• Narasi
  • Pemerintah Perlu Belajar Sejarah Sebelum Menaikkan PPN

Pemerintah Perlu Belajar Sejarah Sebelum Menaikkan PPN

Menggali asal mula pajak membuka banyak cerita menarik tentang peradaban manusia. Salah satu penyebab utama Perang Diponegoro adalah kebijakan pajak yang berat.

Naufal Tri Hutama

Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ilustrasi. Ilmu pengetahuan mesti bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

13 Januari 2025


BandungBergerak.id – Pajak, istilah yang terkadang memancing kerut dahi rakyat, adalah sebuah sistem yang punya akar panjang dalam sejarah kita. Sejak zaman kerajaan hingga sekarang, pajak telah menjadi alat penguasa untuk mengelola sumber daya dan menjalankan pemerintahan.

Belakangan ini, isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sedang ramai diperbincangkan. Isu ini memicu pro dan kontra di masyarakat, tetapi menarik untuk melirik ke belakang: bagaimana sebenarnya sejarah pajak di Indonesia?

Tapi, pernahkah kita benar-benar bertanya-tanya dari mana asal-usul pajak itu sendiri? Sebagai seseorang yang sering terpikir betapa pajak ini sangat berpengaruh pada perputaran ekonomi kita sehari-hari, saya merasa perlu menelusuri sejarah panjangnya. Menggali asal mula pajak ternyata membuka banyak cerita menarik tentang peradaban manusia.

Baca Juga: Kenaikan Pajak Bukan Solusi Tepat untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Menyoal Penerapan PPN 12 Persen, Mengapa Rakyat Kecil Selalu Jadi Korban Kebijakan Negara?
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Gen Z di Persimpangan Ngopi di Kafe, Menjadi Generasi Sandwich, dan Kenaikan Pajak

Perkembangan Sistem Pajak di Dunia

Dalam buku For Good and Evil: The Impact of Taxes on the Course of Civilization oleh Charles Adams (1993), pajak pertama kali tercatat dalam peradaban Mesir Kuno sekitar 3000 SM. Firaun saat itu menggunakan pajak sebagai alat untuk membangun piramida megah dan membiayai administrasi negara. Pajak dikenakan dalam bentuk hasil panen, ternak, atau bahkan tenaga kerja. Meskipun mungkin tidak adil bagi rakyat jelata yang harus bekerja tanpa upah untuk proyek ambisius kerajaan.

Sementara itu, di Mesopotamia, pajak juga diterapkan dalam bentuk hasil bumi. Menurut Adams, orang-orang Babilonia bahkan memiliki sistem catatan yang tercatat dalam lempengan tanah liat, menjadi salah satu bukti tertua bahwa manusia sudah serius soal urusan pajak sejak zaman dahulu kala.

Beranjak ke Kekaisaran Romawi, saya terkejut mengetahui betapa kompleksnya sistem pajak di sana. Salah satu pajak terkenal adalah tributum, yang dikenakan pada warga provinsi yang ditaklukkan.

Selama Abad Pertengahan gereja Katolik mengenakan pajak yang dikenal sebagai tithe, yaitu kewajiban memberikan sepersepuluh dari pendapatan rakyat kepada gereja.

Di Asia, cerita tentang pajak juga tidak kalah menarik, meskipun lebih tragis. Di India, Inggris memberlakukan pajak garam yang sangat memberatkan, yang kemudian memicu gerakan Salt March oleh Mahatma Gandhi pada tahun 1930.

Masa Kerajaan di Nusantara

Menurut Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Muljana (2005), sejak zaman kerajaan, sistem pajak sudah eksis meskipun dengan nama dan bentuk yang berbeda. Di masa Majapahit, pajak atau yang sebagai upeti, merupakan sebuah kontribusi yang diberikan rakyat kepada raja sebagai tanda loyalitas. Tidak sekadar berupa uang, upeti bisa berupa hasil bumi, hewan ternak, atau bahkan tenaga kerja. Dalam sistem ini, pajak juga digunakan sebagai pengakuan atas kekuasaan sang raja.

Di Kerajaan Sriwijaya misalnya, pajak lebih terorganisir, terutama dalam sektor perdagangan. Sebagai kerajaan maritim besar, Sriwijaya memungut pajak dari para pedagang yang melewati Selat Malaka. Ini adalah strategi cerdas: Sriwijaya mengamankan jalur perdagangan sekaligus mengisi kas kerajaan dengan hasil dari pajak perdagangan tersebut.

Akan tetapi, pajak di era kerajaan juga tidak selalu berjalan mulus. Ketidakpuasan rakyat pernah muncul ketika beban pajak dianggap terlalu berat. Dalam The Indianized States of Southeast Asia karya G. Coedes (1968), disebutkan bahwa pemberontakan di beberapa wilayah sering dipicu oleh kebijakan pajak yang terlalu eksploitatif.

Pada abad ke-17, Kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung memberlakukan pajak hasil bumi yang sangat tinggi. Pajak ini digunakan untuk membiayai ekspansi militer melawan VOC di Batavia. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (2015), beban pajak ini menyebabkan rakyat di wilayah pedesaan melakukan perlawanan tersembunyi, seperti menolak menyetorkan hasil panen.

Masa Kolonial Belanda sampai Merdeka

Seiring datangnya kolonialisme, pajak berubah fungsi menjadi alat eksploitasi. Belanda memperkenalkan sistem landrente atau pajak tanah pada awal abad ke-19. Pajak ini memaksa rakyat untuk menyisihkan sebagian besar hasil panennya kepada pemerintah kolonial. Menurut J.S. Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy (1939), sistem pajak kolonial justru menjadi penyebab utama kemiskinan di kalangan petani pribumi.

Kemudian, datanglah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830. Dalam sistem ini, rakyat diwajibkan menanam komoditas ekspor seperti kopi dan tebu di sebagian besar tanah mereka. Hasilnya dianggap sebagai bentuk pajak.

Sistem ini merugikan petani secara ekonomi dan menciptakan penderitaan yang luar biasa. Menurut buku Village Java Under the Cultivation System karya R.E. Elson (1994), sistem tanam paksa menyebabkan banyak petani jatuh miskin, sementara Belanda menikmati keuntungan besar dari ekspor hasil bumi Indonesia.

Salah satu penyebab utama Perang Diponegoro adalah kebijakan pajak yang berat. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan pajak tanah secara masif, termasuk tanah milik keraton Yogyakarta. Penarikan pajak ini menyulitkan rakyat dianggap sehingga memicu kemarahan Pangeran Diponegoro, tulis J.S. Furnivall (1939).

Seturut Sartono Kartodirdjo (2015), Pemberontakan Para Petani di Banten pada tahun 1888 dikenal sebagai salah satu bentuk perlawanan terbesar petani terhadap kebijakan pajak kolonial. Beban pajak kepala (belasting op persoon) yang diterapkan Belanda menyebabkan banyak petani kehilangan tanah dan mata pencaharian. Ketidakpuasan ini memuncak menjadi pemberontakan bersenjata yang melibatkan ribuan petani.

Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2001),  Setelah kritik terhadap tanam paksa menguat, sebagai tanggapan atas kritik dari politikus dan intelektual Belanda kala itu. Pemerintah kolonial memperkenalkan politik etis pada awal abad ke-20. Dalam periode ini, beberapa reformasi pajak dilakukan, termasuk pengenalan pajak penghasilan dan pajak perusahaan.

Sepertinya, reformasi kebijakan ini lebih terlihat sebagai upaya untuk menutupi citra buruk Belanda daripada benar-benar membantu rakyat Indonesia. Namun reformasi ini menjadi cikal bakal sistem perpajakan modern di Indonesia. Pajak penghasilan yang kita kenal sekarang misalnya, lahir dari kebijakan kolonial ini.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia mewarisi sistem perpajakan dari Belanda. Pada tahun 1946, pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang pajak pertama yang mengatur berbagai jenis pajak, termasuk pajak penghasilan dan pajak penjualan.

Apa Kita Harus Diam Saja?

Melihat sejarah panjang pemberontakan akibat pajak, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil untuk menyikapi kebijakan seperti kenaikan PPN yang sedang trending saat ini. Pemerintah bilang, kenaikan ini penting untuk meningkatkan pendapatan negara. Katanya, buat infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan alasan klise lainnya yang sudah kita dengar berkali-kali.

Pemerintah perlu belajar dari sejarah untuk memastikan bahwa kebijakan pajak, termasuk kenaikan PPN. Karena salah satu penyebab utama ketidakpuasan rakyat terhadap pajak adalah ketidakpercayaan terhadap pengelolaannya.

Sudah saatnya kita mulai bertanya, bersuara, dan menuntut transparansi. Pajak yang kita bayar harus kembali ke rakyat, bukan ke meja-meja perundingan yang penuh dengan negosiasi elitis.

Usaha kecil bakal kocar-kacir. UKM yang sudah sulit bersaing bakal makin terimpit. Kalau mereka gulung tikar, pengangguran akan bertambah.

Tandai temanmu, sebarkan pesan ini. Jangan diam, karena diam hanya akan membuat mereka semakin berani.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik tentang sejarah

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//