• Opini
  • Surat dari Anak 90-an Buat Pak Dal tentang Lagu Bintang Kecil

Surat dari Anak 90-an Buat Pak Dal tentang Lagu Bintang Kecil

Hari ini bintang sudah tanggal dari langit. Satu-satunya imajinasi anak tentang bintang barangkali hanya datang dari buku pelajaran di sekolah dan lagu zaman kiwari.

Tofan Aditya

Pengelola Komunitas dan Program BandungBergerak.id, dapat dihubungi di [email protected]

Kemacetan akibat pengendara sepeda motor berhenti untuk menonton kembang api di atas flyover Pasupati atau flyover Mochtar Kusumaatmadja pada menjelang perayaan tahun baru, 31 Desember 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

25 Juni 2025


BandungBergerak.id – Buat Bapak R. Geraldus Daldjono Hadisudibyo alias Pak Dal yang budiman.

Nama Bapak mungkin tidak sementereng Ibu Sud, Pak Kasur, atau Pak AT Mahmud, sekalipun kalian semua hidup sezaman. Kendati begitu, karya Bapak punya tempat tersendiri di hati saya, mungkin juga di hati orang-orang sepantaran saya. Hanya saja, dengan berat hati saya harus sampaikan, lagu buatan Bapak sudah tidak lagi relevan dengan anak-anak zaman sekarang.

Aduh, maaf, saya terlalu terburu-buru memberi kesimpulan sampai lupa berkenalan. Saya Tofan, lahir menjelang akhir tahun 90-an, tepatnya ketika krisis moneter terjadi. Entah masuk ke kategori Milenial atau Gen-Z, yang jelas teknologi sudah ada kala itu hanya belum semasif sekarang. Tofan kecil biasa menghabiskan waktu dengan menonton kartun di televisi dan mendengarkan lagu-lagu anak dari kaset Compact Disk (CD).

Ya, mendengarkan lagu anak. Baru belakangan saya ketahui lagu-lagu yang menemani masa kecil saya adalah buatan Bapak. Bunda Piara, Peramah dan Sopan, juga Tukang Kayu (duh jadi ingat presiden kemarin!). Tapi, lagu yang paling saya suka berjudul Bintang Kecil.

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Liriknya mudah dihafal, easy listening, dan pesannya kuat. Kalau kata Prof. Mawar Sitoresmi, "Melalui lagu ini, anak-anak diajak untuk melihat dunia dengan mata yang penuh keajaiban dan merasakan kehangatan dalam hubungan sosial mereka."

Zaman berganti, saya masih mendapati anak-anak kecil menyanyikan lagu Bapak, meskipun jarang. Salah satunya keponakan teman saya yang usianya sekitar 3 tahun. Lewat video yang dia unggah di platform Instagram, saya mengamati betapa riangnya anak tersebut menyanyikan lagu bintang kecil di antara gelap malam sambil menari mengangkat tangan tinggi-tinggi seolah berusaha meraih bintang.

Menyaksikan cuplikan tersebut membuat saya senang sekaligus sedih. Senang karena ternyata masih ada anak-anak seusianya yang menyanyikan lagu yang cocok dengan tahap kembangnya. Sedih lantaran anak tersebut menyanyikan lagu Bintang Kecil tanpa bintang di atasnya. Ya, tanpa bintang!

Kebetulan, saya menulis surat ini ketika malam. Saya segera mengecek ke luar rumah. Memastikan apakah bintang memang tidak ada atau itu hanya ketidakmampuan kamera menangkap cahayanya. Ternyata benar saja, tidak ada kerlip cahaya bintang di langit malam ini, di langit Bandung. Di langit hanya ada hamparan langit biru keabu-abuan dan bulan yang terang bersinar. Itu saja.

Saya tidak tahu pasti kapan bintang mulai menghilang dari langit Bandung. Tapi, tepat di titik saya berdiri ini, sewaktu kecil, saya ingat betul Ayah saya menunjuk bintang paling terang. Bintang itu dikelilingi oleh banyak bintang-bintang lain yang tidak kalah terang. Saya seperti bocah dalam video yang disinggung sebelumnya –saya menyanyikan lagu bintang kecil di antara gelap malam sambil menari mengangkat tangan tinggi-tinggi seolah berusaha meraih bintang. Bedanya, ketika itu bintang benar-benar ada di atas kepala.

Pak Dal yang baik, saya kemudian berpikir, apakah anak-anak sekarang masih bisa menari di bawah bintang sambil menyanyikan lagu Bintang Kecil? Ataukah itu sebuah ketidakmungkinan?

Baca Juga: Surat buat Rengginang di Kaleng Khong Guan
Surat Buat Toilet Sekolah
Surat Buat Mbak K

Bintang yang Hilang di Langit

Tumbuh dan besar di Bandung membuat saya mengerti kalau kota ini semakin padat dan hampir tidak pernah tidur. Tepat ketika matahari pagi menyingsing, orang-orang berhamburan pergi ke tempat kerja. Siang harinya, kota ini tidak lelahnya membangun dan terus bertumbuh. Menjelang sore, setiap kendaraan berlomba untuk pergi dari tempat kerjanya cepat-cepat. Malam hari dihabiskan untuk berwisata malam atau istirahat di rumah masing-masing. Barangkali aktivitas yang berulang macam itu yang membuat bintang menghilang dari Bandung.

Dari banyak riset yang saya dapatkan, pertumbuhan kota menjadi salah satu penyebab hilangnya ribuan bintang di langit malam. Polusi cahaya menjadi hal yang tidak terhindarkan akibat dari pertumbuhan penduduk yang pesat, menghasilkan cahaya buatan yang berlebih. Belum lagi pencemaran udara yang membuat partikel-partikel polutan seperti debu dan asap kendaraan menurunkan kejelasan langit dan mengaburkan pandangan mata untuk melihat ke arah bintang-bintang.

Hilangnya bintang tidak hanya di Bandung, tapi juga di banyak tempat. Riset yang dilakukan oleh German Research Center for Geosciences dan National Science Foundation (NSF) bertajuk Globe at Night membuktikan bahwa sepertiga langit di dunia sudah tidak bisa lagi melihat galaksi Bima Sakti. Riset ini tidak main-main, dilakukan dalam rentang 2011 sampai 2022 dengan melibatkan 50 ribu orang dari berbagai belahan dunia. Sedikit tambahan, konon hanya tersisa 6.000 bintang yang masih bisa dilihat oleh mata telanjang.

Lantas, kembali ke pertanyaan sebelumnya, apakah anak-anak masih mungkin untuk melihat bintang di langit malam?

Bisa, tapi harus lebih bermodal. Setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan. Pergi ke wilayah lain, yang belum terpapar banyak polusi cahaya, atau melihatnya melalui aplikasi. Artinya, mengingat tidak semua orang memiliki privilese, tidak semua anak-anak bisa melihat bintang dengan cara yang cuma-cuma.

Pak Dal, di dunia yang Bapak llihat terakhir (sekitar 77 tahun lalu) mungkin hal tersebut terdengar tidak masuk akal. Tapi, begitulah kenyataan hari ini. Bintang sudah tanggal dari langit. Satu-satunya imajinasi anak tentang bintang barangkali hanya datang dari buku-buku pelajaran di sekolah dan lagu zaman kiwari. Kenyataan begitu pahit, orang-orang dewasa –yang mengaku semakin modern, telah membunuhnya.

Saya mencoba menebak pertanyaan di kepala Bapak, "Lantas jika lagu buatan saya sudah tidak relevan untuk anak-anak, mengapa tidak dibuatkan lagu-lagu yang baru, yang relevan?"

Itu juga kabar buruk kedua yang ingin saya sampaikan. Semoga Bapak tidak cepat-cepat membuang atau merobek surat ini karena kesal. Saya akan mencoba menceritakannya sedikit.

