Elite Penguasa Mengancam Demokrasi Indonesia dan Rakyat Pekerja Memukul Balik
Kelas pekerja dan gerakan sosial memiliki peranan dan kemampuan paling penting dalam menguatkan dan memajukan demokrasi.

Iqra Anugrah dan Rachma Lutfiny Putri
Iqra adalah peneliti dan pengajar Kajian Asia di Universitas Turin. Putri adalah Kandidat doktor antropologi di Vrije Universiteit Amsterdam.
29 September 2025
BandungBergerak.id – Gelombang protes anti-oligarki di Indonesia baru-baru ini telah menjadi tantangan politik terbesar bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sejak 2014. Represifitas aparat kepolisian dalam menangani aksi protes tersebut, yang mengakibatkan syahidnya Affan Kurniawan dan sembilan lainnya serta penahanan lebih dari 3000 demonstran, memantik berkobarnya gerakan protes yang menyebar dengan cepat. Ini semua terjadi kurang dari setahun sejak pelantikan Prabowo sebagai presiden.
Tragisnya kematian Affan secara signifikan membangkitkan kesadaran politik gerakan sosial ini dan publik secara luas, tetapi kemarahan kolektif dibalik itu telah menyala sejak lama. Seperti para populis otoritarian lainnya, Prabowo telah mendorong kebijakan yang manfaatnya dipertanyakan dan rawan dibajak oleh kepentingan elite, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Danantara. Tetapi penyebab dari gelombang protes terkini adalah sesuatu yang lebih struktural dan paradigmatis: kesenjangan sosial yang meningkat, kerentanan ekonomi, penyusutan jumlah kelas menengah, intervensi militer dalam politik, dan pengekangan atas ruang demokrasi. Ini diperparah dengan sikap sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengolok-olok penderitaan rakyat dan usulan untuk menaikkan tunjangan mereka di tengah kesulitan ekonomi.
Di waktu penulisan artikel ini, benturan antara negara dan gerakan protes telah memasuki periode deeskalasi secara gradual. Serikat-serikat buruh, gerakan-gerakan perempuan akar rumput, dan kelompok-kelompok aktivis mahasiswa masih melanjutkan kerja-kerja mobilisasi politik, advokasi komunitas, dan pendidikan popular; namun di sisi lain, polisi masih menahan mereka yang ditangkap. Ini kontras dengan langkah yang diambil sejumlah pemengaruh (influencers) liberal muda yang dengan naif berpartisipasi dalam dialog semu dengan sedikit anggota DPR.
Sejauh ini, tidak ada perubahan kebijakan yang berarti pasca perang jalanan kemarin. Selain pembatalan kenaikan tunjangan perumahan untuk anggota DPR, pemerintah masih belum melaksanakan tuntutan-tuntutan penting lain: penghentian kekerasan aparat kepolisian, pengurangan tunjangan yang berlebihan bagi anggota DPR dan pejabat-pejabat lain, serta pemenuhan tuntutan kelas pekerja mengenai upah dan hubungan kerja yang layak.
Menguatnya praktik liberal dan otoritarian di bawah pemerintahan Prabowo membongkar topeng demokratis bagi politik oligarki. Ini mendorong respons masif dari aliansi luas berbagai gerakan sosial kerakyatan yang didukung publik dan dimanfaatkan oleh para kelompok dan pemengaruh bertendensi liberal. Para elite penguasa hanya memberi konsesi seadanya terhadap tuntutan kerakyatan tersebut, sedangkan jurang antara basis massa dan jejaring liberal menunjukkan fragmentasi di dalam tubuh masyarakat sipil Indonesia kontemporer. Perkembangan ke depan akan tetap tak menentu dan suram, tetapi kelas pekerja dan gerakan-gerakan sosial –singkatnya, gerakan rakyat– bisa memecahkan kebuntuan politik ini dengan mengambil kepemimpinan kolektif dan mendorong terus mobilisasi massa, dua strategi yang dapat memaksa elite memberikan konsesi-konsesi lebih lanjut.
Baca Juga: (Cegah) Negara Menang Lagi
Affan Kurniawan, Pekerja Informal, dan Problematika Kota
Rakyat Berhak Mencabut Mandatnya
Pemicu Gelombang Protes: Transformasi Politik Oligarki
Pergeseran ke praktik politik otoritarian yang lebih vulgar dan gamblang dalam demokrasi Indonesia bukanlah sekedar produk dari perubahan kultur politik para elite, tetapi juga adalah konsekuensi logis dari transformasi mekanisme ekstraksi oligarki sebagai upaya untuk membela kepentingan kelas penguasa dan negara borjuis. Di level internasional, elite-elite ekonomi dan politik Indonesia mencoba meraup nilai lebih yang dari industri nikel yang sedang naik daun. Di arena domestik, para elite oligarki ini memperluas target ekstraksi mereka dari sektor-sektor tradisional (misalnya sumber daya tanah dan batu bara) hingga proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan ibu kota baru.
Sebagaimana dijelaskan secara mendalam oleh kawan-kawan Partai Pembebasan Rakyat (PPR), pemborosan keuangan negara ini diperparah dengan ambisi Prabowo, seorang pentolan dari kalangan oligark, untuk menerapkan MBG yang pelaksanaannya di lapangan bermasalah dan meningkatkan anggaran militer. Ini memaksa pemerintah pusat untuk memangkas Transfer Keuangan Daerah (TKD) sebesar 50 persen di 2025. Akibatnya, banyak pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) secara drastis dan sebagian di antaranya memberlakukan kenaikan hingga lebih dari 100 persen.
Kebijakan-kebijakan seperti ini memicu aksi massa sejak awal pemerintahan Prabowo, mulai dari aksi #Peringatan Darurat dan #Indonesia Gelap hingga demonstrasi anti-pajak di Pati, Jawa Tengah yang menuntut bupati mundur.
Tak mengherankan bahwa para elite penguasa melihat tekanan-tekanan massa ini sebagai ancaman dan memicu mereka untuk semakin mengekang ruang demokrasi. Syahidnya Affan dan para korban lain, kekerasan negara yang eksesif, dan respons para elite politik yang setengah hati terhadap krisis ini adalah tanda-tanda yang jelas dari pengekangan tersebut.
Karakter Gerakan Protes dan Fragmentasinya
Sebagai respons atas berbagai manuver arogan nan anti-demokratis dari para elite ini, sejumlah aksi protes meletus di akhir Agustus. Yang menarik untuk dilihat lebih mendalam adalah aksi protes di Jakarta pada tanggal 28 Agustus, hari Affan berpulang. Ada empat elemen aksi yang berbagi sentimen anti-rezim yang sama tetapi memiliki tuntutan agenda/kebijakan dan komposisi koalisi yang berbeda, yaitu:
- Serikat-serikat buruh, yang menuntut keadilan pengupahan dan keamanan kerja;
- Koalisi kerakyatan untuk keadilan iklim yang terdiri dari berbagai organisasi petani, nelayan, perempuan, dan miskin kota;
- Aktivis mahasiswa yang menolak kenaikan berbagai tunjangan untuk anggota DPR;
- Serta kawan-kawan ojek online (ojol) yang mobilisasinya semakin dahsyat setelah kendaraan rantis aparat kepolisian menabrak dan menewaskan Affan.
Empat kelompok ini, dengan derajat yang beragam, tetap melanjutkan aksi protes mereka setelah berpulangnya Affan dan meningkatnya represifitas aparat kepolisian.
Setelahnya, dukungan publik dan koalisi untuk gerakan protes ini semakin meluas. Kegembiraan dan rasa takjub masyarakat ketika menyaksikan penjarahan sejumlah anggota dewan yang bermasalah, terutama Ahmad Sahroni, mengindikasikan meledaknya kemarahan kolektif publik.
Tetapi, periode kegembiraan politik yang singkat ini segera terinterupsi dengan berbagai kasus pembakaran dan kerusuhan yang menargetkan infrastruktur publik di Jakarta seperti halte bus dan server optik, sebuah pola yang juga menyebar ke kota-kota lain. Meskipun ada kemungkinan besar bahwa faksi-faksi elite yang saling bertikai memanfaatkan keadaan ini dan bahkan mengorkestrasinya, kita juga perlu mengingat bahwa para warga dan anak muda yang berpartisipasi dalam kerusuhan kota ini melihat “aksi” mereka sebagai bentuk pemberontakan dan, menurut hemat kami, protes terhadap pendewaan atas kekayaan dan kepemilikan pribadinya para elite.
Rangkaian keributan jalanan ini, yang langsung disambut dengan “sambitan” yang meriah alias represi dan pengekangan dari aparat kepolisian dan tentara, memunculkan kembali satu narasi familier dalam leksikon politik Indonesia: dikotomi antara demonstran damai dan “anarkis”.
Di sini, posisi kami tegas: meskipun kami paham dan mengakui bahwa ada kemungkinan manipulasi elite/oligarki dalam kerusuhan tersebut dan juga ada berbagai akses dari aksi-aksi jalanan, kami dengan gamblang menolak dikotomi tersebut. Dikotomi sesat tersebut, dalam pandangan kami, digaungkan oleh kelas yang berkuasa dan negara untuk menjinakkan semangat rakyat dan memecah belah publik. Kemudian, sebagaimana dapat kita lihat dalam kasus bentrokan aparat dengan mahasiswa yang sedang beristirahat di zona aman di Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas), aparat kepolisian dan tentara memiliki sejarah panjang menggunakan dikotomi sesat tersebut sebagai dalih untuk merepresi kemerdekaan berkumpul dan berpendapat bagi kelompok-kelompok pembangkang dan marginal.
Tatkala kekacauan ini mulai mereda, kita menyaksikan fenomena ganjil yang muncul di fase selanjutnya dari gerakan ini: kemunculan pemengaruh liberal sebagai tokoh dadakan dari gerakan protes yang organik. Ilmuwan politik Edward Aspinall berargumen bahwa elemen-elemen di balik budaya protes dan perlawanan ini adalah kalangan mahasiswa, serikat-serikat buruh, dan lembaga swadaya masyarakat. Analisis komprehensifnya luput membahas satu kelompok: pemengaruh liberal dengan koneksi kepada industri konsultan pembangunan dan media daring yang trendi.
Secara sadar, mereka mengintervensi dinamika yang ada, dan secara cerdik mengumpulkan tuntutan-tuntutan programatik (yang dirumuskan secara organik oleh berbagai organisasi kelas pekerja dan gerakan sosial) menjadi daftar panjang tuntutan yang dikemas dengan kampanye berjudul “Tuntutan 17+8”.
Meski kami mengakui kegunaan dari kampanye tersebut dan pengaruhnya dalam meningkatkan kesadaran politik kelas menengah perkotaan, kami meragukan klaim para pemengaruh liberal mengenai jangkauan kampanye tersebut dan dampak riilnya di level kebijakan. Kami juga mengkritik bias kelas yang inheren dan kultur selebritas dari metode aktivisme mereka yang sayangnya meminggirkan peranan dan agenda dari basis dan organisasi kelas pekerja –mereka yang memainkan peranan kunci dalam memajukan tuntutan politik gerakan protes kemarin tetapi ironisnya cenderung terlupakan. Perilaku bias kelas dan sindrom selebritas ini merupakan karakter politik dan kebudayaan yang khas dari kelas manajerial profesional di Indonesia.
Kawan-kawan aktivis dengan latar belakang yang rentan dan proletariat, yang terlibat dalam protes-protes kemarin dan di berbagai kolektif akar rumput, juga menyerukan kemarahan dan kritik mereka terhadap kalangan liberal kepada kami. Masalah dengan aktivisme liberal, menurut mereka, adalah kurangnya tuntutan berorientasi kelas yang lebih kuat dan dominasi estetika dan agenda liberal yang meminggirkan aspirasi dan pengalaman mereka yang paling marginal dan tertindas. Dari perbincangan kami dengan kawan-kawan ini, kami juga mengetahui bahwa pengorbanan radikal dari para aktivis kelas pekerja yang berada di garda depan pertempuran jalanan, termasuk belasan yang dapat kami identifikasi secara langsung, hanya menjadi deretan statistik di media-media arus utama alih-alih cerita teladan heroisme untuk demokrasi.
Sebagaimana kelompok serupa, pemengaruh liberal adalah kelompok “mengambang” yang tercerabut dari pengalaman dan kesadaran kolektif massa rakyat. Ini menunjukkan salah satu garis keretakan utama dalam masyarakat sipil Indonesia: antara aktivisme liberal dan progresif-radikal.
Langkah ke Depan
Masih terlalu cepat bagi kita untuk menilai pengaruh dan warisan dari protes 2025 ini, namun kami ingin menyoroti tiga langkah penting ke depan.
Pertama, “spontanitas” dan “kepemimpinan” di gerakan massa bukanlah dua hal yang bertentangan, tetapi merupakan proses dialektis dalam konsolidasi kepemimpinan demokratis dan institusionalisasi gerakan sosial. Rosa Luxemburg sudah mengingatkan kita bahwa reformasi sosial dan spontanitas memobilisasi orang-orang yang tertindas, tetapi kolektivitas revolusioner adalah sebuah keharusan untuk membuat kemenangan-kemenangan kita langgeng.
Kedua, di tengah-tengah kekerasan negara “demokratis” yang semakin barbar, kami menegaskan kembali bahwa kawan-kawan demonstran memiliki hak untuk membela diri mereka melawan kekerasan negara melalui cara-cara damai dan, dalam keadaan yang parah dan darurat, dengan cara-cara yang lebih disruptif.
Argumen kami bukanlah sebuah provokasi untuk melakukan kekerasan, tetapi pandangan yang didukung oleh penelitian ilmiah. Studi komprehensif dari sosiolog Adaner Usmani mengenai proses demokratisasi secara global dan peranan kelas pekerja di dalamnya menunjukkan bahwa aksi disruptif dari gerakan rakyat mendorong pendalaman demokrasi. Protes jalanan dan dinamikanya bukanlah gangguan melainkan oksigen bagi demokrasi.
Pengalaman pribadi kami terlibat dalam gerakan solidaritas Palestina di Belanda, sebuah negara di mana demokrasi prosedural dianggap sudah terkonsolidasi dengan baik, juga menunjukkan bahwa aksi-aksi disruptif adalah hal yang jamak dalam dinamika demokrasi. Aktivis, akademisi, mahasiswa, pekerja, imigran, kaum miskin kota, dan bahkan birokrat berpartisipasi dalam aksi-aksi jalanan. Kemudian, kami menyaksikan dan mendengar langsung bagaimana aksi-aksi yang lebih berani, yang tidak sesuai dengan norma kepantasan politik beberapa kalangan kelas menengah Indonesia, dilakukan dalam gerakan tersebut, seperti: 1) aktivis-aktivis yang menghalangi mobil brimob dan bis polisi Belanda yang akan memecah barisan demonstran dan menangkapi mereka; 2) mahasiswa-mahasiswa yang menduduki kampus dan rektorat serta membuat barikade dengan batu bata dan kursi-kursi dari ruang kelas; 3) sopir-sopir taksi keturunan Timur Tengah yang bertempur jalanan dengan para zionis dan intel Israel; dan 4) grafiti-grafiti dan poster-poster propaganda pro-Palestina yang tersebar di berbagai ruang publik dan kampus. Ini semua adalah hal yang jamak, yang terpaksa dilakukan oleh mereka yang berlawan dan bersolidaritas tatkala rezim yang berkuasa menolak mendengar kebenaran dan aspirasi rakyat.
Terakhir, di tengah gagalnya upaya lobi pemengaruh liberal dengan DPR, ini adalah momentum yang tepat bagi gerakan kelas pekerja dan akar rumput untuk kembali memobilisasi masyarakat dan merebut kepemimpinan massa. Jauh dari argumen simplistis bahwa kritik seperti kritik kami adalah upaya memecah belah gerakan, kami justru ingin menegaskan bahwa agenda pro-demokrasi haruslah inklusif dan semua orang punya peranan di dalamnya. Tetapi, sejarah dan contoh-contoh dari negara lain dengan jelas membuktikan bahwa kelas pekerja dan gerakan sosial yang memiliki peranan dan kemampuan paling penting dalam menguatkan dan memajukan demokrasi.
Oleh karena itu, hanya dengan kepemimpinan dan kekuatan politik merekalah kita dapat memecahkan kebuntuan politik di Indonesia hari ini!
Catatan: Kami aktif dan menjaga silaturahmi dengan kalangan gerakan sosial dan rekam jejak dan kerja kami dengan berbagai organisasi, komunitas, dan individu sejak 2015 dapat diverifikasi. Sekarang kami sedang mengerjakan penelitian lapangan di Indonesia sebagai peneliti tamu di Agrarian Resource Center (ARC). Kami mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan di Forum Islam Progresif (FIP) dan Kolektif SULU atas diskusi-diskusi yang mencerahkan.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB