(Cegah) Negara Menang Lagi
Gerakan sosial kontra-hegemoni secara alamiah tidak pernah bertubuh tunggal. Konflik antara aktivis prodemokrasi radikal dan populer masih tajam.

Fikri Arigi
Pegiat Kreatif Media Digital. IG: @arigigos
18 September 2025
BandungBergerak.id – Dua belas atau tiga belas tahun lalu agak sulit membayangkan kalau massa aksi dapat dipadati oleh golongan yang kita labeli sebagai kelas menengah. Jarak yang ada antara massa demonstran dengan kelas menengah terlampau jauh, sampai-sampai populer sebutan ‘kelas menengah ngehe’ karena golongan ini lebih sering nyinyir pada gerakan sosial penyampaian tuntutan.
Hari-hari ini berbeda, kelas menengah lebur dengan siapa pun itu di lapangan. Mereka menuntut keadilan, terlepas dari identitas atau privilese apa yang mereka hirup sehari-hari. Bahkan gerakan sosial jadi dipandang lebih heroik. Pergeseran persepsi terhadap gerakan sosial sedikit banyaknya merupakan andil dari kelas menengah, yang giat turun ke lapangan, dan menormalisasi protes di ruang media sosial yang akhirnya mengikis stigma negatif demonstrasi.
Ini membuktikan kalau Karl Marx tidak fafifu wasweswos amat saat melontarkan teorinya bahwa hanya ada dua kelas: borjuasi dan proletariat. Pada teori ini, kelas menengah masuk pada golongan yang terakhir. Pernah ada masa di mana kesadaran kelas begitu mahal harganya, sampai-sampai kelas menengah menyangsikan betul dirinya merupakan bagian dari kelas pekerja. Muncul pengharapan bila semua kelas pekerja turun menyuarakan tuntutan, gerakan sosial bisa berujung kemenangan.
Sayang kesadaran kelas ternyata bukan panasea. Ada gejala lain yang timbul dari leburnya kelas menengah ke tengah-tengah massa. Meski sama-sama berangkat dari kelas pekerja, namun lapisan identitas lain yang melekat pada diri masing-masing akhirnya terefleksi dalam artikulasi aspirasi yang berbeda. Contohnya pada demonstrasi akhir Agustus hingga awal September 2025 atau aksi “Reset Indonesia”, massa tampak kompak di lapangan, tapi berlawanan dalam fundamental gerakan sosial.
Perbedaan pada gerakan sosial semestinya bersifat diskursif, demi memperkaya pandangan agar tepat dalam mengartikulasikan tuntutan. Laclau dan Mouffe mempostulatkan bahwa masyarakat memang secara inheren terpecah-pecah. Perbedaan dideskripsikan sebagai sebagai relasi yang membentuk dan memecahkan gerakan sosial (Adhipermana, 2021).
Namun dalam hal aksi Reset Indonesia, perbedaan yang ada justru menegaskan jarak yang berkontribusi besar terhadap pelemahan gerakan. Sejauh pengamatan di media sosial, ada dua golongan dominan: pro-demokrasi radikal, dan pro-demokrasi populer.
Golongan pertama dapat dikenali dari aktor-aktor terafiliasi dengan non-government organization (NGO), nama-nama yang mungkin lebih dulu dikenal di media massa dalam menyuarakan aktivisme sosial-politik. Ada pula aktor-aktor yang lebih radikal, di media sosial tampak afiliasinya dengan jaringan yang konsisten menyuarakan isu-isu sosial-politik dari sudut pandang seberang kiri jalan, dan berbagai spektrumnya.
Golongan kedua didominasi oleh pekerja kelas menengah yang di awal disebutkan. Wajah dari golongan ini diwakili figur influencer, yang tenar di media sosial menyuarakan isu-isu sesuai preferensi personal dan atau isu populer yang tidak terbatas pada sosial-politik saja. Kelompok pro demokrasi (prodem) populer terkonsolidasi dan terikat oleh satu artikulasi yang mereka usung yaitu 17+8 Tuntutan Rakyat.
Perlu diingat bahwa penggolongan ini adalah hasil simplifikasi yang menurut Penulis perlu dilakukan dengan tujuan penggambaran yang lebih ringkas, tanpa bermaksud mengelompokkannya menjadi oposisi biner. Karena tentu faktanya pandangan setiap individu maupun kelompok bersifat unik, dan rumit untuk digolongkan menjadi dua golongan saja.
Baca Juga: Maraton, Bukan Sprint: Saat Rakyat Bergerak Menuntut Keadilan
Jangan Biarkan Demokrasi Indonesia di Tepi Jurang
Disensus, Demonstrasi, dan Tirani Ketertiban
Eskalasi Horizontal
Kendati adanya kemiripan aspirasi, hal ini hanya mampu menjembatani kepentingan kedua golongan di lapangan, namun belum cukup untuk benar-benar merekatkan keduanya. Selama rentang 28 Agustus-2 September di saat momentum puncak aksi massa, setidaknya ada 3 perbedaan fundamental aksi antara dua golongan ini yang terekam di media sosial.
Perbedaan pertama terkait seruan pulang pada massa aksi yang tampaknya diinisiasi juga oleh prodem populer. Bagi mereka seruan ini dimaksudkan untuk menghindari eskalasi demonstrasi menjadi riot, dan meminimalisasi korban. Juga ada sebagian kecil yang berspekulasi bahwa negara akan memberlakukan darurat militer, bila eskalasi terus berlanjut.
Seruan pulang ini dikritik karena dianggap sebagai bentuk fearmongering. Strategi yang lazimnya jadi alat negara menakut-nakuti, kali itu ketakutan justru disiarkan oleh massa aksi itu sendiri. Prodem radikal mengkhawatirkan implikasi yang akan timbul dari seruan ini adalah deeskalasi momentum, dan berujung pada mentahnya gerakan sosial.
Kedua soal perbedaan standar desain poster, yang dianggap tidak memenuhi nilai estetika gerakan prodem populer. Poster-poster yang tak memenuhi standar itu oleh sebagian prodem populer dianggap sebagai ajakan demonstrasi palsu yang diinisiasi oleh pihak-pihak non-demonstran, untuk memprovokasi massa agar terus turun ke jalan. Tudingan ini masih senafas dengan seruan pulang yang sebelumnya mereka gaungkan. Prodem radikal menilai dikotomi desain poster tidak adil, karena dianggap dapat melebarkan celah konflik horizontal antar demonstran.
Perbedaan ini merembet hingga perbedaan simbolisme warna brave pink dan hero green. Eskalasi semakin melebar saat perbedaan ini dimanfaatkan pihak-pihak pendengung untuk mendiskreditkan sosok inspirasi brave pink sebagai pembenci Prabowo Subianto, dan menebalkan identitasnya sebagai pendukung Anies Baswedan. Upaya ini kelihatannya cukup berhasil mendelegitimasi gerakan atau minimal memecah konsentrasi publik dari substansi.
Ketiga terkait dengan inti gerakan prodem populer itu sendiri, yaitu: 17+8 Tuntutan Rakyat. Prodem radikal menilai tuntutan ini tidak mengakar, tidak memecahkan masalah, dan minim konsolidasi dengan pihak-pihak di luar golongan penyusun tuntutan. Prodem populer menjawab tudingan ini dan mempersilakan membuat tuntutan lain, yang lebih sesuai dengan aspirasi diri atau kelompoknya.
Situasinya saat itu, ruang publik tidak memotret (kalau tidak bisa disebut tak ada) tuntutan lainnya. Pun kelompok prodem populer, punya akses yang lebih luas terhadap ruang publik, sehingga jalan 17+8 jadi tuntutan arus utama berjalan tanpa banyak gugatan. Puncaknya saat tuntutan ini diterima oleh DPR RI pada 4 September, dan dianggap sebagai dari tuntutan rakyat yang “resmi”. Tuntutan ini segera dijawab oleh Pimpinan DPR beberapa hari kemudian, menguatkan asumsi kadarnya sebagai tuntutan resmi.
Pemenangnya: Negara
Hingga tulisan ini disusun, konflik antara prodem radikal dan prodem populer masih tajam. Kedua kubu ini tidak kunjung membangun jembatan relasinya. Kecurigaan terhadap 17+8 Tuntutan Rakyat makin lebar, pun demikian sentimen terhadap pengkritiknya tidak kalah buruk. Prodem populer dinilai terlalu gegabah dalam mengambil panggung di ruang publik dan dianggap menyetir gerakan. Sebaliknya gerakan prodem radikal dinilai tidak konkret dan terlalu eksklusif memagari standar moral atau ideologisnya.
Pada situasi ini patut dicurigai terdapat juga kelompok pendengung yang turut meruncingkan eskalasi. Contohnya mulai ramai serangan-serangan personal terhadap figur-figur prodem populer, dengan tujuan untuk meredam karakternya. Salah seorang dari mereka bahkan memilih untuk menonaktifkan akun media sosial pribadi. Saat ruang publik demikian riuh upaya memisahkan antara upaya pembunuhan karakter dengan kritik yang merupakan bagian dari diskursus, bisa cukup melelahkan. Bahkan bukan tidak mungkin netizen dengan nalar kritis dan literasi media yang cukup, dapat hanyut dalam narasi yang keliru.
Sebuah gerakan sosial kontra-hegemoni, memang secara alamiah tidak pernah bertubuh tunggal. Gerakan didirikan dari fragmen-fragmen identitas setiap aktor yang terlibat di dalamnya. Meski wajar dan pada titik tertentu terlihat menguntungkan secara hitung-hitungan akumulasi jumlah massa, perbedaan dalam gerakan dapat sangat merugikan.
Situasi ini memudahkan hegemon melabeli gerakan yang terlegitimasi, dan yang tidak terlegitimasi. Kegagalan gerakan sosial menghindari pelabelan, yang berangkat dari tidak terkonsolidasinya relasi antar identitas berbeda di antara tubuhnya sendiri, hanya akan mengantarkan gerakan pada satu hasil pasti: kemenangan hegemon, atau dalam hal Indonesia hari ini, negara.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB