Affan Kurniawan, Pekerja Informal, dan Problematika Kota
Rakyat pekerja yang menopang kehidupan kota justru yang paling tidak terlindungi, baik dari risiko ekonomi maupun dari potensi represi negara.

Martin Dennise Silaban
Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM & Peneliti di SHEEP Indonesia Institute
18 September 2025
BandungBergerak.id – Kamis, 28 Agustus 2025, Jakarta menyaksikan sebuah tragedi yang menelanjangi wajah negara.Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online tewas dilindas kendaraan taktis Barracuda milik Brimob Polda Metro Jaya saat aparat membubarkan demonstrasi yang menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tragedi Barracuda bukan hanya soal “kecelakaan demonstrasi”, tapi bukti bahwa pekerja informal tidak diakui sebagai subjek sah yang layak dilindungi dalam situasi politik. Ia meninggal bukan karena ia “demonstran”, tapi karena ia pekerja di ruang publik yang dianggap negara hanya sebagai ruang politik atau keamanan, bukan ruang kerja.
Ia yang tewas adalah sosok yang sehari-hari akrab dengan kita di jalanan kota. Ia bagian dari jutaan pekerja urban informal yang menopang denyut hidup kota. Perannya krusial, mengantar makanan, membawa penumpang, menggerakkan mobilitas. Namun, sayangnya, justru tubuh rapuhnya yang dilindas besi kekuasaan.
Barracuda dalam peristiwa itu melindas bukan hanya tubuh seorang manusia, tetapi juga martabat kelas pekerja urban yang selama ini menjadi tulang punggung kota. Tragedi ini juga memperlihatkan wajah telanjang dari represi negara di mana kekerasan tidak pernah jatuh secara acak, melainkan selalu menemukan tubuh-tubuh paling lemah dalam struktur sosial, mereka yang rentan dan mudah diabaikan.
Ironisnya, tragedi ini terjadi ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru ramai-ramai mempertontonkan kepongahan mereka dan sibuk dengan perbincangan seputar tunjangan mereka sendiri. Kontras ini menegaskan betapa timpang republik ini, di satu sisi elite politik memperkokoh privilese, sementara rakyat pekerja yang seharusnya paling dilindungi justru menjadi korban yang paling mudah dari logika represif negara. Ketika ruang publik hanya dipandang sebagai ancaman keamanan, pekerja informal kehilangan dua hak sekaligus. Hak hidup dan hak kerja.
Baca Juga: Kematian Affan Kurniawan dan Runtuhnya Kepercayaan Publik pada Institusi Polisi
Tragedi Affan Kurniawan, Ketika Suara Rakyat Ditabrak Kekuasaan
Kematian Affan Kurniawan dan Gejala Amnesia Negara
Rapuhnya Pekerja Informal Kota
Kematian seorang pengemudi ojek online dalam represi aparat juga menyingkap sesuatu yang lebih dalam tentang rapuhnya kelas pekerja informal di kota-kota Indonesia.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2025 menunjukkan 86,56 juta orang di Indonesia bekerja di sektor ekonomi informal. Ojek online adalah wajah mutakhir dari sektor ini, bekerja tanpa kontrak yang jelas dengan skema kemitraan, bergantung pada algoritma platform perusahaan, dan hanya memiliki perlindungan sosial terbatas. Banyak pekerja ini tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial nasional, dan sebagian besar tidak memiliki perlindungan ketika kecelakaan kerja terjadi atau ketika kehilangan penghasilan akibat faktor eksternal.
Mereka bukan penganggur, tetapi juga bukan pekerja dengan perlindungan layak. Posisi mereka berada di buffer zone antara pengangguran terbuka dan pekerjaan formal, ditandai oleh jam kerja panjang, ketidakpastian penghasilan, ketiadaan jaminan sosial, serta daya tawar yang nyaris nol (CNBC,2025).
Saskia Sassen (1993) menunjukkan ironi ini bahwa kota memang berkembang dalam dua wajah. Di satu sisi, kota seperti Jakarta menampung fungsi-fungsi kapitalisme global, markas korporasi internasional, pusat finansial, dan tenaga profesional bergaji tinggi yang menopang ekonomi pasca-industri. Namun di sisi lain, kota juga bertumpu pada kehadiran pekerja dengan upah rendah, sering kali pendatang yang menopang ekonomi informal melalui kerja-kerja rapuh, fleksibel, namun krusial. Dalam pandangan ini, kota bukan hanya ruang pembangunan, melainkan ruang kontestasi antara dua dunia yang timpang yakni dunia korporasi global dan dunia pekerja informal (Fathy, dkk, 2022).
Pekerja Gojek di Indonesia mewakili wajah paling nyata dari ekonomi informal perkotaan. Mereka sekaligus menjadi “infrastruktur sosial” bagi kota modern yang menghubungkan orang, barang, dan jasa namun tanpa pengakuan yang setara dengan peran vitalnya. Pekerja Gojek adalah syarat bagi keberlangsungan konsumsi cepat, mobilitas tinggi, dan gaya hidup kelas menengah-atas perkotaan. Namun mereka tidak pernah sepenuhnya independen dalam menciptakan ruang mereka sendiri. Aplikasi digital, algoritma tarif, hingga regulasi negara membatasi ruang hidup mereka, sehingga kerja keras mereka bukan menghasilkan otonomi, tetapi justru memperdalam ketergantungan.
Marginalisasi pekerja informal, khususnya Gojek, terlihat jelas saat ruang publik berubah menjadi ruang represi. Kematian seorang pekerja Gojek yang terlindas Barracuda polisi dalam demonstrasi adalah simbol betapa rapuhnya posisi mereka. Pada satu sisi diperas tenaganya untuk menopang kota, di sisi lain tidak dilindungi ketika kota menjadi arena ketegangan sosial-politik. Mereka juga terimpit dalam paradoks, dibutuhkan oleh kota, namun tidak dianggap sebagai subjek yang layak mendapatkan perlindungan, baik ekonomi maupun politik.
Di sinilah letak ironi yang pahit, rakyat pekerja yang menopang kehidupan kota justru yang paling tidak terlindungi, baik dari risiko ekonomi maupun dari potensi represi negara. Ketika aparat dikerahkan untuk membubarkan demonstrasi, tubuh merekalah yang pertama-tama tersingkir.
Dari Ruang Kematian ke Ruang Kehidupan
Kematian seorang pekerja Gojek dalam demonstrasi bukan hanya menyingkap brutalitas aparat namun juga memperlihatkan rapuhnya posisi pekerja informal dalam relasi negara, pasar dan ruang kota. Peristiwa ini juga tidak semestinya sebagai sekadar tragedi insidental, melainkan peringatan keras bahwa negara gagal mengakui ruang publik sebagai ruang kerja yang aman.
Hingga saat ini, solusi yang ditawarkan negara maupun perusahaan cenderung bersifat incident-based, karitatif, reaktif dan individualistik melalui serangkaian kompensasi finansial, santunan, atau skema asuransi terbatas yang ditanggung Perusahaan maupun negara. Pendekatan ini memang penting, tetapi tidak menjawab akar persoalan.
Pertanyaan mendasar yang luput dijawab adalah bagaimana membangun skema perlindungan struktural agar pekerja informal seperti pengemudi Gojek tidak mudah menjadi korban represi di ruang-ruang yang menjadi sumber penghidupannya?
Solusi baru menuntut negara hadir bukan hanya sebagai “penyedia jaring pengaman sosial” yang pasif, melainkan sebagai penjamin hak dasar atas keselamatan. Tanpa itu, pekerja informal akan terus berada dalam posisi rentan, di satu sisi menopang denyut ekonomi perkotaan, tetapi di sisi lain tidak pernah dianggap layak sebagai warga yang berhak atas perlindungan penuh. Tawaran yang lebih substansial harus diarahkan pada perlindungan struktural terhadap pekerja informal. Ada setidaknya empat agenda mendesak.
Satu, pekerja informal urban harus diakui sebagai subyek politik kewargaan baru. Mereka bukan sekadar penggerak ekonomi, melainkan juga warga negara yang haknya harus dijamin setara dengan pekerja formal. Selama ini, pekerja informal terjebak di zona abu-abu, bekerja tanpa kepastian hukum, hidup di ruang publik yang sewaktu-waktu bisa direpresi, dan bergantung pada platform digital yang tidak memberi jaminan kerja.
Namun, pengakuan ini juga tidak cukup hanya diwujudkan lewat regulasi yang mengulang pendekatan lama yakni memberi “akses individu” untuk menuntut haknya di hadapan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia sering berbelit, dan formalistik sementara dunia kerja informal sangat cair, cepat berubah, dan sifatnya kolektif. Menuntut hak lewat mekanisme hukum individual ibarat meminta burung pipit melawan badai.
Karena itu, yang dibutuhkan bukan sekadar hak individual, melainkan “hak kolektif perlindungan.” Gagasannya adalah para pekerja informal urban dipayungi oleh satu rezim hak yang mengikat mereka sebagai komunitas. Misalnya, komunitas ojek online memiliki hak kolektif atas rasa aman di jalanan dan ruang publik sebagai ruang kerja mereka.
Pendekatan ini akan lebih substansial ketimbang mekanisme bantuan hukum per kasus, karena ia menggeser cara pandang negara dari sekadar melindungi individu yang “kebetulan dirugikan,” menuju pengakuan bahwa komunitas pekerja informal urban itu sendiri adalah subyek politik yang berhak atas rasa aman, pengakuan, dan perlindungan bersama.
Dengan begitu, yang di dorong adalah reformasi hubungan negara dengan warganya, salah satunya pekerja informal. Jika negara serius mengakui mereka sebagai subyek hukum kolektif, maka aparat pun wajib menyesuaikan diri, bukan lagi dengan logika represi, melainkan dengan kewajiban melindungi hak komunitas yang diakui secara sah.
Kedua, Asuransi sosial kolektif berbasis solidaritas pekerja informal. Alih-alih menunggu perlindungan negara yang sering kali lamban, penting juga untuk mengorganisir pekerja informal seperti ojek online, pedagang kaki lima, dan buruh lepas untuk didorong membangun sistem perlindungan bersama (mirip koperasi) yang menjamin dana darurat ketika terjadi kecelakaan akibat represi negara atau kerentanan lain di ruang publik. Hal ini menekankan kemandirian kolektif dan solidaritas. Skema ini bukan pengganti tanggung jawab negara, melainkan strategi memperkuat kemandirian dan solidaritas kelas pekerja agar tidak sepenuhnya bergantung pada belas kasih negara atau Perusahaan.
Ketiga, penguatan literasi hukum dan digital bagi pekerja informal. Kerentanan pekerja informal banyak lahir dari lemahnya posisi tawar ketika berhadapan dengan aparat, negara, maupun platform digital. Literasi hukum bukan sekadar pengetahuan, tetapi alat untuk memperkuat daya negosiasi kolektif. Literasi digital juga penting, sebab algoritma dan kebijakan platform sering menentukan pendapatan dan keberlangsungan hidup mereka. Dengan kesadaran kritis, pekerja informal bisa menuntut regulasi yang lebih adil sekaligus membangun posisi tawar ketika bernegosiasi dengan negara atau ketika menghadapi reprisifitas aparat di ruang publik.
Keempat, penting mendorong regulasi yang mengakui ruang publik sebagai “ruang kerja rakyat”. Tragedi Barracuda yang merenggut nyawa seorang pengemudi Gojek memperlihatkan betapa abainya negara terhadap dimensi ini. Korban tidak sedang ikut berdemonstrasi, namun sedang bekerja di jalanan yang memang menjadi ruang hidupnya. Tetapi ketika negara memperlakukan demonstrasi hanya sebagai ancaman ketertiban, aparat lalu menurunkan kendaraan taktis tanpa mempertimbangkan keberadaan pekerja informal yang menggantungkan hidup di ruang publik. Akibatnya fatal, ruang yang mestinya melindungi kehidupan justru berubah menjadi ruang yang mematikan. Itulah sebabnya, tindakan represif di ruang publik tidak bisa hanya dipandang sebagai pelanggaran hak politik, melainkan juga penghancuran hak ekonomi rakyat. Regulasi yang mengakui ruang publik sebagai ruang kerja rakyat akan memaksa negara melihat bahwa setiap kebijakan pengamanan harus sekaligus menjamin keselamatan dan keberlangsungan kerja mereka.
Empat agenda ini bukanlah pengganti reformasi aparat, tetapi jalan lain yang lebih substansial untuk memastikan bahwa ketika kekerasan negara berulang, rakyat pekerja tidak lagi sepenuhnya telanjang tanpa perlindungan.
Pada akhirnya, kematian seorang pengemudi ojek online di bawah roda Barracuda adalah tragedi yang menyingkap wajah rapuh republik ini dan mestinya mengguncang kesadaran kita bahwa kota tidak bisa terus dibangun di atas pengorbanan para pekerja informal yang setiap hari menopang denyut hidupnya. Tanpa skema perlindungan struktural yang melampaui kompensasi sesaat, kita hanya mengulangi siklus ketidakadilan, sampai ada korban berikutnya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB