Kematian Affan Kurniawan dan Gejala Amnesia Negara
Ketidakadilan bisa menimpa siapa saja. Penyelesaian kasus kematian Affan Kurniawan tidak boleh berhenti hanya pada permintaan maaf.

Raihan Immaduddin
Warga Biasa
2 September 2025
BandungBergerak.id – Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Tidak sulit menyebut penyebab kematian Affan Kurniawan bukan semata-mata dilindas rantis Brimob seberat puluhan ton, tetapi kemiskinan dan kepayahan hidup akibat kebijakan negara yang tak pernah berkeadilan.
Bayangkan, anak berusia 21 tahun harus menjadi tulang punggung keluarga yang beranggotakan tujuh orang. Tinggal di kontrakan kecil 3x11 meter di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sebuah wilayah yang dipenuhi kemewahan di tiap sudut terangnya. mobil listrik, sirene patroli pejabat, gedung perkantoran menjulang, dan restoran mahal. Pertanyaannya, apakah Affan pernah merasakan semua kenyamanan itu? Rasanya tidak, dan mungkin tak akan pernah.
Umumnya, di umur 21 tahun kematangan mental dan daya pikir seseorang benar-benar diuji. Kepekaannya terhadap sekitar, kepercayaannya mengubah hidup, kekuatan dan kekebalannya menjalani semua hal yang terjadi di depan mata. Ya, Affan ada di fase tersebut. Pagi bertemu malam ia habiskan di jalan, melayani pelanggan dan penumpang dengan segala rupa tingkahnya. Menghadapi kerasnya hidup di jalannya tatkala ban motornya bocor, bertemu polisi lapar yang iseng, atau papasan dengan pejabat arogan yang menenteng pistol. Semuanya ia jalani dengan sabar dan penuh kesadaran, sebab baginya bertahan berarti menjaga mimpi.
Mimpi dan targetnya tentu masih terlalu banyak untuk membuatnya menyerah pada keadaan. Ia mungkin bermimpi akan melanjutkan sekolahnya sampai perguruan tinggi, membiayai sekolah adik perempuannya, memberangkatkan orang tuanya ke tanah suci, memiliki rumah pribadi, membeli kendaraan impian, sampai mempunyai keluarga kecil dan bahagia suatu saat nanti. Affan mungkin ingin ini, mungkin ingin itu, dan mungkin-mungkin lain yang kini tidak lagi mungkin
Yang pasti, mungkin-mungkin itu Affan rawat sampai ajalnya tiba. Pesanan makanan yang ia antar Kamis malam itu jadi buktinya. Ia bisa saja pulang lebih awal saat potensi kerusuhan dan jatuhnya korban mulai meningkat. Namun, Affan tak memilih jalan demikian. Ia tetap berusaha dan bertanggung jawab sebagai tulang punggung keluarganya sekaligus sebagai makhluk yang berhusnudzon pada seluruh rencana Tuhan. Barangkali, bagi Affan, ancaman di jalan tak sebanding dengan harapan mengubah nasib keluarganya lewat rupiah dari pesanan pelanggan.
Dengan kata lain, dorongan hidup miskin dan tidak berkesempatan menempuh pendidikan tinggi yang pada akhirnya membuat Affan terperosok jatuh di depan mobil rantis Brimob. Cerita selanjutnya kita sama-sama tahu, Affan Kurniawan meninggal dilindas kendaraan yang dikemudikan oleh para polisi bebal dan nirkemanusiaan. Dan drama pementasannya bisa sama-sama kita tebak, pimpinan polisi, para anggota dewan, kepala daerah, bahkan presiden mengucapkan belasungkawa ke keluarga korban.
Jika penyelesaian kasus ini mentok pada ucapan permohonan maaf di sosial media dan tidak ada pertanggungjawaban negara atas produk kebijakannya yang tidak berkeadilan. Mengutip Zen R. S., ini yang disebut “pola umum yang sangat Indonesia”, ketika kekerasan dan kejahatan berlangsung secara masif melibatkan aktor-aktor negara, hampir bisa dipastikan tidak ada penyelesaian yang memberi keadilan kepada para korban.
Baca Juga: Kematian Affan Kurniawan dan Runtuhnya Kepercayaan Publik pada Institusi Polisi
Tragedi Affan Kurniawan, Ketika Suara Rakyat Ditabrak Kekuasaan
Satu Nyawa, Dua Institusi, dan Keharusan Rakyat Memberontak
Menagih Pertanggungjawaban Negara.
Tragedi 1965, Reformasi 1998, dan Kanjuruhan 2022 hanyalah contoh kecil dari kegagalan negara mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Peristiwa menyakitkan tersebut lewat begitu saja; meninggalkan trauma, luka, cacat, dan pilu yang tak terhingga. Namun, aktor kejahatannya tidak pernah benar-benar diadili. Kariernya tetap cemerlang, gaya hidupnya makin glamor, bahkan bisa dengan mudahnya mengubah narasi sejarah sesuai kemauan mereka. Impunitas.
Momen kematian Affan Kurniawan ini boleh jadi titik awal menagih bahkan memaksa negara mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Toh, tuntutan aksi hari ini tidaklah jauh dari persoalan kenaikan upah dan gaji selangit milik anggota dewan. Tuntutan yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Orang miskin tambah banyak, PHK di mana-mana, angka pengangguran kian meningkat, sedang gaji dan tunjangan pejabat yang tak masuk logika. Belum ditambah dengan keluhan serta statement mereka yang bikin kita mikir, “Apa benar ini penyambung aspirasi rakyat?”
Pendapat Dandhy Laksono ada benarnya, “Kemarahan demi kemarahan yang terwujud dari pembakaran fasilitas umum dan simbol-simbol kekuasaan, boleh jadi merugikan rakyat sendiri. Namun, ini adalah ongkos yang mesti rakyat tanggung bersama untuk menumbuhkan keberanian rakyat melawan tirani. Sebuah investasi sosial untuk masa depan.”
Affan Kurniawan adalah martir. Ia adalah cermin jutaan anak muda yang dipaksa dewasa karena kebobrokan negara. Ingatan atas Affan menegaskan bahwa ketidakadilan bisa menimpa siapa saja. Hanya keberanian menuntut dan melawan yang dapat memastikan tidak ada lagi Affan lain meninggal demi sesuap hidup.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB