• Berita
  • Membedah Koperasi Rumah di Bandung, Siasat Pembiayaan Alternatif di Tengah Melambungnya Harga Hunian

Membedah Koperasi Rumah di Bandung, Siasat Pembiayaan Alternatif di Tengah Melambungnya Harga Hunian

Penduduk Kota Bandung semakin padat. Mendapatkan rumah tinggal yang layak menjadi impian banyak orang yang kian sulit terwujud.

Lokakarya dan Diskusi Festival Koperasi Perumahan Bandung: Tetap Bisa Jajan Kopi, Tetap Bisa Punya Rumah, dan Senin Harga Gak Naik, Sabtu, 9 Agustus 2025. (Foto: Iklima Syaira/BandungBergerak)

Penulis Nabilah Ayu Lestari12 Agustus 2025


BandungBergerak.idCerita penggusuran kampung kota membentang antara Bandung - Jakarta. Dengan dalih menghapus permukiman kumuh tetapi pada akhirnya penggusuran semakin membenamkan warga kampung kota yang kehilangan ruang hidup. Di antara rangkaian cerita duka penggusuran, warga Kampung Susun Kunir, Jakarta Utara mungkin menjadi pengecualian. Perlawanan warga akhirnya membuahkan koperasi yang mengurusi ruang hidup warga.

Indri Yuliani, warga asli Kampung Susun Kunir sekaligus perwakilan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) bercerita, tahun 2015 rumah warga di Kampung Kunir digusur oleh pemerintah DKI. Informasi penggusuran disampaikan hanya dalam tempo dua hari.

Sebagian warga bertahan di sisa puing bangunan yang digusur. Mereka mendirikan tenda pengungsian meski berkali-kali diusir. Bertahun-tahun mereka bertahan. Tahun 2017 mereka dipindahkan ke hunian sementara.

Namun, perjuangan tak berhenti di situ. Warga bekerja sama dengan Architecture Sans Frontières (ASF) Indonesia untuk merancang pembangunan kembali sekaligus mengumpulkan dokumen dan mempelajari jalur advokasi hukum demi merebut kembali hak kepemilikan.

“Kami mencari solusi, mempelajari, dan mengumpulkan berkas untuk mengajukan proses advokasi agar mendapatkan keadilan dan hak yang seharusnya kami miliki,” tegas Indri di acara Lokakarya dan Diskusi Festival Koperasi Perumahan Bandung: Tetap Bisa Jajan Kopi, Tetap Bisa Punya Rumah, dan Senin Harga Gak Naik, Sabtu, 9 Agustus 2025. Acara ini diselenggarakan Project Multatuli, 334455 Demokrasi Ekonomi, bagirumah.id, BandungBergerak, Dago Melawan, Demokrasi Kita, Konods Player Gund, Agora.

Indri Yuliyani adalah seorang organisator komunitas yang berbasis di Jakarta dan saat ini menjabat sebagai koordinator koperasi Kampung Susun Kunir. Kampung Susun Kunir merupakan perumahan pengganti yang dikelola koperasi untuk tiga puluh tiga keluarga yang digusur. Pembangunan rumah susun melibatkan para arsitek yang bekerja sama erat dengan warga Kunir, pengorganisir komunitas, dan Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta selama lebih dari lima tahun.

Kemenangan warga Kampung Kunir menjadi oase di tengah maraknya penggusuran. Konsep koperasi tampaknya menjadi alternatif bagi warga yang berada dalam posisi rentan tergusur dan sulit mendapatkan hunian karena harganya yang selangit.

Selain koperasi Kampung Susun Kunir, di Jakarta terdapat Koperasi Flat Menteng yang membangun hunian di kawasan elite dengan harga mulai 380 juta rupiah. Koperasi Flat Menteng digagas Marco Kusumawijaya, arsitek sekaligus aktivis. Ia menjelaskan, beberapa tahun terakhir mulai bermunculan kebijakan “flat” yang memungkinkan hunian di tengah kota menjadi solusi pembangunan.

Menurut Marco, jika Bandung ingin membangun perumahan layak di pusat kota, perlu adanya pendekatan dialog dan partisipasi aktif untuk mencari solusi atas permasalahan tata letak kota yang bermasalah. Selain itu, harus ada ruang diskusi bersama antara warga dan pemerintah untuk membahas isu perkotaan.

“Setiap orang berhak memiliki tempat tinggal yang layak, sesuai amanat PBB tentang Hak Asasi Manusia,” tegas Marco, di acara yang sama. Hal ini sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang diadopsi oleh PBB, bahwa perumahan merupakan bagian tak terpisahkan dari hak atas standar hidup yang memadai.

Di kota yang makin mahal untuk ditinggali, koperasi perumahan menjadi langkah kecil untuk merebut kembali hak atas ruang hidup. “Kita harus lebih bersuara untuk bisa bekerja sama dengan pemerintah, ketika mereka tidak ada kebijakan yang diubah, kalau kata orang Jaksel itu We have to will,” ujarnya.

Baca Juga: Sebuah Rumah Cagar Budaya di Saritem
Kebijakan Perumahan Rakyat di Bandung Belum Berpihak pada Warga Kelas Menengah Bawah

Lokakarya dan Diskusi Festival Koperasi Perumahan Bandung: Tetap Bisa Jajan Kopi, Tetap Bisa Punya Rumah, dan Senin Harga Gak Naik, Sabtu, 9 Agustus 2025. (Foto: Iklima Syaira/BandungBergerak)
Lokakarya dan Diskusi Festival Koperasi Perumahan Bandung: Tetap Bisa Jajan Kopi, Tetap Bisa Punya Rumah, dan Senin Harga Gak Naik, Sabtu, 9 Agustus 2025. (Foto: Iklima Syaira/BandungBergerak)

Merebut Hak

Punya rumah di tengah kota kini menjadi kemewahan. Harga rumah di Kota Bandung telah menembus angka yang tidak masuk akal terutama bagi masyarakat mengengah ke bawah. Mereka kemudian memilih hidup di tempat-tempat huinan padat, di kos-kos sempit tanpa ventilasi, di kontrakan-kontrakan dengan harga sewa yang terus naik, atau menumpang di rumah keluarga yang sudah penuh.

Imam Wiratmadja, pegiat isu-isu perkotaan melalui Platform Rusun Swadaya menganalisa bahwa untuk menjawab kepadatan penduduk Kota Bandung kuncinya ada di penataan kota. Menurutnya, suatu wilayah yang padat biasanya memiliki kelengkapan-kelengkapan sosial yang padat juga. Dengan penataan yang baik, maka orang tidak perlu lagi pergi jauh-jauh karena semua sudah tersedia di lokasi padat penduduk. Dengan penataan maka Bandung bisa jadi terhindar dari kemacetan.

Imam juga menyoroti program rumah subsidi pemerintah. Namun mayoritas rumah subsidi dibangun jauh dari pusat kota, memaksa warga mengorbankan waktu dan ongkos transportasi demi tempat tinggal. Ironisnya, lahan strategis di kota justru lebih sering dialokasikan untuk apartemen mewah dan kawasan komersial, bukan perumahan rakyat.

“Saya kira, peran yang dibutuhkan adalah peran negara, carilah dimana peran negara atau para pemangku yang bisa membantu masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan ini,” ujar Imam.

Di tengah kebijakan pemerintah yang kurang memihak pada perumahan rakyat, Imam berharap masyarakat terus menyuarakan tuntutannya. Menurutnya, masyarakat harus bergerak untuk merebut hak ruang hidupnya.

Sementara itu, Iman Herdiana dari BandungBergerak memaparkan data bahwa saat ini pembangunan di Bandung tak terkendali, alih fungsi lahan terjadi besar-besaran, dan penggusuran mengancam kampung-kampung kota seperti yang dihadapi warga Dago Elos dan Sukahaji. Di saat yang sama, jumlah penduduk Kota Bandung terus meningkat.

Ia mengutip hasil penelitian bahwa kebutuhan rumah di Kota Bandung mencapai 241.706 unit, sementara harga properti melesat jauh dari daya beli warga. “Rata-rata warga hanya sanggup menutup kebutuhan harian, bukan membeli rumah,” ujar Iman, mengacu pada penghasilan kelompok masyarakat menengah ke bawah dengan UMK Bandung 2025 4,48 juta rupiah. UMK ini akan sulit dipakai untuk membeli ataupun menyicil rumah.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//