Lagu Anak yang Meredup

Sejak tahun 2000-an, lagu anak-anak mulai meredup dalam belantika musik Indonesia. Perusahaan mayor label mempersempit ruang bagi penyanyi dan lagu-lagu anak. Mereka lebih memilih untuk fokus menyasar remaja dan orang dewasa, yang dalam kacamata ekonomi terlihat lebih menjanjikan.

Padahal di tahun-tahun sebelumnya, di sekitar tahun 90-an, penyanyi dan lagu anak bersinar betul kiprahnya. Lagu anak berseliweran di mana-mana. Di acara-acara TV, di sekolah-sekolah, di kartun-kartun yang menghidupi dunia masa kecil. Lagu-lagu anak dalam kartun memang berstruktur sederhana sehingga mudah dihafalkan dan dinyanyikan. Sebutlah kartun-kartun Doraemaon, Crayon Shinchan, Ninja Hatori, Hamtaro, dan Chibi Maruko Chan. Anak-anak kala itu hampir tidak pernah kehabisan stok pilihan lagu sebagai teman menjalani aktivitas bermain dan belajar.

Tahun demi tahun berlalu. Perkembangan lagu anak diam di tempat. Harapan sempat muncul ketika lagu Romaria berjudul Malu Sama Kucing (2014) meledak di pasaran. Sayang harapan itu pupus. Lagu kedua Romaria tidak terkenal lagu pertamanya. Selepas itu, saya tidak ingat ada lagu anak lagi yang ramai didengarkan orang-orang.

Ketiadaan lagu anak-anak membuat anak-anak lebih senang mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu orang-orang dewasa. Saya coba bertanya ke anak-anak di sekitar rumah saya, jawabannya miris, mereka lebih tahu Stecu Stecu atau Mangu ketimbang Pelangi-pelangi atau Balonku. Ketika saya tantang bernyanyi, mereka juga lebih hafal lagu Madu dan Racun ketimbang Lihat Kebunku.

Ketika membaca sampai di titik ini, Bapak mungkin marah dengan situasi di zaman saya sekarang. Tapi, saya harap Bapak tidak melampiaskannya kepada anak-anak. Sebab bukan salah mereka juga. Mereka terpaksa mengonsumsi lagu-lagu tersebut. Anak-anak tidak lagi punya pilihan lagu yang cocok dengan usia mereka seperti di era-era sebelumnya.

Sepertinya sudah lumayan panjang cerita –yang hampir semuanya kabar buruk ini, yang saya sampaikan kepada Bapak. Sebagai penutup, saya ingin Bapak tidak memupus harapan terkait masa depan lagu-lagu anak. Mungkin kita memang terjebak di zaman kegelapan, seperti langit malam tanpa bintang, tapi masih ada setitik cahaya. Masih ada orang-orang muda yang memiliki semangat seperti Bapak.

Sebutlah Gulali Warna Indonesia yang sempat beberapa kali saya tonton pertunjukannya. Membuat anak-anak bernyanyi dan terhibur, dan bahkan ikut menggugah jiwa anak-anak dalam diri saya. Sebutlah pula Ibu Sud Hari Ini yang baru-baru ini mengeluarkan Extended Play (EP) berjudul Nyanyian Alam untuk merawat keberlangsungan lagu-lagu anak.

Sekalipun dunia semakin njelimet, saya ingin Bapak yakin bahwa orang-orang muda kita tidak tinggal diam. Situasi memang semakin buruk, tapi masih ada orang-orang yang mencurahkan segenap hati dan pikirannya untuk tujuan yang mulia. Meski kecil. Meski perlahan. Tapi setidaknya ada yang dilakukan.

Semoga penutup surat ini membuat Bapak sedikit lega. Tolong sampaikan salam saya dan juga isi surat ini kepada Ibu Sud, Pak Kasur, dan Pak AT Mahmud. Sertakan permintaan maaf saya karena belum bisa menyurati mereka satu persatu dan menceritakannya langsung.

Terima kasih sudah mengisi dunia kecil saya dengan lagu-lagu yang relevan dan berdampak baik untuk masa dewasa saya. Sekali lagi, terima kasih, Pak Dal.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Tofan Aditya, dan tulisan-tulisan lain tentang Musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//