari Jakarta berisiko lemah secara organik. Ia tidak lahir dari kebutuhan dan kesadaran bersama warga, tapi dari program paket menteri. Akibatnya, ketika pemerintah berganti atau programnya habis, koperasi ini bisa mati suri.

Kedua, fokusnya pada kredit. Ini menyempitkan fungsi koperasi menjadi sekadar “bank mini” atau paylater milik pemerintah. Padahal, masalah UMKM bukan cuma modal. Masalah terbesarnya adalah akses pasar, inovasi, dan daya saing. Dengan hanya fokus pada utang, kita justru bisa membebani UMKM dengan cicilan, tanpa menyelesaikan masalah utamanya.

Ketiga, berisiko menjadi alat politik dan birokrasi. Bayangkan, koperasi yang seharusnya otonom tiba-tiba menjadi ujung tombak penyaluran BLT. Ini berpotensi memolitisasi koperasi. Keanggotaan bisa dikaitkan dengan dukungan, atau prosesnya menjadi birokrasi dan rawan korupsi.

Data dari Kementerian Koperasi dan UKM sendiri (2022) menunjukkan bahwa dari sekitar 127 ribu koperasi aktif, banyak yang bermasalah dengan tata kelola. Menambah jumlah koperasi tanpa memastikan pengelolaan yang profesional adalah langkah yang berisiko.

Lalu, Jalan Tengahnya Apa?

Kita tidak perlu menolak mentah-mentah Koperasi Merah Putih. Niatnya baik. Tapi, konsepnya perlu dikoreksi agar selaras dengan roh koperasi ala Hatta.

  1. Revitalisasi, bukan penciptaan baru. Alih-alih membangun koperasi baru dari nol, pemerintah seharusnya memperkuat koperasi yang sudah ada di desa dan kelurahan. Beri mereka akses modal, pendampingan manajemen, dan teknologi. Ini lebih sustainable.
  2. Fasilitator, bukan operator. Pemerintah harus mundur selangkah. Jangan jadi operator yang mendikte, jadilah fasilitator yang memampukan. Alokasikan dana untuk pendidikan dan pelatihan pengurus koperasi tentang prinsip dasar koperasi dan tata kelola yang bersih.
  3. Lebih dari sekadar kredit. Bantu koperasi mengembangkan sayapnya. Bangun platform pemasaran digital bersama, atau fasilitasi pembelian bahan baku secara kolektif. Jadikan koperasi sebagai ekosistem usaha, bukan sekadar rentenir yang lebih baik.

Dari penyampaian di atas penulis hanya ingin menyampaikan jangan hanya menjadi nama. Bung Hatta pernah berkata, “Koperasi adalah persaudaraan dan tolong-menolong yang dijalankan sebagai suatu perusahaan.”

Koperasi Merah Putih jangan sampai hanya menjadi label baru untuk program lama yang top-down dan berorientasi proyek. Ia haruslah menjadi wadah bagi persaudaraan ekonomi yang mandiri dan berdaulat.

Mari kritisi, bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menyempurnakan. Agar cita-cita Hatta untuk menjadikan koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia tidak hanya menjadi romantisisme sejarah, tapi kenyataan yang hidup dan membumi. Kita butuh koperasi yang merdeka, bukan koperasi yang dijadikan alat.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//