• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Gen Z di Persimpangan Ngopi di Kafe, Menjadi Generasi Sandwich, dan Kenaikan Pajak

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Gen Z di Persimpangan Ngopi di Kafe, Menjadi Generasi Sandwich, dan Kenaikan Pajak

Gen Z dihimpit berbagai kebijakan pemerintah. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) didominasi Gen Z yang mencapai angka 9,37 persen.

Salsabila Wahyu Aprilia

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad)

Ilustrasi. Orang muda dan kotanya. (Ilustrator: Arctic Pinangsia Paramban/BandungBergerak)

6 Januari 2025


BandungBergerak.idSenandung lagu berlirik “Pemimpin di esok hari, adakah yang cukup mampu, mewakilkan suara kami?” terdengar lirih. Lagu ini diputar di sudut-sudut kedai kopi (cafe) di berbagai titik kota berjuluk Kota Kembang ini. Seperti tak mengenal adanya perbedaan hari kerja dan hari libur, nyatanya beragam muda-mudi nampak memenuhi setiap kursi yang kosong, entah terlihat sedang berinteraksi dengan kawanannya, memadu kisah asmara, atau asyik menarikan jari jemari dengan lincah pada papan ketiknya. Sesekali, mereka menyeruput minuman yang tersaji di meja masing-masing.

Sejak beberapa tahun belakangan, kegiatan ngopi di kafe (Ngafe) ini memang sering kali menjadi pilihan teratas bagi muda-mudi untuk mencari hiburan, bahkan menjadi rutinitas. Alasannya bervariasi, mulai dari menikmati berbagai cita rasa dari minuman berkafein, bersua atau bahkan menjadi ajang bereuni, hingga sibuk meramu mimpi dan masa depan di layar laptop. Ditambah, dengan hadirnya tren work from anywhere (WFA) dan work from cafe (WFC) yang menambah daftar pengunjung setiap kafe. Akan tetapi, tren ini ternyata bukan hanya sekadar tentang minuman, tetapi juga pengalaman dan kenangan, mulai dari ketertarikan dengan desainnya yang instagrammable, playlist yang asyik, atau bahkan kesempatan untuk rehat sejenak dari berbagai hiruk-pikuk dan tuntutan tanggung jawab.

Di balik kesan santai para gen Z, nyatanya terdapat realitas yang tersembunyi, yaitu: menjadi generasi sandwich. Secara sederhana, istilah generasi sandwich merupakan kondisi ketika seseorang terhimpit antara tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup orang tua (generasi tua) maupun anak-anak atau adik-adik mereka. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada tahun 2025 nanti akan ada 67,90 juta orang yang tergolong sebagai kelompok usia produktif yakni 15-64 tahun atau setara dengan 23,83 persen dari total penduduk. Golongan kelompok itulah yang terproyeksi akan “bertanggung jawab” dalam memberikan penghidupan layak bagi kelompok usia nonproduktif, yakni 0 - 14 tahun dan di atas 65 tahun. Beban itu harus dipikul gen Z.

Bagaimana Kondisi Gen Z?

Realita ini menunjukkan bahwa bukan hanya berjuang memenuhi kebutuhan pribadi, gen rasi Z juga memikul tanggung jawab finansial untuk memenuhi kebutuhan orang lain, baik secara vertikal (orang tua dan anak) maupun horizontal (orang tua dan saudara). Kondisi semacam ini menimbulkan polemik tak berkesudahan mengenai kemampuan gen Z dalam memiliki kehidupan yang layak. Sebagai contoh, Kota Bandung yang merupakan salah satu wilayah dengan dominasi populasi terbesarnya berasal dari gen Z sebagaimana dikutip melalui Sensus Penduduk tahun 2020 oleh BPS Kota Bandung.

Adapun dalam hal potensi jumlah, generasi sandwich dapat merujuk terhadap rasio ketergantungan yang pada tahun 2020 sebesar 41,44 persen dan diproyeksikan akan menjadi 41,44 persen pada tahun 2025 dan kemudian 46,39 persen pada tahun 2035. Kemudian, berbicara mengenai tuntutan finansial, maka tentu tidak jauh dengan membahas besaran gaji yang umumnya didasarkan pada upah minimum regional (UMR). Dilansir dari Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 561.7/Kep.804-Kesra/2023 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2024 tertanggal 30 November 2023, rincian UMR yang ditetapkan untuk Bandung Raya adalah sebagai berikut: Kota Bandung sebesar 4.209.309 rupiah, Kabupaten Bandung sebesar 3.527.967 rupiah, Kabupaten Bandung Barat sebesar 3.508.667 rupiah, dan 3.627.880 rupiah untuk Kota Cimahi.

Apabila didasarkan pada perhitungan bahwa setiap kali membeli kopi akan menghabiskan uang sekitar 30.000 rupiah; dengan frekuensi tiga kali selama seminggu, maka total uang yang dikeluarkan mencapai 480.000 rupiah setiap bulannya. Meskipun jumlah tersebut tentunya akan sangat bergantung pada berbagai aspek, seperti frekuensi pembelian, harga beli, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, dengan perhitungan sekian, maka pertanyaan selanjutnya, yaitu: cukupkah jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan pribadi sekaligus tuntutan finansial sebagai generasi sandwich? Dengan demikian, terdapat tantangan yang jauh lebih kompleks mengenai realita yang tengah dialami generasi Z dan bagaimana dampak kebijakan ekonomi dapat semakin memperberat langkah mereka.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dilema Antara Bisnis, Ekologi, dan Masa Depan Punclut
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kritik terhadap UU Cipta Kerja dengan Pisau Analisis Ruang Publik Jurgen Habermas
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Jatinangor di Tengah Krisis Ekologi dan Gempuran Urbanisasi

Mengapa Kebijakan Ekonomi Turut Menjadi Tantangan?

Ditandai dengan munculnya berbagai unggahan berupa gambar berlatar biru dengan tulisan Peringatan Darurat, maka menyimbolkan adanya suatu ajakan proses atau pengawalan terhadap suatu kebijakan pemerintah. Gerakan ini sempat ramai beberapa waktu silam ketika pertama kali digunakan sebagai simbol pengawalan putusan MK dan jalannya Pilkada 2024. Akan tetapi, isu yang dikawal kali ini tidak jauh dengan bahasan sebelumnya mengenai tuntutan dan tanggung jawab pengeluaran, yaitu terkait rencana kebijakan pajak.

Protes yang digaungkan belakangan ini merupakan respons terhadap rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen sebagaimana dimuat dalam Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menyatakan bahwa kebijakan ini akan diberlakukan paling lambat pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN tersebut berpotensi mengakibatkan naiknya harga barang dan jasa secara langsung, terlebih terhadap harga makanan dan minuman yang sangat sensitif terhadap perubahan harga sebagaimana dikemukakan langsung oleh Adhi S. Lukman selaku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI).

Padahal, kenaikan pajak 1 persen pun dampaknya akan langsung memicu kenaikan di tiap rantai pasok produksi, sehingga akibatnya adalah kenaikan harga kisaran 2-3 persen bagi konsumen. Kendati diberikan pengecualian terhadap beberapa barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimuat dalam Pasal 4A dan 16B UU HPP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK/010/2017, nyatanya kenaikan harga barang tersebut tetap dapat terjadi. Merujuk pada pernyataan Ketua Badan Pangan Nasional Arief Adi, kenaikan harga beras tetap dapat terjadi ketika terdapat komponen produksi lain yang dikenakan kenaikan PPN, misalnya ongkos logistik.

Dengan demikian, kenaikan PPN disinyalir akan menyebabkan di antaranya kenaikan harga barang dan jasa, baik langsung maupun tidak langsung, penurunan daya beli, dan penurunan penyerapan tenaga kerja. Mengingat, ketika terjadi penurunan daya beli dari masyarakat, imbasnya tentu berpengaruh terhadap penurunan penghasilan yang dialami oleh sektor usaha. Kondisi ini dikhawatirkan akan terus berlangsung hingga mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Efek domino dari adanya kebijakan PPN 12 persen tersebut sangat mengkhawatirkan, terlebih ketika struktur masyarakat Indonesia saat ini masih didominasi oleh kelas menengah bawah. Bahkan, menurut data dari BPS, jumlah kelas menengah ini pun tengah mengalami penurunan sebesar hampir 9,5 juta rupiah antara tahun 2019 dan 2024.

Selain itu, isu ini diperparah dengan rencana kebijakan lain yang menghantui pengeluaran dompet, yaitu kewajiban iuran dana pensiun tambahan (Tapera) bagi pekerja yang direncanakan akan berlaku paling lambat tahun 2027. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera, kebijakan ini akan memotong sebesar 2,5 persen gaji pekerja, baik swasta maupun PNS, dengan ditambah iuran 0,5 persen yang ditanggung perusahaan atau pemberi kerja. Kendati bertujuan untuk menghimpun dana untuk membiayai rumah murah, nyatanya kewajiban untuk membayarkan pajak tersebut akan memberatkan masyarakat, terutama Gen Z dengan tuntutan finansial yang berat.

Kebijakan tersebut sudah seyogyanya dipertimbangkan kembali, mengingat Gen Z kini pun masih mendominasi angka pengangguran dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang mencapai 9,37 persen atau sekitar 4,84 juta orang dari total populasi usia kerja generasi ini. Angka dari Sakernas pada bulan Agustus tahun 2023 tersebut mengilustrasikan bahwa dari 10 orang Gen Z yang tergolong ke dalam angkatan kerja, 1 di antaranya sedang menganggur. Sementara itu, lapangan pekerjaan disinyalir akan terus semakin sempit sebagai imbas dari adanya perkembangan teknologi yang menggeser sektor pekerja formal ke sektor nonformal. Hal tersebut terlihat dari data Sakernas yang menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan pekerjaan di sektor formal, di mana terdapat 15,6 juta serapan tenaga kerja di sektor formal pada tahun 2009-2014 yang kemudian menurun menjadi 8,5 juta orang selama 2019-2024, dan hanya tersisa menjadi 2 juta orang pada 2019-2024.

Selain itu, data dari Kementerian Ketenagakerjaan juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni sejumlah 59.796 pekerja yang terhitung dari Januari hingga Oktober 2024. Keadaan ini menggambarkan betapa sempitnya lapangan kerja saat ini, yang berimbas pada seleksi yang semakin ketat. Bahkan untuk masuk ke dunia kerja saja sudah sangat sulit, namun setelah diterima, Generasi Z harus menghadapi beban tambahan yakni kewajiban membayar Tapera, di samping dari berbagai potongan gaji yang telah menghantui seperti pungutan sebesar 18,24 -19,74 persen dari penghasilan mereka, seperti jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan sosial kesehatan, dan cadangan pesangon.

Dengan naiknya kebutuhan sehari-hari, sudah selayaknya Gen Z berpikir berulang kali dalam melakukan pengeluaran di tengah minimnya gaji yang diterima. Lantas, apakah Gen Z masih memiliki peluang untuk mempertahankan lifestyle sekaligus memenuhi tanggung jawab finansial yang semakin menekan? Ataukah justru akan hanya selayaknya berada di persimpangan jalan untuk terpaksa memilih satu di antara kenyamanan dan impian demi bisa bertahan?

Menelaah Melalui Perspektif Utilitarianisme oleh Jeremy Bentham

Mengacu pada perspektif utilitarianisme, sejatinya kebijakan yang akan diberlakukan seharusnya dipertimbangkan melalui kebermanfataan atau kebahagiaa bagi sebanyak-banyaknya masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsipnya yang berbunyi, “It is the greatest happiness of the greatest number that is the measure of right and wrong.”

Dengan demikian, pemerintah perlu kembali mempertimbangkan kebijakan ekonomi, terutama pajak, yang akan diberlakukan. Apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan kebahagiaan terbesar bagi mayoritas? Ataukah kebijakan ini lebih banyak membawa penderitaan bagi kelompok tertentu, seperti generasi muda yang bahkan sudah dalam posisi ekonomi yang sulit?

Lantas, apakah ini saatnya menyenandungkan lagu? Di sudut kafe itu, lagu dari band .Feast yang kini tengah digandrungi oleh muda-mudi itu kemudian kembali terdengar dengan liriknya yang berbunyi, “Jelas Tak Ada yang Tahu!”.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//