• Opini
  • Di Balik Bayang-bayang Sang Proklamator, Kiri Revolusioner dan Sosialis Koperasi

Di Balik Bayang-bayang Sang Proklamator, Kiri Revolusioner dan Sosialis Koperasi

Warisan politik kita masih tak beranjak dari pola lama: sejarah adalah instrumen legitimasi, bukan refleksi kritis.

Mochamad Taufik

Pegiat Literasi

Penulisan ulang sejarah dikhawatirkan menjadi alat legitimasi kekuasaan politik (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

8 September 2025


BandungBergerak.id – Sejarah Indonesia kerap disampaikan di ruang kelas dengan penyampaian yang monoton, seperti sebuah kitab suci yang baku yang tidak boleh diubah apalagi dikritik. Padahal sejarah sejatinya bukanlah peristiwa kaku, melainkan arena perebutan makna. Di balik setiap narasi resmi, selalu ada jejak yang sengaja dihapus, tokoh yang ditenggelamkan, dan pertanyaan yang tak pernah tuntas dijawab. Ambil saja kisah dua sosok di persimpangan sejarah kemerdekaan kita –Tan Malaka dan Mohammad Hatta– mereka adalah bukti bagaimana sejarah Indonesia lebih sering ditulis dengan tinta penguasa daripada dengan darah kenyataan.

Sebab, sejarah Indonesia terlalu lama dibekukan pada satu wajah –Soekarno. Ia di dimahkotai sebagai “Bapak Bangsa”, merupakan simbol kemerdekaan dan ikon revolusi. Pandangan besarnya tentang Indonesia yang merdeka dan berdaulat memang menggema dari retorikanya yang penuh daya pikat. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, Soekarno bukanlah satu-satunya motor penggerak kemerdekaan. Bahkan, posisinya sebagai presiden pertama lebih banyak ditentukan oleh momentum kekosongan ketika Jepang menyerah dan Belanda belum kembali berkuasa, ketimbang melalui proses yang matang dan demokratis.

Banyak orang lupa bahwa kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanyalah awal perjalanan, bukanlah sebuah akhir dari perjuangan. Namun, Soekarno sering terjebak hanya dalam sebuah euforia simbol kemerdekaan. Alih-alih membangun fondasi demokrasi yang stabil, ia justru memusatkan kekuasaan di tangannya (otorism), ia tak segan menyingkirkan kawan seperjuangan yang berbeda pandangan, hingga tenggelam dalam gaya hidup yang jauh dari kata kesederhanaan yang kerap kali ia suarakan. Pada titik puncaknya, ia sempat berusaha untuk menjadi presiden seumur hidup. Cita-cita ini  memperlihatkan jurang antara harapan kemerdekaan yang ia kobarkan di awal perjuangan dengan praktik kekuasaan yang semakin jauh dari niat awalnya sendiri.

Lantas dari kisah Bapak Bangsa mari kita lirik “Bapak Republik”,  sebuah julukan yang diberikan oleh Muhammad Yamin pada Tan Malaka –sang bayangan yang tak diundang dalam sejarah Indonesia. Nama Tan Malaka sudah tidak asing lagi kita dengar, tapi namanya terasa samar karena perannya berseberangan dengan Sang Proklamator. Namanya hanya sepintas diingat lalu, nyaris seperti catatan kaki. Padahal, Tan adalah salah satu otak paling visioner pada masanya.  Tan bicara lantang tentang penindasan yang tidak akan pernah hilang, jika rakyat masih percaya bahwa pemimpin adalah tuan bukan pelayan. Ia selalu berpikir jauh tentang konsep yang revolusioner tentang republik, pikirannya itu jauh sebelum Soekarno mengglorifikasikan tentang konsep republik. Tan membangun jejaring internasional dari Moskow hingga Manila, menulis Madilog yang mendobrak cara berpikir feodal, bahkan mengusulkan strategi gerilya jauh sebelum perang rakyat benar-benar terjadi. Di sisi lain sahabat dari Tan –Soekarno memilih untuk berkoordinasi dengan Jepang.

Namun, dalam narasi resmi kemerdekaan, Tan Malaka lebih sering diposisikan sebagai troublemaker. Orde Lama mencurigainya karena dianggap mengganggu “pusat cahaya revolusi” yaitu Soekarno, sementara Orde Baru menenggelamkannya karena jejak Marxisme yang melekat pada Bapak Republik. Ironisnya, penguasa pasca reformasi pun masih gugup mengakui Tan secara penuh, karena warisan pemikirannya sering dianggap “berbahaya” bagi status quo. Ideologi Tan hingga saat ini masih dianggap berbahaya karena menantang narasi sejarah resmi, membongkar trauma ideologi kiri, serta mengkritik ketergantungan ekonomi pada pinjaman utang IMF, Bank Dunia, dan ADB. Ia selalu menegaskan, “Indonesia tidak akan merdeka dengan meminjam uang dari kapitalis asing, karena yang memberi hutanglah yang akan menjadi tuan.” Tak hanya itu, Tan menantang narasi sejarah resmi dan terus mengingatkan bahwa ketergantungan pada modal besar hanya akan mengganggu kenyamanan elite yang lebih suka menjaga stabilitas semu. Tan seperti hantu,  yang ditolak untuk direstui oleh republik yang pernah ia perjuangkan.

Jika kita jujur, proklamasi  di tanggal 17 Agustus 1945 tidak bisa dipisahkan dari garis-garis pemikiran Tan Malaka. Ia adalah salah satu yang  keras menolak gagasan kompromi dengan Jepang dan mendorong agar kemerdekaan benar-benar hasil tangan bangsa sendiri. Namun, dalam buku pelajaran, keberaniannya dipinggirkan demi mempertahankan “kebesaran” dua nama: Soekarno dan Hatta.

Baca Juga: Pemerintah Perlu Belajar Sejarah Sebelum Menaikkan PPN
Omong-omong soal Buku Teks Sejarah
Bagaimana Proyek Pembuatan Sejarah Resmi Versi Pemerintah Berpotensi Menggerus Inklusivitas, Mengerdilkan Penulisan Sejarah Lokal, dan Menghilangkan Fakta Pelanggaran HAM

Tergilas Narasi

Jika Tan Malaka hilang dalam bayangan, maka Mohammad Hatta pun tergilas oleh narasi yang sepenuhnya beruntung. Ia memang dicatat sebagai proklamator, bahkan diberi gelar “Bapak Koperasi”. Namun, sejarah resmi yang diglorifikasi Orde Baru menjadikan Hatta sekadar second man, sosok pendamping yang patuh di samping Soekarno. Padahal, Hatta adalah seorang intelektual dengan visi politik yang tegas dan sering berbeda dengan Soekarno.

Hatta menolak demokrasi terpimpin, ia ingin Indonesia berlabuh pada demokrasi parlementer yang sehat. Ia menolak militerisme, mendorong kemandirian ekonomi melalui koperasi, dan menolak segala bentuk kultus individu. Tapi, gagasan Hatta dipaksa tenggelam. Orde Lama menganggapnya terlalu “dingin” dan tak revolusioner, sementara Orde Baru memelintirnya sekadar menjadi ikon koperasi tanpa pernah benar-benar menjalankan cita-citanya. Bahkan hingga kini, koperasi sering menjadi jargon kosong dalam pidato pejabat tanpa pernah diwujudkan sebagai pilar ekonomi rakyat.

Sejarah resmi membuat Hatta seperti patung: dihormati, tapi bisu. Ia ditaruh di museum, dipuja sebagai simbol, tetapi dilucuti dari gagasan kritisnya. Pemusatan narasi kemerdekaan pada Soekarno merupakan sejarah yang dipangkas dan narasi yang dilipat. Meski perannya besar Soekarno pada akhirnya membuat sejarah Indonesia pincang. Soekarno menjadi ikon tunggal, sementara Tan Malaka dipinggirkan dan Hatta direduksi. Orde Lama berusaha menyingkirkan setiap kritik terhadap Soekarno, Orde Baru menyingkirkan Soekarno sekaligus menghancurkan jejak kiri termasuk Tan, lalu menggembosi Hatta menjadi sekadar “logo koperasi”. Kini, setelah dua rezim tumbang, warisan politik kita masih tak beranjak dari pola lama: sejarah adalah instrumen legitimasi, bukan refleksi kritis.

Narasi resmi tentang proklamasi masih seperti drama panggung dua tokoh. Padahal, di belakang layar ada banyak aktor: Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan tentu saja Tan Malaka. Tapi rakyat hanya dikenalkan pada dua sosok, dengan naskah yang sudah dibakukan. Akibatnya, generasi muda tumbuh dengan pandangan sempit tentang kemerdekaan, seolah-olah ia lahir dari ruang rapat kecil, bukan dari pertarungan ideologi, perdebatan sengit, dan darah yang tercecer di medan perang.

Narasi Sejarah

Saatnya menggugat sejarah dan membuka tabir pertanyaan paling tajam adalah: siapa yang diuntungkan dari sejarah yang dipangkas ini? Jawabannya sederhana: penguasa. Orde Lama menggunakan sejarah untuk meneguhkan mitos Soekarno, Orde Baru menghapus setiap jejak pemikiran kiri untuk mengukuhkan anti komunisme, dan penguasa hari ini tetap enggan mengusik narasi itu karena takut membuka luka lama. Padahal, tanpa keberanian menggali ulang sejarah, bangsa ini akan terus berjalan dengan ingatan setengah-setengah.

Tan Malaka bukan sekadar tokoh kiri yang gagal. Ia adalah simbol bahwa ide-ide yang lahir dari penderitaan rakyat bisa lebih tajam daripada retorika kekuasaan. Hatta bukan sekadar proklamator kedua; ia adalah penyeimbang yang justru memberi fondasi moral agar republik ini tidak jatuh dalam kultus individu. Menghapus keduanya dari narasi utama sama saja dengan membiarkan republik ini berjalan pincang, hanya dengan satu kaki.

Menulis ulang sejarah bukan berarti menafikan Soekarno. Ia tetap tokoh sentral. Tetapi menuliskan Tan Malaka dan Hatta secara jujur berarti mengembalikan sejarah pada rakyat, bukan pada penguasa. Indonesia merdeka bukan karena satu-dua nama, melainkan karena pergumulan panjang ide, strategi, dan pengorbanan dari banyak arah seperti Tan Malaka karena  keras menolak kompromi dengan Jepang dan menegaskan bahwa kemerdekaan hanya sah bila lahir dari tangan bangsa sendiri. Suara lantangnya dipinggirkan demi mengukuhkan kebesaran dua nama: Soekarno dan Hatta.

Selama kita masih membaca sejarah versi negara, kita akan terus hidup dalam bayang-bayang Proklamasi yang tidak utuh. Tugas kita adalah menyingkap tabir, mengingat kembali mereka yang ditenggelamkan, dan berani mengakui bahwa republik ini lahir bukan dari mitos, melainkan dari pertarungan gagasan yang keras dan kadang tragis

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//