• Opini
  • Surat untuk Seseorang yang Sering Lupa Beristirahat

Surat untuk Seseorang yang Sering Lupa Beristirahat

Kamu adalah manusia yang rapuh sekaligus kuat, yang berhak merasakan damai di riuh rendah dunia.

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Ada orang-orang yang berperan signifikan dalam dinamika zamannya tapi ditinggalkan begitu saja oleh sejarah. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

2 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Bagaimana kabarmu hari ini?

Aku agak cemas. Aku melihat caramu menyeret langkah pagi tadi, begitu lambat dan terhuyung-huyung. Tatapanmu kosong ketika memacu sepeda motor menuju kantor. Di sela-sela pekerjaanmu, aku mendengar helaan napas panjang yang kamu embuskan diam-diam saat tidak ada yang memperhatikan. Beban itu, aku kenal betul, semuanya menumpuk di pundakmu. Ya, aku tahu kamu tidak baik-baik saja.

Sekarang pukul satu dini hari. Kamu masih saja bergulat di hadapan layar laptop. Cahaya biru memantulkan bayang gelap di bawah matamu. Meja kerjamu begitu berantakan, gelas-gelas bekas kopi belum kamu cuci dan sampah sisa makanan belum kamu buang. Di waktu sekarang, dunia mungkin sudah sedikit mereda. Tapi di kepalamu, aku tahu, kebisingan itu tidak pernah benar-benar berhenti.

Belakangan, aku mengerti kamu sedang sibuk luar biasa. Sibuk bekerja, sibuk mengejar tenggat, sibuk berjuang. Kamu sibuk bertahan hidup di dunia yang menuntut semuanya serba sempurna. Aku melihatmu sering lupa makan, lupa tidur, bahkan lupa bahagia. Tentu, semua itu beralasan. Ada gunung ambisi yang ingin kamu daki, ada samudera impian yang ingin kamu seberangi.

Dan kota ini, Bandung, tidak pernah tidur. Terlampau sibuk dengan masalah-masalahnya. Kita dihantui oleh darurat sampah yang bau busuknya menempel di udara. Kita berkutat dengan  masalah macet yang membuat separuh hidup kita habis di aspal jalan –yang juga menjadikan langit berwarna pias kehilangan biru jernihnya. Kita menyaksikan beton-beton tumbuh begitu cepat, merenggut kampung-kampung kota tempat orang-orang banyak menggantungkan nasib. Kota ini sedang sakit dan kamu mendekapnya terlalu erat sampai-sampai tanpa sadar ikut terluka bersamanya.

Negeri kita, Indonesia, juga sedang tidak baik-baik saja. Beberapa waktu lalu, seorang pengemudi ojek online ditabrak mati oleh aparat. Rakyat yang mengekspresikan kemarahan kemudian dihantam bogem, pentungan, dan gas air mata. Mereka ditangkap dan dicap sebagai anarko. Kendati begitu, para pejabat tetap tidak peduli dan berlaku seenak jidat atas nasib hidup orang-orang yang mereka wakilkan.

Kita semua sibuk berteriak, tapi tidak ada orang di menara gading sana yang benar-benar mau mendengarkan. Kita dipaksa untuk terus waspada, terus berjuang –melawan ketidakadilan, melawan peraturan yang mengekang, atau sekadar melawan rasa pesimis yang diam-diam merayap ke jantung hati kita.

Di tengah semua ini, kamu terus memacu dirimu. Begitu sibuk. Bangun sebelum fajar, tidur jauh setelah larut. Makan siang dikorbankan untuk rapat, waktu istirahat dicuri untuk menyusun siasat. Semua atas nama ambisi, pembuktian, dan ketakutan menjadi seseorang yang tertinggal.

Kemana perginya sosok kecil yang pernah hidup di dalam dirimu? Aku teringat padanya. Seorang bocah yang begitu ceria saat bel sekolah berbunyi. Yang kekhawatiran terbesarnya hanyalah hujan di sore hari karena bisa menggagalkan rencana bermain sepak bola atau lompat tali. Kemana perginya anak tengil dengan tawa paling jujur yang pernah ada di dunia itu?

Sejujurnya, kesibukan telah mengambil anak itu darimu, dan menggantinya dengan sosok orang dewasa yang menyebalkan.

Baca Juga: Surat Buat Mbak K
Surat Terbuka buat Anakku (Kelak) yang Beranjak Remaja
Surat dari Anak 90-an Buat Pak Dal tentang Lagu Bintang Kecil

Bukan, bukan menyebalkan bagi orang lain –mereka mungkin memujimu sebagai seorang pekerja keras. Kamu menyebalkan bagi dirimu sendiri. Sorot matamu tidak lagi memantulkan binar. Badanmu sering pegal tanpa penyebab yang jelas. Kamu menjadi pelupa akan segala hal-hal kecil: janji mengobrol dengan seorang kawan, ulang tahun ibumu, atau sekadar di mana kamu meletakkan kunci rumah. Kamu sinis, mudah tersinggung, dan lebih gampang menyerah.

Aku sudah melihat jutaan orang dewasa yang kelelahan di dunia ini. Tapi caramu menyiksa diri sendiri dengan senyum palsu dan dalih "tidak apa-apa", barangkali, membuatmu layak menjadi juaranya. Sebuah predikat yang tentu tidak seorang pun menginginkannya.

Atas dasar apa kamu lakukan semua ini? Cinta?

Ya, aku tahu ini tentang cinta. Cintamu pada kebenaran, pada perjuangan warga yang dipinggirkan, pada harapan bahwa dunia masih bisa menjadi lebih baik. Itu cinta yang paling murni. Tapi, cinta tentu tidak mengorbankan (diri sendiri), bukan?

Cinta mestinya tidak menjauhkanmu dari orang-orang terdekat yang merindukan utuh kehadiranmu. Tidak menjauhkanmu dari pasangan yang saban waktu kamu nanti-nantikan itu. Coba pikirkan, bagaimana seseorang bisa berkunjung pada sebuah rumah yang pemiliknya saja tidak pernah benar-benar tinggal di dalamnya?

Dengarlah aku baik-baik, kawan. Mungkin ini agak terlambat, tapi harus akan sampaikan agar kamu tidak terperosok lebih jauh lagi. Hal terbaik yang bisa kamu lakukan saat ini adalah beristirahat.

Di zaman ini, di negeri ini, istirahat bukan lagi sekadar malas-malasan. Istirahat bukan tanda kamu gagal menjadi manusia. Istirahat adalah sebuah tindakan politis. Sebuah perjuangan. Di tengah sistem yang sengaja dirancang untuk memeras tenaga dan emosimu hingga tetes terakhir, memilih untuk berhenti sejenak adalah tindakan revolusioner. Kamu berjuang merebut kembali hak paling asasi: tubuh dan waktumu. Dengan begitu, kamu akan tetap menjadi waras dan manusiawi.

Beristirahat bukan tanda menyerah. Istirahat adalah caramu mengisi kembali amunisi untuk pertarungan jangka panjang. Sekaligus juga sebagai sebuah pernyataan: kamu menolak untuk dihancurkan oleh kelelahan.

Oleh karenanya, mulai sekarang istirahatlah. Ambilah jeda. Mulailah lakukan hal-hal sederhana yang (mungkin) bisa membuatmu menjadi lebih baik.

Pagi nanti, bangunlah dengan tenang dan tidak buru-buru. Seduh kopi panas. Biarkan aromanya menjadi satu-satunya hal yang ada di duniamu saat itu. Dengarkan suara di sekitarmu: kicau burung, ke-tring-an pedagang bubur, atau tawa anak-anak berangkat sekolah. Perhatikan bagaimana cahaya mentari jatuh dan ikut mewarnai kisah mereka.

Di jam makan siang, tinggalkanlah ruang kerjamu. Cari warung kecil dan makanlah dengan tenang. Rasakan setiap bumbu, setiap tekstur. Mungkin tidak seenak masakan ibumu, tapi setidaknya senyum pemilik warung bisa mengomati rasa kangenmu. Lepaskan belenggu yang mengikat tubuhmu. Biarkan setiap suapan memberimu energi untuk menjalani hari sampai larut.

Sore hari, berjalan kakilah tanpa tujuan. Biarkan kakimu membawamu ke gang-gang kecil yang belum pernah kamu lewati. Lemparkan senyum kepada manusia, hewan, dan tumbuhan yang kamu jumpai. Sadari bahwa ada kehidupan lain yang berjalan di luar lingkaran rutinitasmu yang menjenuhkan.

Ketika malam tiba, duduklah di teras atau balkon. Tataplah langit. Perhatikan tabur bintang, ketidaksempurnaan bulan, dan gerak awan. Perhatikan gerak mereka setiap waktunya. Dengan begitu, kamu mungkin akan menyadari betapa alam semesta terus berjalan dengan ritmenya sendiri yang tidak tergesa-gesa.

Beristirahatlah, sebab kamu pantas mendapatkannya. Kamu lebih dari sekadar pekerjaanmu, lebih dari target-targetmu. Kamu adalah manusia yang rapuh sekaligus kuat, yang berhak merasakan damai di riuh rendah dunia.

Beristirahatlah. Agar kamu bisa bertahan sedikit lebih lama, agar esok dan esok hari kamu punya kekuatan lagi. Bukan untuk berlari lebih kencang, tapi untuk berjalan dengan lebih sadar, lebih tenang, dan lebih utuh. Sebab hidup bukanlah perlombaan, melainkan sebuah penjelajahan. Tugasmu bukan untuk menjadi yang tercepat, tapi menjadi yang sanggup melangkah sampai titik terjauh.

Terima kasih sudah berkenan membaca surat ini sampai akhir. Terima kasih sudah hidup sampai detik ini.

Dari lubuk perasaan yang terdalam, aku ingin kembali melihat binar di matamu. Aku ingin kembali mendengar tawamu yang lepas. Aku ingin kamu kembali menjadi kawanku. Aku di sini, selalu di sini, menunggumu pulang.

Dari sahabatmu yang paling dekat, paling khawatir, dan paling sering kamu abaikan,

Dirimu Sendiri.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//