Gim Bola, Subjek Radikal, dan Dialektika Sosial Indonesia
Gim, simbol budaya populer, dan media sosial tidak lagi sekadar instrumen eskapisme, melainkan arena dialektika sosial.

Ilham Abdul Malik
Guru honorer dari Cimahi. Lulusan Sastra Indonesia UPI.
2 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Dalam lanskap budaya digital kontemporer, game (gim) pada mulanya dirancang sebagai komoditas hiburan individual. Developer menciptakannya dengan asumsi bahwa ia akan dinikmati secara personal, atau dalam lingkup komunitas khusus yang terbatas. Sebagai produk kapitalisme global, gim dimaknai sebagai ruang eskapisme: pemain bersembunyi dari rutinitas, menemukan hiburan, atau melarikan diri dari tekanan hidup sehari-hari. Namun, masyarakat Indonesia menampilkan dialektika yang mengejutkan. Gim tidak berhenti pada titik konsumsi individual, melainkan menjelma sebagai instrumen sosial yang membentuk iklim kolektif. Transformasi ini mencapai puncaknya ketika Indonesia menjuarai FIFAE Football di Riyadh 2024, sebuah pencapaian global yang memperlihatkan bahwa masyarakat kita tidak hanya menjadi konsumen pasif, melainkan mampu mengolah produk global menjadi arena perjumpaan, solidaritas, dan prestasi bersama.
Rental PlayStation (PS) adalah salah satu ruang yang paling menentukan dalam membentuk iklim kolektif tersebut. Di ruang-ruang kecil, sering kali terletak di gang sempit atau pinggir jalan kampung, rental PS mempertemukan anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa dalam sebuah ruang sosial yang khas. Lebih dari sekadar tempat bermain, rental PS menghadirkan arena pertukaran emosi yang intens: tawa, ejekan, protes, bahkan kemarahan. Kekalahan telak –misalnya “dibantai 7–0 oleh teman”– sering kali memutus silaturahmi sementara, namun di situlah proses sosial terbentuk. Ada pelajaran tentang daya tahan mental, tentang bagaimana menerima kekalahan, dan tentang bagaimana kegembiraan kolektif bisa menutup luka kekalahan personal.
Dalam konteks ini, rental PS bekerja sebagai laboratorium sosial mini. Ia menyimulasikan atmosfer kompetisi yang pada akhirnya beresonansi dengan mentalitas pemain e-sport profesional. Komentar khas FIFAE yang sering terdengar, seperti “more and more and more…” ketika gol beruntun tercipta, sejatinya telah menjadi gema sejak era rental PS di kampung-kampung. Mentalitas “bermain bersama” dan “kalah bersama” yang dibangun di ruang itu menjadi fondasi budaya kompetisi yang unik. Indonesia pun tidak datang ke panggung global dengan mental kosong, tetapi membawa pengalaman kolektif yang sudah ditempa dalam laboratorium sosial bernama rental PS.
Fenomena serupa dapat kita lihat pada kasus Ichsan Taufiq, juara FEWC (Featuring Football Manager). Game ini, yang berakar dari Championship Manager, pada awalnya hanyalah simulasi manajerial sepak bola. Namun, di tangan anak muda Indonesia, ia berubah menjadi alat epistemik, sebuah “perpustakaan alternatif” bagi mereka yang haus wawasan taktik. Di saat keterbatasan waktu, uang, dan akses membuat mustahil menonton liga dari negara Eropa dini hari, Football Manager menjadi substitusi pengalaman: pemain belajar tentang formasi, strategi, dan dinamika tim melalui simulasi digital. Tidak berlebihan jika dikatakan, hampir semua pundit sepak bola Indonesia generasi 2000-an pernah bersentuhan dengan game ini.
Di tongkrongan warung kopi hingga ruang podcast bola tahun 2020-an, Football Manager menjadi modal sosial. Ia bukan hanya permainan, melainkan legitimasi simbolik: seseorang yang menguasai seluk-beluk strategi dari Football Manager memperoleh status lebih dalam percakapan. Ichsan Taufiq hanyalah representasi puncak dari fenomena luas ini. Keberhasilannya menjuarai turnamen internasional bukan sekadar kemenangan personal, melainkan bukti bahwa transformasi game menjadi modal sosial benar-benar nyata.
Baca Juga: Potensi Ilmu Fisika dalam Pengembangan Video Game
Perang Saudara Tim Mobile Legend IPB University, Membedakan Esport dengan Game
Sepak Bola adalah Perlawanan
Subjek Radikal
Pada titik inilah relevan menghadirkan perspektif Slavoj Žižek tentang subjek radikal. Žižek memahami subjek radikal sebagai individu atau kolektif yang mampu mendekonstruksi makna dari produk atau struktur ideologis dominan. Kapitalisme global memaknai gim sebagai hiburan pasif, tetapi masyarakat Indonesia justru menggesernya menjadi fenomena sosial sarat emosi, solidaritas, dan identitas kolektif. Gim tidak lagi berhenti pada titik “main untuk diri sendiri”, melainkan menjadi ruang artikulasi perlawanan dan kebanggaan. Dengan kata lain, Indonesia berhasil menjadikan gim sebagai arena praksis yang menghasilkan daya juang dan prestasi nasional.
Lebih jauh lagi, masyarakat Indonesia juga piawai mendekonstruksi simbol budaya populer global untuk kepentingan lokal. Salah satu contohnya adalah reinterpretasi bendera Jolly Roger dari One Piece. Simbol tengkorak dengan dua tulang menyilang itu, yang awalnya sekadar lambang bajak laut fiksi, dihidupkan kembali dalam komunitas gamer sebagai tanda solidaritas dan perlawanan. Jolly Roger tampil sebagai representasi mentalitas “tidak takut kalah, siap melawan dominasi siapa pun”. Simbol ini menandakan keberanian kolektif, bahkan membentuk identitas bersama yang menembus batas nasional. Dengan cara ini, masyarakat Indonesia membuktikan kapasitasnya sebagai subjek radikal: mereka mengambil ikon transnasional dan menggunakannya sebagai energi simbolik dalam gelanggang kompetisi global.
Di luar ranah gim, kita menemukan analogi pada fenomena Pandawara Group –kolektif anak muda yang viral melalui TikTok dengan gerakan bersih-bersih sungai. Pandawara tidak berhenti pada level kritik verbal terhadap kerusakan lingkungan, melainkan hadir langsung dengan aksi. Video mereka ditonton jutaan orang, menyulut partisipasi, dan menekan pemerintah lokal untuk bergerak. Dalam kacamata Žižek, Pandawara mewujudkan subjek radikal karena berani menantang ideologi dominan yang sering kali menjadikan isu lingkungan hanya retorika tanpa aksi. Apa yang mereka lakukan paralel dengan apa yang terjadi di ranah gim: masyarakat Indonesia mengambil produk atau platform yang awalnya dirancang sebagai hiburan atau konten, lalu mengubahnya menjadi praktik sosial yang menggetarkan.
Semua contoh ini –kemenangan Indonesia di FIFAE 2024, keberhasilan Ichsan Taufiq di FEWC, reinterpretasi Jolly Roger, dan gerakan Pandawara Group– menunjukkan pola yang sama. Indonesia berulang kali menampilkan kapasitas untuk memproduksi subjek radikal. Dari rental PS di gang sempit hingga panggung global di Riyadh, dari simulasi Football Manager hingga tongkrongan podcast bola, dari simbol bajak laut anime hingga aksi bersih sungai di TikTok, masyarakat Indonesia mendemonstrasikan kemampuan untuk menggeser orientasi produk global. Alih-alih terjebak sebagai konsumen pasif, mereka mengubah hiburan menjadi instrumen praksis kolektif.
Dengan demikian, gim, simbol budaya populer, dan media sosial tidak lagi sekadar instrumen eskapisme, melainkan arena dialektika sosial. Di tangan masyarakat Indonesia, semuanya menjadi bahan bakar solidaritas, arena perlawanan, dan sumber kebanggaan. Dari sini kita belajar bahwa bangsa ini, dengan segala keterbatasan infrastrukturnya, justru mampu mengubah keterbatasan itu menjadi modal sosial. Gim bola hanyalah pintu masuk: di baliknya terdapat wajah baru Indonesia yang siap menegosiasikan posisinya dalam kancah global –sebagai subjek radikal yang tak sekadar bermain, tetapi juga melawan, merayakan, dan menang.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB