Jurnalis, Berita, dan Tragedi
Seharusnya sebuah karya jurnalistik mempertimbangkan beberapa hal yang tidak boleh diabaikan dalam memberitakan tragedi. Berita dapat menimbulkan dampak traumatik.

Virliya Putricantika
Jurnalis foto
2 Oktober 2025
BandungBergerak.id – “Suicide is not merely attributed to a mental illness experienced by the individual but also to the influence of the social environment,” (Bunuh diri tidak hanya disebabkan oleh gangguan mental yang dialami oleh individu, tetapi juga oleh pengaruh lingkungan sosial) tulis Ribeiro dalam jurnal penelitiannya tentang peran jurnalis dalam pelaporan bunuh diri.
Membaca kabar kepergian seseorang tidaklah mudah untuk siapa pun. Tapi kenapa kejadian ini seolah hanya sebatas publikasi yang dikejar kecepatan waktu? Karena kerja jurnalistik tidak sebatas itu.
Mari membayangkan informasi yang jurnalis dapatkan dari pesan singkat tentang tragedi yang ada di Banjaran, Kabupaten Bandung. Ada yang segera pergi ke lokasi kejadian. Ada pula yang baru akan pergi setelah kantor meminta mereka untuk mengecek langsung lokasi.
Fakta yang ditemukan di lapang mereka catat, temuan barang bukti jadi salah satu poinnya. Bertanya ke sesama rekan jurnalis, sesekali bertanya pada tetangga. Berita dengan observasi yang mungkin masih terbatas itu dituntut segera dipublikasi. Meskipun hanya tiga paragraf.
Beberapa jurnalis dan juru foto ada yang bergeser ke lokasi lain, tapi ada juga yang bertahan, menunggu penjelasan dari penyidik. Ketika penjelasan dipaparkan penyidik, kira-kira pastikan adalah sebuah rilis resmi dari instansi yang bersangkutan. Seolah menjadi dokumen resmi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam karya jurnalistik. Bisa dibagikan dalam bentuk fisik ataupun digital.
Tidak jarang informasi yang ditemukan hanya menyalin isi rilis tersebut tanpa diolah. Padahal setiap tahapan penulisan karya jurnalistik tidak ada yang dapat dihilangkan. Memberitakan kepergian satu nyawa tidaklah sesederhana itu. Selain konfirmasi dan verifikasi hal yang tidak boleh tertinggal dari pencarian yakni pendalaman dari penyebab.
Begitu pula yang ditemukan dalam penelitian Ribeiro yang mewawancarai psikiater terhadap liputan tentang bunuh diri di Portugal. Apa yang telah dilaporkan dalam satu pemberitaan sering kali hanyalah yang paling “memikat”. Padahal yang diperlukan informasi yang lebih mendalam daripada menyederhanakan kondisi tersebut.
Baca Juga: Jurnalis Foto Memotret itu Tidak Sebatas Liputan
Pengeroyokan Jurnalis Kompas dan Teror Bangkai Tikus ke Redaksi Tempo Menambah Suram Kebebasan Pers di Indonesia
Mekanisme Nasional Keselamatan Jurnalis Disahkan, Dewas Pers Menggandeng LPSK dan Komnas Perempuan
Bukan Sekadar Memenuhi Media Sosial
Kebutuhan akan informasi yang dapat dipenuhi lewat media sosial seharusnya tidak menjadi tujuan utama dari satu publikasi. Kabar kepulangan warga tidak bisa disamakan dengan angka jumlah klik atau engagement di platform di media sosial.
Penelitian yang Ribeiro lakukan memang berada di Portugal, tapi temuan ini dapat dijadikan refleksi untuk jurnalis serta perusahaan media massa. Konvergensi media sudah terjadi sejak lama dan bukanlah hal yang baru. Semestinya juga tidak dijadikan sebagai sesuatu yang mengendalikan cara kerja industri ini. Penyediaan informasi pada publik tetap harus bertanggungjawab yang didukung kebaruan dan inovasi.
Sampai hari ini faktor depresi hanya dilihat sebagai gejala biasa. Foggy dalam tulisannya tentang tragedi Banjaran sudah memberi uraian betapa pentingnya kesehatan mental dan dukungan dari sekitar. Semestinya lingkungan tidak melulu terkungkung stigma yang menutup mata dan telinga, yang diperlukan hanyalah ruang aman yang dapat memberi dukungan.
“Banyak wartawan kurang memiliki sensitivitas dalam melaporkan aksi maupun upaya percobaan bunuh diri. Identitas korban, alamat tinggal, dan juga keluarganya diungkap secara gamblang, termasuk modus, peralatan maupun cairan yang digunakan. Pemberitaan tersebut berpotensi mengundang aksi peniruan,” refleksi dari dibuatnya regulasi Peraturan Dewan Pers no. 2 tahun 2019, tentang Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri..
Terdapat 19 poin yang tertera dari pedoman yang dibuat oleh Dewan Pers. Pedoman ini menghimbau jurnalis dan perusahaan media untuk dapat mengajak publik berempati atas tragedi yang terjadi dan menghimbau bagi individu yang tengah merasakan emosi tertentu dapat mencari lembaga atau kelompok yang dapat mendukung mereka.
Bukan berarti pula kabar ini tidak dapat disampaikan. Namun, seharusnya sebuah karya jurnalistik dalam memberitakan tragedi ini dengan mempertimbangkan beberapa hal yang tidak boleh diabaikan. Jurnalis beserta perusahaan media massa harus menyadari kebermanfaatan berita dan menyadari bahwa pemberitaan dapat menimbulkan dampak traumatik. Hal itu juga dapat dialami keluarga yang ditinggalkan.
Memanusiakan manusia dapat dimulai dari satu ajakan untuk menjaga satu sama lain. Papageno effect menjadi salah satu cara yang dapat jurnalis tawarkan dalam karya jurnalistiknya. Kebalikan dari The Wether Effect (dampak imitasi ekspresi), papageno effect mengajak pembaca untuk mencari bantuan atau membuka dialog dengan orang lain yang dapat dijadikan tempat berbagi cerita.
Beban Pekerjaan
Masing-masing profesi tentu memiliki beban pekerjaannya sendiri. Jurnalis hari ini bisa saja dibebani tujuh sampai 10 tulisan per harinya. Pembenarannya bahwa publik membutuhkan informasi terus menerus, yang terbaru. Tuntutan itu yang membuat karya jurnalistik hadir di para pembaca hanya seperti sebuah ulasan. Jika bekerja selama delapan jam setiap hari, artinya seorang jurnalis harus dapat membuat tulisan dalam waktu 50–60 menit. Tanpa istirahat dan upah yang tidak seberapa.
Belum lagi ketika jurnalis harus meliput di peristiwa yang sedikit banyaknya akan mempengaruhi psikologi mereka sendiri. Tidak ada jaminan untuk itu. Belum ada pula kepastian pendampingan jika bukan jurnalis sendiri yang meminta.
Semestinya keamanan psikososial tidak dapat diabaikan begitu saja. Situasi hari ini berbeda dengan masa sebelumnya. Jika saat itu sebagian orang dapat dengan mudah menyebutkan cacat mental, tapi hari ini kondisi tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena hal ini juga bagian dari keamanan holistik yang seharusnya disosialisasikan pada jurnalis dan baiknya dipenuhi perusahaan media massa.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB