• Opini
  • Disensus, Demonstrasi, dan Tirani Ketertiban

Disensus, Demonstrasi, dan Tirani Ketertiban

Demonstrasi adalah disensus yang nyata, ia mengganggu lanskap simbolik yang membuat rakyat tetap diam.

Rio

Seorang guru

Hukum yang koruptif memungkinkan aparat merampas kebebasan warga. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

16 September 2025


BandungBergerak.id – Sejarah manusia adalah sejarah pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang menolak tunduk. Sejarah ini bisa dibaca melalui parade darah di jalan-jalan, pekikan massa yang membakar udara, dan ketakutan penguasa yang selalu menempel pada setiap langkah rakyat yang bangkit. Dari polis Yunani kuno hingga jalanan kota-kota modern, satu hal selalu berulang, rakyat hanya dianggap ada sejauh mereka patuh pada “ketertiban.” Maka, ketika rakyat berdiri, berteriak, dan mengguncang. Para penguasa menuduhnya “anarkis,” “provokator,” “perusak ketertiban.” Padahal, justru dalam momen kekacauan itulah demokrasi menemukan napasnya.

Jacques Rancière, menyebut pertarungan itu sebagai benturan antara police dan politics. Police bukan sekadar polisi berseragam, melainkan seluruh rezim yang mengatur, mengelompokkan, dan membatasi siapa yang boleh bicara dan siapa yang harus diam. Police adalah logika ketertiban yang memaku manusia pada tempatnya, buruh hanya bekerja, penyandang disabilitas hanya dikasihani, rakyat kecil hanya menunduk. Sementara politics adalah momen ketika yang tak dihitung bangkit dan memaksa dirinya hadir. Politik sejati, bagi Rancière, bukan kompromi atau konsensus, melainkan disensus –keretakan, gangguan, keberisikan yang menolak tenang.

Sejarah mengajarkan kita bahwa dissensus bukanlah penemuan modern. Ia adalah denyut yang sejak lama menggerakkan masyarakat. Dalam Sejarah Perang Peloponnesia karya Thukydides, kita membaca bagaimana para demos di Athena bangkit melawan aristokrat yang ingin mempertahankan monopoli kuasa. Mereka dianggap pengacau, perusak stabilitas polis. Namun justru dari pemberontakan itulah demokrasi lahir, rakyat menuntut hak bicara, menolak diam, dan memaksa tuan-tuan bangsawan untuk mengakui keberadaan mereka.

Tradisi perlawanan ini berlanjut di Roma. Rakyat kecil, atau plebs, melakukan aksi yang dikenal sebagai Secessio Plebis –demonstrasi massal di mana mereka meninggalkan kota, mogok, dan menolak melayani aristokrat. Senat yang selama ini mengendalikan republik mendadak lumpuh. Plebeian dituduh membahayakan republik, merusak harmoni kota, mengancam keamanan. Namun dari tindakan inilah lahir jabatan tribun rakyat, ruang representasi yang sebelumnya tertutup rapat. Lagi-lagi terbukti, “ketertiban” yang diagungkan hanyalah eufemisme untuk dominasi kelas, dan hanya dengan mengguncangnya rakyat bisa merebut haknya.

Baca Juga: Demonstran Remaja dan Demokrasi Indonesia
Maraton, Bukan Sprint: Saat Rakyat Bergerak Menuntut Keadilan
Jangan Biarkan Demokrasi Indonesia di Tepi Jurang

Mantra Penguasa

Dari Yunani ke Roma, lalu ke masa kini, pola selalu sama, kata “tertib” dipakai sebagai senjata ideologis. Ketertiban adalah mantra yang diucapkan penguasa untuk membungkam rakyat. Begitu rakyat marah dan turun ke jalan, tuduhan “anarkis” segera dilemparkan. Kita sudah hafal pola ini, di Mesir ketika rakyat menggulingkan Mubarak, di Chile ketika mahasiswa menuntut pendidikan gratis. Semua aksi perlawanan diberi label “tidak tertib,” padahal justru ketidaktertiban itulah politik yang sesungguhnya.

Mengapa penguasa begitu takut pada demonstrasi? Karena demonstrasi adalah disensus yang nyata, ia mengganggu lanskap simbolik yang membuat rakyat tetap diam. Jalan raya yang biasanya tunduk pada logika lalu lintas tiba-tiba dipenuhi tubuh-tubuh yang menolak. Mikrofon negara yang biasanya hanya dipakai untuk propaganda tiba-tiba ditandingi oleh toa murahan yang suaranya lebih menggelegar. Demonstrasi adalah invasi politik ke dalam ruang police. Ia adalah pameran kolektif bahwa rakyat bisa hadir dengan cara yang tak pernah diundang.

Di titik inilah kita harus menolak logika penguasa yang selalu memuja “ketertiban.” Apa arti ketertiban? Ketertiban adalah pasar yang berjalan tanpa hambatan, meski buruh diperas sampai mati. Ketertiban adalah jalanan mulus tanpa demonstrasi, meski rakyat miskin terus digusur. Ketertiban adalah ilusi yang menutupi fakta bahwa ketidakadilan adalah fondasi dari keteraturan itu sendiri. Seperti kata Rancière, police adalah pembagian ruang yang memastikan hanya segelintir yang memiliki suara. Maka, bagi mereka yang tak dihitung, satu-satunya jalan adalah merusak ketertiban itu.

Sejarah juga mengingatkan kita bahwa ketertiban tidak pernah abadi. Kerajaan Babilonia, Persia, hingga kekaisaran Romawi semuanya runtuh bukan karena rakyat patuh, melainkan karena rakyat berani melawan. Demonstrasi, pemberontakan, pemogokan, itulah denyut sejarah yang membuat manusia bergerak. Dan setiap kali, mereka melawan dicap “anarkis.” Inilah pola klasik yang terus diulang, karena ketertiban hanyalah topeng bagi kekuasaan, dan mereka yang merusaknya adalah penjahat dalam narasi penguasa.

Bahasa Rakyat

Hari ini, pola itu masih sama. Demonstrasi mahasiswa disebut “anarkis.” Buruh yang memblokade jalan dianggap “merugikan ekonomi.” Petani yang menolak tambang dilabeli “penghambat pembangunan.” Padahal, apa arti pembangunan jika hanya segelintir elite yang kenyang? Apa arti ekonomi jika jutaan orang terbenam dalam kemiskinan? Ketertiban yang mereka maksud adalah ketertiban dalam memeras.

Rancière mengingatkan kita, politik sejati tidak lahir dari meja-meja parlemen yang tenang, melainkan dari momen ketika yang tak punya hak bicara merebut suara. Disensus adalah detak jantung demokrasi. Tanpa disensus, yang ada hanya administrasi, sebuah birokrasi yang memastikan dominasi berjalan mulus. Demonstrasi adalah disensus dalam bentuk paling nyata, tubuh kolektif yang berteriak menyampaikan tuntutan.

Maka, siapa pun yang masih mengagungkan kata “tertib” seharusnya bertanya, tertib untuk siapa? Ketertiban macam apa yang membuat rakyat lapar, petani tergusur, buruh diperas, penyandang disabilitas tertindas, perempuan dibungkam? Bila itu yang disebut ketertiban, maka jawabannya jelas, lebih baik kacau. Kekacauan yang lahir dari perlawanan adalah kekacauan yang melahirkan sejarah. Dari kekacauan itulah demokrasi lahir di Yunani, dari kekacauan itulah plebeian merebut haknya di Roma, dan dari kekacauan rakyat bisa merebut kembali haknya.

Ketertiban adalah mantra penguasa, tetapi demonstrasi adalah bahasa rakyat. Ketertiban adalah tidur panjang, tetapi demonstrasi adalah lonceng yang membangunkan. Dan sekali rakyat terbangun, tak ada tembok, tak ada aparat, tak ada tirani yang bisa menghentikan arusnya. Karena hanya dari jalan yang penuh teriakan, penuh batu, penuh tubuh yang melawan, kita bisa menemukan makna sejati, demokrasi tanpa tuan, politik tanpa rantai, kesetaraan tanpa syarat.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//