Recall, Mengembalikan Kedaulatan Rakyat dari Partai Politik
Hak recall konstituen merupakan intervensi struktural yang diperlukan untuk memulihkan kedaulatan rakyat dalam sistem perwakilan yang mengalami krisis legitimasi.

Rolip Saptamaji
Lecturer, writer, Analyst.
2 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Usai euforia HUT ke-80, Indonesia dilanda gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus hingga 1 September 2025. Demonstrasi menjalar dari Jakarta ke Bandung, Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Medan dan kota lainnya. Aksi yang berawal dari kemarahan kolektif atas kenaikan tunjangan rumah anggota DPR yang fantastis di tengah tekanan ekonomi, diperuncing oleh pernyataan arogan dengan cepat berkembang menjadi gugatan yang lebih luas DPR dari tuntutan reformasi lembaga hingga seruan pembubaran.
Respons represif negara memperdalam kemarahan rakyat, terutama setelah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online tewas dilindas kendaraan taktis aparat kepolisian diikuti jatuhnya delapan korban jiwa lain berjatuhan di berbagai daerah selama demonstrasi berlangsung. Alih-alih memenuhi tuntutan akuntabilitas parlemen, pemerintah dan sebagian pembentuk opini menggulirkan narasi pengalih isu tentang campur tangan asing, persaingan faksi elite, serta friksi TNI dan Polri, sambil menuding kelompok anarko sebagai motor kerusuhan untuk mendelegitimasi gerakan. Ketika demonstrasi mereda, reformasi substantif tidak terjadi, yang ada hanya pergantian posisi.
Pernyataan politisi senior PDIP, Bambang Wuryanto (Pacul), beberapa waktu sebelumnya mengenai perlunya melobi ketua umum partai untuk pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi bukti telak bahwa anggota DPR diposisikan sebagai “petugas partai” ketimbang wakil rakyat. Dalam praktik, arus akuntabilitas bergerak ke atas, terikat keputusan partai, hierarki fraksi, dan struktur pendanaan, bukan horizontal ke bawah kepada rakyat sebagai konstituen. Pemilu lima tahunan hanya memberi sanksi di ujung periode, sementara kebijakan yang merugikan rakyat terus diproduksi tanpa hambatan berarti. Pola ini menunjukkan bahwa sistem representasi kita mengidap cacat struktural yaitu absennya mekanisme koreksi efektif selama masa jabatan berlangsung.
Baca Juga: Rakyat Berhak Mencabut Mandatnya
Teruntuk Siapa pun yang Belum Mampu Membaca Kritik
Elite Penguasa Mengancam Demokrasi Indonesia dan Rakyat Pekerja Memukul Balik
Diagnosis Struktural Kegagalan Representasi
Dalam kerangka Teori Agensi (Ross, 1973), mandat rakyat merupakan relasi prinsipal dan agen, yaitu asumsi bahwa pemilih melimpahkan kewenangan kepada wakil dengan asumsi sanksi dan insentif menyelaraskan kepentingan. Masalah muncul ketika sangsi dari bawah melemah sementara insentif dari atas menguat. Pergeseran terjadi melalui kanal konkret seperti penentuan pencalonan dan nomor urut, akses pendanaan kampanye, penempatan di alat kelengkapan dewan, serta ancaman PAW. Dalam praktik ini, anggota DPR sebagai agen lebih merasakan sangsi dari prinsipal de facto yaitu partai dibanding dari prinsipal normatif yaitu rakyat.
Kecenderungan tersebut diperjelas oleh Robert Michels (1915) melalui Hukum Besi Oligarki. Organisasi kompleks, termasuk partai demokratis, memusatkan keputusan pada lingkar inti dan menormalisasi disiplin internal. Akibatnya, kalkulasi karier legislator lebih peka terhadap isyarat elite partai ketimbang aspirasi dari konstituen. Konfigurasi ini menempatkan legislator sebagai “prajurit” yang keberlanjutan kariernya bergantung pada restu elite partai dan jejaring modal, bukan pada kepuasan konstituen.
Perspektif negara ala Poulantzas (1975) kemudian menjelaskan mengapa gejala agensi dan oligarki partai bertahan pada tingkat sistem. Negara, termasuk parlemen, merupakan kondensasi material relasi kekuasaan kelas. Dalam konfigurasi ini blok berkuasa mengorganisasi kepentingan akumulasi modal sebagai kepentingan umum sehingga pelemahan kanal koreksi dari bawah bukan anomali, melainkan bagian dari reproduksi tatanan.
Diagnosis ini menyimpulkan krisis representasi sebagai konsekuensi logis dari rantai sebab yang saling menguatkan yaitu pergeseran sangsi dari rakyat ke partai, oligarki organisasi politik, dan reproduksi bias di tingkat negara. Selama sangsi efektif berada di tangan partai, sementara rakyat hanya memegang evaluasi ex post melalui pemilu, perilaku legislatif yang menyimpang dari mandat konstituen tidak akan terkoreksi. Permasalahan pokok bukan ketiadaan aturan, melainkan absennya alat kontrol demokratik yang dapat bekerja selama masa jabatan.
Hak Recall Konstituen sebagai Intervensi Struktural
Sebagai konsepsi tandingan, hak recall memindahkan sebagian tuas sangsi politik ke tangan konstituen selama masa jabatan masih berjalan. Recall memungkinkan konstituen di suatu daerah pemilihan memulai pemungutan suara untuk memberhentikan wakilnya sebelum periode berakhir ketika terdapat alasan yang sah, dan terverifikasi. Dengan cara ini, loyalitas ke atas anggota parlemen dipaksa memperhitungkan kontrol dari bawah. Langkah ini menormalisasi kontra-hegemoni rakyat di dalam kerangka institusional.
Mekanisme recall bertumpu di atas tiga prinsip yang saling mengunci agar berfungsi sebagai alat koreksi bukan pelampiasan amarah. Prinsip pertama, legitimasi memastikan rakyat, sebagai pemilik mandat, memiliki kanal koreksi yang nyata dan dapat diakses ketika representasi menyimpang. Kedua, proporsionalitas berupa ambang dukungan yang tinggi dan jendela waktu yang ketat, sehingga recall tidak berubah menjadi plebisit permanen. Ketiga, prediktabilitas yang menuntut aturan jelas, prosedur baku, dan lembaga pelaksana yang kredibel agar seluruh pihak memahami kapan, bagaimana, dan atas dasar apa recall dapat diajukan. Dalam horizon ini, recall bekerja pada dua lapis sekaligus. Pada lapis perilaku, sinyal koreksi selama masa jabatan mendorong dialog dapil dan akuntabilitas harian. Lalu pada lapis struktur, berkurangnya monopoli sangsi partai dan pendana sehingga orbit kebijakan bergerak lebih dekat ke rakyat.
Setiap ide yang membentur sendi kekuasaan selalu berhadapan dengan penolakan tidak terkecuali dengan hak recall. Pertama, kekhawatiran tentang instabilitas politik. Kritik ini mengasumsikan bahwa stabilitas status quo lebih berharga dari koreksi demokratik. Padahal, stabilitas justru tercipta ketika tersedia mekanisme penyelesaian konflik yang sah dan terukur. Recall dengan desain ketat justru mencegah akumulasi kekecewaan yang dapat meledak dalam bentuk kekerasan atau delegitimasi total terhadap sistem.
Kedua, soal biaya pelaksanaan. Argumen ini mengabaikan biaya sosial dari kebijakan buruk yang dibiarkan berlanjut seperti korupsi yang menggerus APBN, regulasi yang menghambat ekonomi, atau undang-undang yang melanggar hak konstitusional rakyat. Biaya recall dapat diminimalkan melalui digitalisasi proses petisi, pembatasan masa kampanye, standardisasi materi informasi, dan transparansi pelaporan keuangan. Investasi untuk demokrasi yang sehat jauh lebih murah dari ongkos sosial-politik dari parlemen yang kehilangan legitimasi.
Ketiga, potensi penyalahgunaan untuk agenda populis atau kepentingan kelompok tertentu. Risiko ini dimitigasi melalui ambang dukungan tinggi yang memerlukan konsensus luas, bukan sekadar mobilisasi kelompok kecil. Pembatasan alasan recall pada pelanggaran objektif yang terverifikasi mencegah penggunaannya untuk membungkam perbedaan pandangan politik.
Implikasi Hukum pada Hak Recall
Hak recall perlu diposisikan sebagai koreksi institusional yang meningkatkan kualitas perwakilan, bukan sebagai hukuman massal yang anti dialog. Narasi ini penting untuk meredakan resistensi, terutama dari aktor yang digugat, sekaligus memberi alasan rasional bagi rakyat sebagai konstituen untuk melihat recall sebagai alat yang melindungi mandatnya. Maka, ide tentang hak recall konstituen memerlukan pembentukan konsensus secara prinsipiil.
Konsensus ini sangat diperlukan karena Implementasi hak recall memerlukan revisi komprehensif terhadap tiga pilar undang-undang politik. Pertama, UU MD3 (No. 17/2014) perlu memasukkan "pemberhentian berdasarkan hasil pemungutan suara recall sebagai alasan sah pemberhentian anggota legislatif, dengan prosedur yang melibatkan inisiatif rakyat, verifikasi KPU, dan pelaksanaan pemungutan suara. Kedua, UU Pemilu (No. 7/2017) memerlukan bab khusus tentang "Pemungutan Suara Penarikan Mandat" yang mengatur detail teknis dari ambang dukungan, verifikasi, tata cara pemungutan suara, hingga mekanisme sengketa. Ketiga, UU Partai Politik (No. 2/2011)harus mengakui supremasi hasil recall di atas keputusan internal partai untuk mencegah konflik norma. Harmonisasi ketiga undang-undang ini memastikan bahwa kehendak konstituen yang terverifikasi melalui recall bersifat final dan mengikat. Partai politik tetap memiliki peran dalam sistem, namun monopoli kontrolnya dibatasi oleh kedaulatan rakyat yang dioperasionalkan melalui mekanisme recall.
Hak recall konstituen merupakan intervensi struktural yang diperlukan untuk memulihkan kedaulatan rakyat dalam sistem perwakilan yang mengalami krisis legitimasi. Mekanisme ini bukan tambahan prosedural kosmetik, melainkan realokasi fundamental kekuasaan dari oligarki partai kembali ke tangan rakyat. Sayangnya, transformasi struktural ini menghadapi paradoks implementasi karena harus mendorong DPR untuk meloloskan mekanisme yang membatasi kekuasaannya sendiri? Menurut saya, di sinilah peran krusial gerakan demokratik menjadi determinan. Gerakan demokratik perlu membangun aliansi strategis untuk mengadvokasi hak recall sebagai agenda reformasi politik prioritas. Tanpa intervensi gerakan demokratik yang konsisten dan strategis, hak recall akan tetap menjadi wacana akademik tanpa daya transformatif.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB